"Anak polah bopo kepradah,"
Begitulah orang Jawa bilang. Anak berulah, Sang Bapak kena getahnya. Hal itu sepertinya menimpa Presiden Jokowi saat ini. Ia terbawa-bawa karena ulah Sang Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) yang mengkudeta partai.
Kisruh dualisme partai memang bukan barang baru di pusaran politik tanah air, tetapi Kudeta Demokrat oleh Moeldoko merupakan sesuatu yang berbeda dan menghebohkan dari sebelumnya. Pasalnya, kudeta ini dilakukan oleh orang di luar Kader Partai dan berposisi sebagai Kepala KSP.
Memang pada awal geger Kudeta Demokrat mencuat Moeldoko sudah berseru bahwa kudeta ini tentang dirinya, jangan sekali-kali mengganggu Presiden Jokowi. Tetapi posisinya sebagai Kepala KSP mau tidak mau akhirnya menyeret nama Sang Mantan Gubernur DKI.
Istana pun menerima gencaran tudingan dan tuntutan. Misalnya mulai dari Politikus Demokrat Andi Malaraeng yang menuding Moeldoko mendapat izin Jokowi sampai Wasekjen Gerindra Kawendra Lukistian yang menyarankan Presiden Jokowi untuk memecat Sang Kepala KSP. Bahkan Ketua Relawan Jokowi Baranusa yang juga menuntut RI 1 untuk memecat Sang Mantan Panglima TNI.
Presiden Jokowi pastinya sedang dipersimpangan. Tetap mempertahankan Moeldoko, atau memberhentikannya. Dua-duanya tentu tak mudah. Ada dampak politis yang jelas akan mengikuti.
Tetapi sebetulnya, jika Presiden Jokowi konsisten dalam menerapkan kebijakannya dalam menyikapi dobel jabatan, masalah Kudeta Demokrat oleh Jenderal Moeldoko tidak bakal serumit ini.
Ketika terpilih menjadi Presiden pada tahun 2014 dulu, Sang Mantan Wali Kota Solo pernah menerapkan kebijakan yang cukup tegas, anggota kabinet tidak boleh merangkap jabatan dalam partai politik.
"Kalau saya pribadi ingin agar yang menjadi menteri lepas dari partai politik," kata Jokowi seusai rapat di Kantor Transisi, Jakarta Selatan, 9 Agustus 2014 silam (detik.com, 12/01/2018).
Kebijakan Presiden Jokowi pada saat itu sepertinya benar-benar dilaksanakan. Misalnya, Tjahjo Kumolo yang ditunjuk menjadi Menteri Dalam Negeri rela melepas jabatannya sebagai Sekjen PDIP dan digantikan Hasto Kristiyanto. Hanif Dhakiri yang ditunjuk sebagai Menteri Tenaga Kerja juga melepas jabatan sebagai Sekjen PKB. Sampai Menko PKM Puan Maharani menurut pengakuannya juga non aktif dari Ketua DPP Bidang Polkam PDIP. Ada juga dalam reshufle Wiranto yang ditunjuk sebagai Menkopolhukam melepas jabatannya sebagai Ketua Partai Hanura.
Tetapi dalam perjalanan Kabinet Jilid I selanjutnya, Presiden Jokowi sepertinya mulai tidak konsisten dalam menerapkan kebijakannya. Hal itu terlihat ketika Airlangga Hartarto terpilih menjadi Ketua Golkar pada tahun 2017. Sang Menteri Perindustrian tetap pada posisinya dan tidak mengundurkan diri.
Saat terpilih kembali untuk menjadi RI 1 yang kedua, Presiden Jokowi tidak lagi melarang adanya rangkap jabatan partai dalam kabinet. Alasan yang pernah disampaikan Presiden Jokowi kurang lebih adalah yang paling penting bisa membagi waktu, dan berdasarkan pengalaman selama 5 tahun menurutnya tidak masalah jika bisa membagi waktu. Maka pada Kabinet Jilid II ada 3 menteri yang juga sebagai Ketua Umum Partai yakni Prabowo di Gerindra, Airlangga Hartarto di Golkar dan Suharso Monoarfa di PPP.
Andai kebijakan tidak boleh merangkap sebagai ketua partai dalam jabatan di pemerintahan seperti pada Jilid I dilakukan konsisten sampai kini, pastinya menghadapi masalah Kudeta Moeldoko Presiden Jokowi tinggal das des dan tidak akan perlu pusing-pusing lagi. Tetapi apa daya, semua telah terjadi dan Presiden tentu telah menimbang masak-masak apa yang telah ia putuskan.
Membuat kebijakan yang baik itu memang sulit, tetapi lebih sulit lagi membuat kebijakan baik yang konsisten. Semoga semua bisa diselesaikan dengan penuh keindahan...I]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H