Mohon tunggu...
Widz Stoops
Widz Stoops Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Smile! It increases your face value.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ssst... Jangan Pernah Menonton Film Horor Seorang Diri!

5 Oktober 2020   04:10 Diperbarui: 27 Oktober 2020   21:02 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://unsplash.com/@maxwbender

Emma yang pernah bekerja sebagai seorang pemandu wisata di sebuat perusahaan perjalanan kini terpaksa harus kerja serabutan demi menyambung hidup. Apa boleh buat, pandemi membuat bangkrut perusahaan tempatnya bekerja.

Emma sendiri adalah perempuan yang gigih dan tak pernah malu menjalani pekerjaan apapun. Yang penting halal! Itulah pedoman hidupnya.

Hari ini Emma menerima tawaran tetangganya untuk menjaga kedua anak mereka selama tiga hari. Berita duka yang mendadak mengharuskan mereka pergi ke luar kota.

Situasi pandemi membuat tetangganya lebih nyaman pergi tanpa membawa anak-anak, disamping anak-anak mereka sudah kenal Emma sejak bayi dan sangat menyukai kepribadian Emma yang sangat open dengan anak kecil.

Malam telah menunjukkan  pukul sembilan lewat lima belas menit, saat Emma baru saja selesai menidurkan kedua anak tetangganya itu di kamar atas. Sesuai dengan instruksi orang tua mereka, anak-anak memang sudah harus tidur pada jam sembilan malam.

Selesai sudah tugas Emma menjaga anak-anak untuk hari ini. Direbahkan tubuhnya yang langsing ke atas sofa sambil meraih remote control yang ada di meja. Bolak-balik ia mengganti saluran TV, berusaha mencari acara yang berkenan di hatinya.

Tiba-tiba ia terpaku di saluran TV yang sedang menayangkan sebuah film horor. Emma yang menyukai film horror sangat menyayangkan dirinya terlambat menonton, karena ada yang menarik buat Emma tentang film itu.

Disatu adegan film yang menceritakan tentang rumah berhantu itu menampilkan suatu tempat yang cukup dikenal Emma, yaitu lokasi pemakaman umum terletak tidak jauh dari rumahnya.

Itulah yang membuat  Emma memutuskan untuk tetap menonton, walaupun sudah hampir di penghujung acara. Ia bahkan mematikan lampu untuk menambah efek nuansa horor dan kemudian meringkuk di bawah selimut.

Tak lama film diakhiri dengan adegan yang menyeramkan. Semua orang yang pernah melihat atau mendengar tentang hantu di rumah dan di kuburan itu akhirnya mati terbakar atau trauma sampai mati.

Emma yang begitu menghayati film tersebut menjadi ketakutan sendiri. Padahal ia harus mengecek anak-anak kembali untuk memastikan mereka tetap terjaga dalam tidurnya. Namun ketakutan seolah merajai hatinya.

Emmapun berpikir ia butuh cahaya untuk menghalau ketakutannya. Jadi jalan satu-satunya adalah dengan menyalakan lampu. Tapi untuk menyalakan lampu berarti ia harus bangun dari sofa, dan itu butuh keberanian.

Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Ruangan sunyi dan mencekam. Emma mulai berkeringat kegerahan karena meringkuk cukup lama di balik selimut. Ia akhirnya memutuskan pada hitungan ketiga akan bangun untuk menyalakan lampu dan yakin semuanya akan baik-baik saja.

Satu... dua.. tiga! .... BAM! Gedurak! Saat bangun hendak melangkah, kakinya tersandung kabel telpon yang terletak diatas meja kecil di sebelah sofa. Gagang telpon terjatuh dari tempatnya. Emma meraih telpon itu, dan terkejut ketika ia tidak mendengar nada panggil saat ia meletakkan telpon itu di kupingnya.

Emma memutuskan untuk kembali menaruh gagang telpon di kupingnya sebelum ia mengecek sambungan kabelnya. Kali ini ia mendengar suara desahan nafas. Tapi apa yang ia dengar selanjutnya adalah sesuatu yang tidak akan ia lupakan.

Suara jeritan menusuk telinga menembus kepala dan mengalir ke seluruh tubuhnya, membuatnya merasa dingin hingga ke tulang-tulang.

Emma langsung lompat dan menyalakan lampu. Perasaan takut ditepisnya jauh-jauh. Tangannya kembali meraih remote control TV dan berusaha mencari-cari program TV yang ia pikir dapat menghibur hatinya.

Saluran-demi saluran ia coba, tapi tak ada satupun yang menampilkan gambar. Yang ia lihat hanyalah garis-garis dan suara berdesis. Emma mulai berpikir mungkin ada yang tidak beres dengan TV.

Emma akhirnya memutuskan untuk mengecek bagian belakang TV, barangkali ada kabel yang lepas. Saat berdiri dari sofa menuju arah TV, tiba-tiba telpon berdering.

"Hallo?" Yang didengar Emma hanya suara desahan nafas yang pernah ia dengar sebelumnya. Teleponpun segera ditutupnya.

Kejadian selanjutnya sangat mengejutkan dan menakutkan Emma. Suara jeritan yang menusuk telinga itu terdengar lagi. Tapi itu bukan berasal dari telpon, karena Emma sudah menutupnya.

Ya ampun! Suara itu datang dari kamar atas di mana anak-anak sedang tidur. Emma berpikir ia harus memeriksa keadaan mereka di kamar. Tapi ia tidak bisa dengan begitu saja masuk kesana tanpa melindungi dirinya dengan senjata.

Segera ia berlari ke dapur. Ada sebilah pisau tergeletak di meja dapur. Diraihnya pisau itu. Sejenak ia memandangi pisau tersebut dan sadar bahwa itu adalah pisau mentega yang tidak terlalu tajam.

Dengan gemetar dibukanya laci di bawah meja dapur. Di sana ia menemukan pisau untuk memotong daging. Setelah begitu yakin pisau itu cukup tajam, Emma berjalan menuju kaki tangga dan melihat ke arah atas.

Jalan menuju ke atas terlihat sangat gelap. Dilema melanda otaknya. Haruskah ia menyalakan lampu? Atau membiarkan dirinya merayap di kegelapan?

Emma memutuskan jikakeadaan gelap apapun atau siapapun itu akan mempunyai kelemahan penglihatan yang sama dengan dirinya. Dan ia akan mempunyai kesempatan yang baik untuk menyelinap ke atas.

Ia berjinjit menaiki anak tangga menuju ke ruangan tidur anak-anak. Setapak demi setapak, ia berusaha agar langkahnya tidak menyebabkan bunyi apapun.

Emma melompati anak tangga yang ketiga, karena ia ingat kalau anak tangga ketiga itu akan berderit. Sementara kedua tangannya menggenggam pisau daging.

Setelah berada di anak tangga paling atas, ia menatap lorong dengan seksama mencari kalau-kalau ada bayangan. Kembali berjinjit Emma melalui lorong menuju kamar anak-anak.

Setelah tiba di depan pintu kamar, dibukanya pintu secara perlahan-lahan.

Segera setelah pintu kamar terbuka lebar, tangan kirinya mulai meraba-raba mencari tombol untuk menyalakan lampu, sedang tangan kanannya tetap menggenggam pisau.

Betapa terkejutnya Emma setelah tahu anak-anak tidak ada di sana. Jantungnya berdegup keras. Dengan sigap Emma segera berbalik, berlari melewati lorong, menuruni anak tangga.

Kali ini ia tidak peduli dengan suara denyit langkahnya. Tujuannya hanya satu. Ke  ruang tengah!

Setibanya di sana Emma menjerit, tubuh anak-anak yang sedang dalam asuhannya itu telah tergantung lehernya di atas langit-langit. Seluruh isi perut mereka telah tumpah kemana-mana.

Emma membalikkan badannya untuk kembali berlari tapi ada seseorang yang menghadangnya. Tiba-tiba saja ia merasakan sebuah benda tajam menusuk perutnya. Cairan hangat mengalir dari sana.

Emma tiba-tiba lemas dan jatuh bertekuk lutut. Sakit yang menusuk membuatnya menjerit kencang. Jeritan yang sama yang pernah ia dengar sebelumnya.

Emma baru sadar kalau jeritan yang ia dengar di telepon tadi tak lain adalah jeritannya sendiri. Saat itu pula Emma seperti terpuruk dalam kegelapan. Tak bisa melihat apa-apa.

Bagi yang membaca cerita ini disarankan untuk menyebarkannya ke medsos lain, apabila tidak ingin nasibnya seperti Emma. Kalau tidak percaya, silahkan ambil resiko sendiri.

Widz Stoops, PC-USA 10/04/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun