Suatu hari Kang Narto sedang menghadiri undangan reuni SMA-nya. Sebelumnya mereka telah menyepakati untuk mengadakan reuni pada hari Minggu.Â
Tempatnya di rumah Tejo. Hal itu dipilih karena rumah Tejo berada di tepi jalan raya. Sehingga mudah diakses dari arah mana pun. Hari Minggu karena kebanyakan mereka libur.
Kang Narto datang sendirian. Tanpa mengajak istri tercintanya. Karena istri Kang Narto baru saja melahirkan anak kedua, beberapa bulan yang lalu. Semua teman Kang Narto juga datang sendirian. Atas kesepakatan bersama, reuni kali ini dikhususkan untuk teman laki-laki saja.
Teman Kang Narto yang menyatakan siap datang ada sepuluh orang. Lainnya berhalangan hadir. Tentu dengan berbagai kesibukan masing-masing. Selain itu, sebagian dari mereka berada di luar Jawa, juga di luar negeri.
Acara reuni kali ini sangat berkesan bagi mereka. Sebab, ini momen kali pertama mereka bertemu. Setelah hampir 20 tahun lamanya mereka berpisah.
Kang Narto datang lebih awal, juga Maman dan Darto. Tejo, sebagai tuan rumah menyambut teman akrabnya selama SMA itu penuh kehangatan. Mereka saling berpelukan. Untuk melepas kerinduan. Wajah-wajah mereka tampak indah, semringah karena mereka bisa bertemu kembali.
Tak lama berselang mereka duduk lesehan di ruang tamu. Ruangannya cukup luas. Desainnya indah dan sedap dipandang mata. Menandakan si pemilik rumah adalah orang kaya. Pantas saja, Tejo adalah bos batu bara.
"Alhamdulillah... Akhirnya kita bisa bertemu kembali," Tejo mengawali pembicaraan. Sembari menyuguhkan madu hangat kepada teman-temannya.
"Alhamdulillah... Iya. Inilah takdir Allah. Jika kita masih sehat dan diberi umur panjang, insya Allah kita bisa ketemu," jawab Kang Narto.
Disusul dengan tiga teman lainnya menyampaikan kabar dan menceritakan keluarga masing-masing. Tak lupa mereka saling bercerita tentang pekerjaannya masing-masing. Obrolan mereka menjadi hangat. Sambil menunggu kedatangan teman-teman lainnya.
Tiba-tiba ada seorang anak kecil lari dari ruang tengah, lalu memeluk Tejo. Iya merajuk. Meminta Tejo untuk menemaninya bermain.
"Ayah, ayo temani Amin main mobil-mobilan," ajaknya sambil memandangi wajah Tejo lekat-lekat.
"Iya, sayang. Amin main sendiri ya. Nanti ayah susul. Itu ada teman-teman ayah," Tejo memangku anaknya. "Ayo salim," lanjut Tejo.
Tejo mengenalkan teman-temannya kepada anaknya. Kang Narto, Maman, dan Darto menyambut tangan mungil itu disusul mencubit pipi Amin dengan gemas dan mencium keningnya.
"Jo, ini anakmu?" tanya Maman sambil mengunyah kurma.
"Iya. Ini anakku yang kedua. Umurnya 3 tahun. Kakaknya sekarang sudah kelas 6. Sebentar lagi lulus."
Tak lama berselang, Amin, anak Tejo lari menuju ibunya yang ada dalam rumah.
"Anakmu berapa, Jo?" tanya Kang Narto.
"Dua. Semuanya laki-laki," jawab Tejo bangga.
Memang, anak adalah harta yang tak ternilai. Anak adalah segalanya. Memiliki anak menjadi kebahagiaan yang luar biasa bagi keluarga. Sebuah keluarga belum dikatakan "sempurna" apabila belum mendapat amanah si buah hati. Ketika bertemu dengan keluarga, teman atau siapa pun yang kita kenal, pertama kali yang ditanyakan adalah "berapa anakmu?" Bukan "berapa rumah atau kendaraanmu?"
"Lha, anakmu berapa Kang?" Tejo balik tanya kepada Kang Narto.
"Dua Jo. Semuanya perempuan. Anak kedua baru lahir tiga bulan yang lalu," tutur Kang Narto.
Darto menjadi pendengar setia. Ia menikmati berbagai macam jajanan yang tersedia di hadapannya. Sesekali menyeruput kopi hitam yang dituang di gelas sedari tadi. Sekali waktu ia melihat keluar dari jendela barangkali ada temannya datang. Lalu asyik dengan Androidnya.
"Kalau anakku tiga. Dua laki-laki dan satu perempuan. Usianya terpaut satu tahun. Anak yang pertama baru kelas 1 MI. Anak kedua TK dan ketiga masih PAUD," sahut Maman tanpa ditanya sebelumnya.
Tejo, Kang Narto dan Maman asyik dengan obrolan anak-anaknya. Sampai ia lupa jika ada Darto yang duduk menyendiri asyik dengan Androidnya di bawah jendela.
"Kang Narto, anakmu dua. Perempuan semua. Itu masih belum sempurna. Cobalah bikin lagi anak laki-laki. Anak laki-laki itu nantinya yang bisa mikul dhuwur, mendhem jero orang tua," cerocos Maman yang memiliki tiga anak itu.
"Iya, Kang. Ayo coba lagi. Sampai dapat anak laki-laki. Jika gagal, coba lagi dan lagi," tutur Tejo menimpali Maman.
Kang Narto menyimak ucapan kedua temannya itu dengan baik. Ia diam sejenak. Sambil mengunyah kurma di tangan kanannya dan menyeruput wedang madu hangat.
"Tejo, Maman. Anak itu amanah. Pemberian dari Allah Swt. Kita tak bisa meminta atau menolaknya," tutur Kang Narto.
Lalu Kang Narto mengutip Firman Allah Quran Surat Asy-Syura ayat 49-50:
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki. (49) atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa. (50)
Semua anak itu baik. Anak laki-laki maupun perempuan itu istimewa. Jika ada yang mengatakan bahwa anak laki-laki itu lebih baik dari anak perempuan, itu salah. Itu merupakan budaya orang jahiliah. Kala itu, jika melahirkan anak perempuan maka mereka malu. Menurut mereka, itu adalah aib. Sehingga, mereka mengubur hidup-hidup bayi perempuan mereka.
Tejo, Maman dan Darto hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Kang Narto.
"Justru jika kita memiliki satu, dua atau tiga anak perempuan, lalu merawat dan mendidiknya dengan baik dan benar. Maka itu manjadikan kita terhalang dari siksaan api neraka," lanjut Kang Narto.
Kemudian Kang Narto mengutip hadits Nabi saw.:
"Barang siapa memiliki tiga anak perempuan, lalu ia mendidiknya, menyayanginya, menanggung kebutuhannya, dan menikahkannya, maka wajib baginya surga."
Setelah mendengar penjelasan Kang Narto, Tejo dan Maman saling berpandangan. Diam tanpa kata. Seolah ia merasa bersalah dengan ucapannya.
"Dari tadi Darto hanya diam saja. Ndak cerita tentang keluarganya. Anakmu berapa, Dar?" Tanya Tejo.
Darto menunduk. Diam sejenak. Lalu menatap wajah teman-temannya. Seolah mengatakan "jangan tanya soal anak kepadaku."
"Mmmm... Maaf. Aku belum punya anak. Usia pernikahanku sudah hampir 12 tahun. Kami sudah periksa ke dokter. Sudah melakukan terapi dan usaha lainnya. Agar segera punya momongan. Namun, sampai saat ini belum mendapat momongan," tutur Darto dengan nada rendah.
Semua yang hadir terdiam. Merasa kasihan kepada Darto.
"Tenang, Dar. Insya Allah kamu akan segera dapat momongan. Teruslah berdoa dan berusaha. Yakinlah, Allah pasti akan menjawab doamu. Saya punya saudara juga senasib denganmu. Sebelas tahun menikah, namun belum punya momongan. Di tahun kedua belas pernikahan, akhirnya mereka punya momongan. Istrinya baru saja melahirkan seminggu yang lalu," tutur Kang Narto berusaha memotivasi Darto.
"Alhamdulillah, terimakasih atas motivasi dan doanya teman-teman. Semoga doa-doa sampeyan semua dan doa kami diijabah oleh Allah Swt. Aamin." Jawab Darto penuh harap.
Mendengar cerita Kang Narto, Darto seolah mendapat angin segar dan suntikan semangat dari teman-temannya. Usia Darto baru 39 tahun. Sementara istrinya baru 33 tahun. Harapan masih panjang. Kesempatan masih terbuka lebar.
Bisa jadi Allah sangat sayang kepada Darto dan keluarga. Sehingga Allah suka mendegar doa-doa yang terucap dari lisan orang-orang sabar seperti Darto dan keluarga.
Waktu semakin siang. Teman-teman lainnya sudah mulai berdatangan. Suasana ruang tamu rumah Tejo makin hangat penuh keakraban. Mereka bercengkerama saling bercerita dan melepas kerinduan yang telah lama terpendam.[]
Simorejo, 01:13 WIB
03 Ramadan 1441 H
26 April 2020 M.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H