Segera ia berlari ke dapur. Ada sebilah pisau tergeletak di meja dapur. Diraihnya pisau itu. Sejenak ia memandangi pisau tersebut dan sadar bahwa itu adalah pisau mentega yang tidak terlalu tajam.
Dengan gemetar dibukanya laci di bawah meja dapur. Di sana ia menemukan pisau untuk memotong daging. Setelah begitu yakin pisau itu cukup tajam, Emma berjalan menuju kaki tangga dan melihat ke arah atas.
Jalan menuju ke atas terlihat sangat gelap. Dilema melanda otaknya. Haruskah ia menyalakan lampu? Atau membiarkan dirinya merayap di kegelapan?
Emma memutuskan jikakeadaan gelap apapun atau siapapun itu akan mempunyai kelemahan penglihatan yang sama dengan dirinya. Dan ia akan mempunyai kesempatan yang baik untuk menyelinap ke atas.
Ia berjinjit menaiki anak tangga menuju ke ruangan tidur anak-anak. Setapak demi setapak, ia berusaha agar langkahnya tidak menyebabkan bunyi apapun.
Emma melompati anak tangga yang ketiga, karena ia ingat kalau anak tangga ketiga itu akan berderit. Sementara kedua tangannya menggenggam pisau daging.
Setelah berada di anak tangga paling atas, ia menatap lorong dengan seksama mencari kalau-kalau ada bayangan. Kembali berjinjit Emma melalui lorong menuju kamar anak-anak.
Setelah tiba di depan pintu kamar, dibukanya pintu secara perlahan-lahan.
Segera setelah pintu kamar terbuka lebar, tangan kirinya mulai meraba-raba mencari tombol untuk menyalakan lampu, sedang tangan kanannya tetap menggenggam pisau.
Betapa terkejutnya Emma setelah tahu anak-anak tidak ada di sana. Jantungnya berdegup keras. Dengan sigap Emma segera berbalik, berlari melewati lorong, menuruni anak tangga.
Kali ini ia tidak peduli dengan suara denyit langkahnya. Tujuannya hanya satu. Ke ruang tengah!