Mohon tunggu...
Widodo Surya Putra (Mas Ido)
Widodo Surya Putra (Mas Ido) Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Arek Suroboyo | Redaktur renungan kristiani | Penggemar makanan Suroboyoan, sate Madura, dan sego Padang |Basketball Lovers & Fans Man United | IG @Widodo Suryaputra

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Anarkisme Suporter Kambuh Lagi, Ketegasan dan Pembenahan dari PSSI Sangat Ditunggu

8 November 2017   12:05 Diperbarui: 8 November 2017   21:07 2988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kericuhan pertandingan Liga 1 antara Persib vs Persija, 22 Juli 2017 (CNN Indonesia)

Setelah beberapa saat lumayan tertib, penyakit lama sebagian suporter di Indonesia kembali kambuh. Belum hilang dari benak kita semua sedikit kericuhan yang terjadi di Stadion Mattoanging pada Minggu malam (5/11), kemarin pada laga final Liga 1 U-19, kericuhan yang lebih parah meledak setelah Persib U-19 dikalahkan oleh Persipura U-19. Apa yang harus dilakukan oleh PSSI?

Seperti kita ketahui bersama---dan sangat layak untuk dijadikan momen keprihatinan bersama---pertandingan seru antara tuan rumah PSM Makassar melawan Bali United pada Minggu malam (5/11), perilaku kekanak-kanakan sebagian pendukung tuan rumah kambuh tak lama setelah Stefano Lilipaly mencetak gol kemenangan bagi Bali United. Botol air mineral dikabarkan beterbangan ke arah bench dari para pemain Bali United. (1)

Keseruan partai final U-19 yang berlangsung di Stadion Wibawa Mukti, Cikarang, Bekasi, pada Selasa malam (7/11) juga ternoda dengan perilaku sebagian Bobotoh (sebutan untuk pendukung Persib) yang tidak bisa menerima kekalahan timnya. Kali ini, tak hanya lemparan botol air mineral, tetapi penyalaan flare hingga perusakan dan pelemparan bangku stadion mewarnai laga tersebut. Sekali lagi, pelemparan bangku stadion, Bung!(2)

Perilaku Suporter Zaman Now yang Sukar Dipahami

Perilaku sebagian oknum suporter zaman now ini membuat saya geleng-geleng kepala. Apakah sedemikian parahnya tingkat penguasaan diri mereka, sehingga hanya karena kekalahan dalam sebuah pertandingan sepak bola, mereka merasa berhak melampiaskan kekecewaan dengan cara seperti itu? Apakah sukar sekali bagi kalian (para oknum) menerima kekalahan dengan sportif, tanpa harus melakukan tindakan yang merugikan, bahkan tindakan anarkis kayak gitu?

Seorang Kompasianer bernama Yose Revela, 28 Juli 2017 lalu juga pernah menyuarakan pendapatnya terkait aksi anarkis dari oknum suporter sepak bola Indonesia. Yose mengajukan tiga pernyataan menarik untuk direnungkan bersama. Berikut petikan pendapatnya:

"Tindak anarkis oknum suporter hanya akan membuat klub terkena sanksi, bisa berupa denda, larangan bertanding, bahkan diskualifikasi. Belum lagi, jika klub harus membayar ganti rugi, akibat adanya kerusakan di stadion. Padahal, dalam kondisi normal saja, klub sudah dibebani ongkos sewa stadion, yang jumlahnya tidak sedikit. Bagi sesama suporter, tindak anarkis adalah sebuah bahaya serius terhadap keselamatan.

Di sini jelas, tujuan para suporter datang ke stadion, adalah untuk menonton langsung aksi tim kesayangannya, bukan untuk meregang nyawa. Lagipula, stadion sepak bola adalah arena bermain sepak bola, bukan arena pertandingan gladiator zaman Romawi. Jika sampai potensi terjadinya masalah keamanan di stadion tinggi, bisa dipastikan, penonton akan enggan untuk datang. Akibatnya, klub pun akan merugi." (3)

Saya sepenuhnya setuju dengan pernyataan di atas! Ayolah! Kalian (oknum yang bikin ulah) datang ke stadion untuk apa? Apakah sampeyan lupa kalau mereka yang berada di lapangan, para pemain, wasit, ofisial tim, hingga perangkat pertandingan, mereka sedang "cari makan" lewat kompetisi sepak bola? Apakah kawan-kawan semua lupa, kalau sebagian besar suporter yang ada di kubu yang berseberangan dengan tim yang kawan-kawan dukung, adalah saudara sebangsa dan se-Tanah Air? 

Melihat Kembali Cara Pemerintah Inggris Mengatasi Aksi Anarkis Suporter

Bagi kalangan fans sepak bola, pasti tak asing dengan perilaku oknum suporter fanatik asal Inggris yang dikenal dengan Hooligans.Sekitar tahun 1980-an, aksi suporter tersebut sungguh mengkhawatirkan dengan perilaku anarkisnya, yang tak peduli pada keselamatan nyawa sendiri dan nyawa orang lain. (4)

Seperti dimuat dalam artikel tersebut (referensi nomor 4), pemerintah Inggris bersama Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) dan klub-klub yang berkompetisi di Inggris, termasuk klub-klub Premier League,sepakat untuk mempertegas tindakan terhadap oknum suporter yang berulah dan bertindak anarkis, baik sebelum, selama, maupun sesudah pertandingan.

Pemicunya adalah ketika terjadi dua tragedi yang sangat mencoreng persepakbolaan Inggris, yang dikenal dengan Tragedi Heysel (29 Mei 1985)dan Tragedi Hillsborough (15 April 1989). Pada kedua tragedi itu, puluhan orang tewas dan ratusan orang mengalami luka-luka akibat perilaku anarkis para Hooligans.

Hukuman yang diberikan pun sangat tegas, mulai dari larangan tampil di kompetisi Eropa selama lima tahun penuh bagi semua klub asal Inggris, larangan seseorang menonton sepak bola di stadion, hukuman bagi suporter yang melempar barang ke lapangan, memasuki lapangan, atau menyanyikan nyanyian (bertindak) rasial, hingga penahaman paspor selama berlangsungnya kejuaraan tertentu, supaya oknum suporter yang gemar berulah, tak bisa bepergian ke luar negeri untuk mendukung timnya atau negaranya. Untuk sanksi yang terakhir dipicu oleh aksi anarkis Hooligans di Piala Eropa 2000 lalu, ketika mereka berulah di Charleroi, Belgia, sebelum dan sesudah laga Inggris melawan Jerman.

Bagi para suporter di Premier League yang gemar berulah, sanksi berupa larangan menonton langsung ke stadion, juga dicabutnya kartu anggota klub dan tiket musiman, hingga ditangkap oleh polisi, menjadi ancaman yang cukup menggentarkan bagi para Hooligansatau suporter lain pada umumnya. (4)

Menantikan Ketegasan serta Langkah Pembenahan dari PSSI

Ketegasan dalam menanggapi aksi anarkis para suporter dari PSSI tentu sangat dinanti-nantikan oleh para pecinta sepak bola, juga masyarakat pada umumnya. Jangan ragu untuk menghukum berupa denda maksimal, larangan bertanding selama 5-10 laga tanpa penonton (jangan tanpa atribut saja!), dan (yang paling dinanti-nantikan selama ini) hukuman tegas kepada oknum suporter yang bertindak anarkis. Mungkin bisa berupa larangan memasuki stadion selama beberapa waktu, hingga hukuman pidana, jika memang terkait ranah hukum pidana.  

Langkah pembenahan pun sangat ditunggu oleh masyarakat dan  pecinta sepak bola di seluruh Tanah Air. Ini waktunya pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah serius untuk membenahi kualitas dan fasilitas stadion, yang nantinya dapat memudahkan proses investigasi seandainya ada kerusuhan, kericuhan, atau ada oknum suporter berulah dan masuk ke lapangan saat pertandingan berlangsung. 

Diskusi super serius juga rasanya sudah mendesak untuk dilakukan antara Menpora, PSSI, pengelola kompetisi, dan aparat keamanan, membicarakan bagaimana langkah terbaik untuk mengamankan pertandingan sepak bola dengan lebih bersahabat, sehingga kelak penonton perempuan dan anak-anak pun dapat dengan nyaman menyaksikan pertandingan. 

Usulan saya, akan bagus jika semua pihak terkait mulai memikirkan program selama 10-20 ke depan untuk membuat semua stadion menggunakan kursi, seperti yang sering kita lihat di stadion saat siaran langsung sepak bola Eropa, dimulai dari para semua klub peserta Liga 1. Jangan lagi ada tiket berdiri atau tiket rombongan, seperti yang selama ini masih terlihat di banyak stadion. 

Selanjutnya, untuk memudahkan proses identifikasi penonton, sebaiknya mulai dilakukan upaya pendataan untuk setiap  orang yang menonton langsung (misalkan dengan pemeriksaan KTP) atau pencantuman nama di setiap tiket), dengan kebijakan satu orang satu tiket, dengan nomor kursi yang jelas (seperti tiket kereta api atau pesawat terbang). Kalau hal itu sudah dilakukan, saya pun mungkin akan memikirkan ulang kebijakan pribadi untuk tak menonton laga sepak bola secara langsung di stadion---karena punya trauma tersendiri semasa kompetisi Galatama masih bergulir dekade 90-an.

Merespons pernyataan di atas, mungkin ada yang berkata:

"Kan nanti jadi butuh biaya banyak, Mas Ido, untuk merombak stadion. Belum lagi proses adaptasi untuk beralih dari kebiasaan buruk (cenderung negatif), menjadi kebiasaan yang positif. Jangan lupa, butuh sosialisasi juga secara menyeluruh kepada banyak pihak, sebelum perubahan yang positif itu dapat benar-benar terealisasi dan memberi dampak nyata. Apa iya, para oknum suporter itu mau diatur supaya lebih positif dalam memberikan dukungan? Apa nanti nggak jadi ribut, kalau sampai sanksi tegas diberikan?"

Terus terang, untuk perubahan seperti yang saya paparkan di atas, tentu saja memerlukan biaya banyak, apalagi jika harus merombak stadion. Butuh waktu juga untuk peralihan kebiasaan, dari kebiasaan yang cenderung negatif menjadi kebiasaan baru yang positif, juga untuk sosialiasi secara menyeluruh kepada banyak pihak, mulai dari pengelola stadion, pihak klub, hingga asosiasi suporter dan para pedagang merchandiseyang biasa hadir di sekitar stadion setiap pertandingan di seluruh Indonesia. Semua kerepotan itu pasti akan terjadi, tetapi harus dihadapi dengan berani. Semuanya demi perubahan besar dalam persepakbolaan nasional, yang kelak akan sepadan hasilnya dan bisa kita nikmati bersama.

Selain itu, diperlukan juga penanaman nilai sportivitas sejak dini, yang melibatkan orangtua, para pelatih olahraga, juga para pendidik dalam berbagai bidang, termasuk di sekolah-sekolah dan tempat lain yang secara rutin menyelenggarakan perlombaan, kejuaraan, atau turnamen hingga kompetisi. Ajarkan bahwa menang-kalah dalam pertandingan itu biasa, tetapi sikap lapang dada menerima kekalahan (bahkan ketika dicurangi) perlu dikembangkan sejak ini. Jika ingin protes akan sesuatu, hendaklah disampaikan dengan cara yang baik, sopan, dan seminimal mungkin efek yang dapat merugikan orang lain (orang banyak).

Nah, menarik untuk ditunggu langkah tegas apa yang akan diambil oleh PSSI dan pengelola Liga 1, mengenai aksi anarkis (oknum) suporter sepak bola di Indonesia. Kita harapkan, kali ini mereka benar-benar serius memikirkannya, tak hanya tindakan pencegahan atau pendisiplinan, tetapi juga rencana perbaikan dan perubahan jangka panjang. 

Kesiapan untuk "berani ribut", terutama ketika berhadapan dengan orang-orang yang sukar diatur atau ditertibkan, juga rasanya akan diperlukan, karena biasanya untuk perubahan (perbaikan) besar, akan menggoncang zona nyaman dari berbagai pihak. Namun, saya yakin jika semuanya itu dapat dijalankan dengan kesungguhan hati, kelak keinginan kita semua untuk menyaksikan pertandingan sepak bola yang berkualitas, tetapi nyaman sekaligus aman, dapat segera terwujud.

Jika hal itu dapat (mulai) terwujud, saya pun tak akan menunda waktu lagi untuk menjadi yang terdepan untuk mengantre atau mendahului pembelian tiket supaya dapat menyaksikan langsung ke stadion, setiap kali tim kebanggaan saya bertanding atau saat berlangsung big match.Jika saat itu Kompasiana masih eksis, saya pastikan akan menyiapkan sebuah tulisan untuk diunggah dalam waktu tak lebih dari 2x24 jam, untuk menceritakan pengalaman itu kepada dunia!

Semoga harapan itu dapat terwujud!

Salam olahraga,

-wsp-

Referensi:

(1) PSM Kalah Penonton Ricuh

(2) Emosi Bobotoh Pecah Melihat Persib Bandung U-19 Kalah di Final

(3) www.kompasiana.com/yoserevela/menyoal-anarkisme-oknum-suporter-sepak-bola-di-indonesia_597a2ef17b0b873d577913c2

(4) Menjinakkan Hooligans

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun