Tak jarang aku dengannya membuat kontak mata, ya kira-kira 3 detik, rasanya seperti setruman listrik di hatiku. Mungkin inilah yang disebut cinta monyet ? Mungkin, sebab banyak sekali cerita tentangnya, semuanya terlalu indah untuk dikenangkan. Hal itu pula yang membuatku sangat susah untuk melupakannya.Â
Begitu juga Jojo, merasakan hal yang serupa. Akhirnya kami mengikat janji untuk menjadi pacar hingga sekarang ini. Aku terus bercerita kepada kakaku dengan penuh semangat, hingga akhirnya muncul pertanyaan yang terpendam sebelumya.Â
" Kak, aku mau minta pendapat nih. Kira-kira aku nikah dulu atau nunggu adik -- adikku lulus sekolah ?" tanyaku.
" Karena kalau dua-duanya berlangsung, terus terang aku tidak sanggup. Pacarku sih gak minta buru-buru aku menikah. Apa lagi sekarang masih kontrak kerja di Jakarta. Jojo lebih setuju jika aku selesaikan dahulu bantu ibu biayai adik-adikku sekolah sampai lulus minimal SMA. Gimana menurut kakak?" tanyaku berikutnya.Â
 Sambil mengerutkan kening kakak mencoba memberikan pendapatnya.Â
 " Ehemmmm... gimana ya. Kalau umurmu memang sebenarnya sudah cukup pas untuk segera menikah. Tetapi kalau dilihat dari kondisi ibum u, adik-adikmu kasihan kalau-kalau sampai gak sekolah. Kakak kasihan sama kamu, bantu adik-adikmu sekolah, sementara dirimu sendiri gak keurus." jawab kakaku.
  **
 Seminggu telah berlalu. Aku sering berkomunikasi dengan Jojo melalui chatingan WhatsApp. Akhir -- akhir ini Jojo sering mengeluh badannya meriang dan kepalanya pusing, tetapi dipaksakan bekerja, bahkan sampai lembur karena tuntutan kejar target produk dari perusahaannya. Kadang hanya 1 atau 2 jam saja tidur dalam sehari semalam. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi badannya yang terporsir kerja siang malam.Â
 Jangankan untuk bersenang -- senang, istirahat saja tidak sempat apalagi berdoa dan ke gereja seperti dahulu lagi. Aku bingung bagaimana harus memberikan pemahaman, bila bekerja mah harus disertai dengan doa.Â
Sekeras dan sekuat apapun dalam bekerja, jika tidak disertai dengan berdoa semua akan lemah. Tak terasa menetes air mataku ini, teringat betapa berat beban kami berdua. Walau semua itu aku dan Jojo tutupi dengan tawa dan canda yang renyah. Tetapi hati ini tidak bisa dibohongi. Andai Jojo bisa dekat dengan Allah, beban berat akan terasa ringan dan menyenangkan. Lamunanku terputus manakala dering HP yang dari tadi kubiarkan berbunyi, baru aku angkat, karena sedang fokus menggoreng kerupuk di dapur.Â
" Ren....." suara kakak terdengar lirih. Aku masih menunggu suara paraunya namun ternyata hanya isak tangis yang tak kunjung henti.Â