Gendis, satu-satunya anak perempuan dari enam bersaudara, hidup di kota Jepara bersama kedua orang tuanya. Ayah Gendis adalah pengusaha eksportir mebel yang cukup sukses di kotanya. Setelah lulus SMA, ayahnya mengirim Gendis untuk meneruskan kuliah di Amerika di mana ia berkenalan dengan Elio, pemuda Italy yang cukup tampan .
Elio begitu mencintai Gendis dan memperlakukannya bak seorang putri yang paling cantik di dunia. Gendis pun demikian, sangat mencintai Elio dan memperlakukannya seperti layaknya pangeran yang tertampan di seantero jagad ini. Di mana-mana mereka berdua selalu terlihat mesra. Dua sejoli ini membuat orang-orang di sekeliling mereka iri dibuatnya.
Tidak heran kalau mereka bertunangan jauh sebelum lulus kuliah dan memutuskan menikah tidak lama setelah kuliah mereka selesai, meskipun pernikahan itu tidak mendapat restu dari kedua orang tua Gendis, yang sudah mengecam untuk menghentikan segala bentuk bantuan keuangan apabila ia tetap menikah dengan Elio.
Bertolak belakang dengan Gendis yang sebelum menikah orang tuanya selalu memenuhi segala apa yang diinginkannya, Elio berasal dari keluarga Imigran Italy yang mengadu keberuntungan di Amerika dan hidup dalam keprihatinan.
Setelah menikah, orang tua Elio menawarkan mereka tinggal di rumah bersamanya untuk sementara waktu agar mereka dapat menghemat dan menabung. Namun baru menjelang sebulan tinggal bersama mertuanya, Gendis pun hamil. Tentu saja ini bukanlah keadaan yang ideal bagi sang pengantin baru. Di samping masih sangat muda, tinggal bersama dengan mertua di rumah yang kecil kadang tidaklah mudah, hal ini membuat Gendis cukup stress dan tertekan. Tapi untuk membeli rumah sendiri, keuangan mereka belumlah mencukupi.
Elio bekerja sangat keras, kadang pekerjaannya menuntut Elio bepergian dan menginap di luar kota. Gendis sering merasa kesepian dan sedih. Tak lama kemudian bayi laki-laki mereka pun lahir dan diberi nama Gelio. Gendis pun memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan mengisi kesehariannya dengan kesibukan mengurus bayi laki-lakinya itu.
Suatu hari Elio pulang kerja membawa kabar gembira. Dia baru saja mendapatkan promosi dari tempatnya bekerja. Gendis senang bukan kepalang, meskipun dia mengerti bahwa ini berarti Elio akan jarang pulang tapi akan ada peningkatan dalam keuangan mereka, yang juga berarti mereka akan mampu menyewa apartemen sendiri.
Waktupun berlalu, akhirnya mereka mendapatkan apartemen tidak jauh dari kantor tempat Elio bekerja. Meski apartemen tersebut jauh dari istilah apartemen idaman dan terletak di dalam gedung yang sudah tua. Ada empat apartemen di setiap lantainya dan setiap apartemen saling berhadapan satu sama lain. Bagi Gendis keadaan ini jauh lebih baik ketimbang harus menumpang tinggal bersama mertua.
Sebagai pendatang baru, Gendis memutuskan untuk bertandang memperkenalkan diri kepada penghuni apartemen lainnya. Apartemen pertama yang dikunjungi Gendis adalah apartemen yang terletak berhadap-hadapan dengan apartemennya. Gendis mulai komat-kamit melatih kalimat-kalimat yang akan di ucapkan kepada tetangganya itu.
Baru saja Gendis mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, tiba-tiba mendadak saja pintu apartemen terbuka, Gendis pun mundur beberapa langkah. Terlihat rantai pintu masih menempel dan pintu sedikit dibuka. Seorang wanita tua berusia sekitar 80 tahun mencoba mengintip dari sela-sela pintu seakan curiga.
"Hi .. saya orang baru disini ! Nama ... " Belum juga Gendis mengakhiri kalimatnya, wanita tua itu langsung memotongnya.
"Jauh-jauh kamu dari sini! Gag ada yang bakalan mau berteman denganmu! Untuk apa kamu di sini! Hayo ..jauh-jauh sana!!" Teriaknya
" Tapi.. saya cuma ..." Ujar Gendis terbata-bata.
"Heh.. cepat kamu pergi dari sini! Gag ada yang mau menerima kehadiranmu di sini! Kalau kamu tetap tidak mau pergi saya akan menelpon polisi untuk mengusirmu!" Jerit wanita tua itu sambil membanting pintu apartemennya.
Gendis kaget luar biasa dan tidak habis pikir mengapa wanita tua itu memperlakukannya sedemikian kasarnya.
"Huh! Biar cepat mati tuh Ibu!" Sumpah Gendis dalam hati.
Dengan langkah gontai dan kepala tertunduk kecewa, Gendis memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Namun tiba-tiba ia mendengar suara lembut menyapanya.
" Hey, maafkan wanita tua itu yaa.."
Gendis mengangkat wajahnya dan melihat wanita seumurnya berdiri di depan apartemen pas bersebelahan dengan apartemennya.
"Kamu pasti orang baru, ya?" Tanyanya kepada Gendis.
"Iya.." Jawab Gendis singkat perlahan.
" Saya mendengar percakapanmu dengan wanita tua itu!"
Gendis cuma bisa tersenyum pahit, "Iya, cuma buang-buang waktu saja bicara dengan orang gila!"
"Gag usah terlalu diambil hati orang macam itu, ayo mampir ke tempatku, kita minum susu coklat panas aja yuk..."
Gendispun menganggukkan kepalanya.
Setelah pertemuan pertama itu, mereka menjadi teman dekat. Ternyata wanita yang baik hati itu bernama Oda Mae. Dia mengatakan bahwa suaminya meninggalkannya begitu saja.
Oda Mae mempunyai satu orang anak laki-laki seumuran dengan Gelio, anak Gendis. Oda Mae mengabdikan diri sepenuhnya tinggal di rumah mengurus anaknya. Karena sang suami tidak sedikitpun menafkahinya, Oda Mae harus mengandalkan bantuan keuangan dari pemerintah dan orang tuanya yang sekali-sekali mengirimkan bantuan uang. Anak laki lakinya terlihat kurus dan pendiam.
Oda Mae menyekolahkan anaknya di rumah (Home school) Pertemanan ini sangat membantu Gendis menepis kesepiannya, karena tuntutan kerja dengan jabatan yang baru, Elio suaminya sering tidak pulang. Tidak hanya itu anak mereka pun sepertinya cocok satu sama lain, saat Gendis dan Oda Mae saling mengunjungi, mereka terlihat akur bermain bersama.
Suatu hari, pas di penghujung tahun anak Gendis sakit tidak enak badan. Gendis pun meminta Oda Mae untuk menjaganya, sehingga dia dapat keluar membeli obat dan berbelanja untuk keperluan memasak sesuatu yang istimewa nanti malam. Suaminya Elio akan pulang hari itu untuk merayakan malam tahun baru bersamanya. Oda Mae setuju dan sebelum pergi berbelanja Gendis pun membawa Gelio ke apartemen Oda Mae.
"Terima kasih banyak sebelumnya, sudah mau jagain Gelio"
" Gak apa-apa, kita sebagai teman harus saling membantu"
Sepulangnya dari membeli obat dan berbelanja, Gendis langsung menuju ke apartemen Oda Mae untuk menjemput anaknya. Gendis mengetuk pintu apartemen Oda Mae, namun tidak ada yang membukakan pintu.
Gendis lalu menekan bel pintu seraya memanggil nama Oda Mae keras-keras, tetap saja tidak ada jawaban. Pikiran Gendis mulai kacau dan banyak pertanyaan mulai timbul di benaknya. Apa yang terjadi? Kemana mereka pergi? Gendis merasa tak berdaya dan hanya bisa memandangi pintu apartemen Oda Mae, tidak tahu apa yang harus di lakukan.
Penuh air mata bercucuran, Gendis berjalan dengan gontai mengetuk pintu apartemen di depannya. Ya ... tempat si wanita tua yang pernah disumpahinya mati itu tinggal. Gendis seolah lupa dengan apa yang pernah terjadi diantara mereka berdua. Tujuan Gendis hanya satu, mencari anaknya! Dia berharap wanita tua itu mungkin melihat kemana Oda Mae pergi membawa anaknya.
Tak ada yang membukakan pintu saat pertama kali Gendis mengetuk. Karena panik, Gendis mulai teriak minta dibukakan dan mengetuk pintu dengan sangat keras. Kemudian barulah terdengar suara kunci pintu bergerak, pintupun terbuka sedikit.
"Saya dulu sudah pernah bilang untuk pergi jauh dari sini!" Ujar wanita tua itu, namun kali ini nada suaranya tidak terdengar tinggi seperti sebelumnya.
"Maaf, saya hanya ingin mencari anak saya. Karena tidak enak badan, tadi pagi saya titipkan di tempat Oda Mae, saya keluar membeli obat dan belanja sebentar. Tapi setelah saya pulang mereka sudah tidak ada! Apakah Ibu melihat kemana mereka pergi? " ujar Gendis sambil menatap wajah wanita tua itu memelas menanti jawaban.
"Saya benar-benar bingung, tidak tahu harus bagaimana?"
" Kamu memang perempuan bodoh! Ujar wanita tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bagi Gendis kalimat itu tidak terdengar seperti tuduhan, tapi lebih seperti vonis hukuman mati! Gendis berpikir wanita tua ini pasti mengetaui banyak hal yang dia tidak ketahui.
Wanita tua itu akhirnya membukakan pintu dan memberi aba-aba untuk Gendis masuk ke dalam Apartemennya. Gendis pun bergegas masuk membuntutinya dari belakang.
"Tutup pintunya, perempuan bodoh!" Teriak wanita tua itu.
Gendis pun berbalik menutup pintu. Jantung Gendis hampir copot, melihat sebuah patung yang mengerikan di atas pintu.
"Ayo masuk sini, ikuti saya!" Perintah wanita tua tersebut.
Sambil berjalan mata Gendis memperhatikan sekeliling. Apartemen wanita tua ini begitu bersih dan rapih, hanya saja sekeliling dindingnyw tertutup oleh berbagai jenis patung yang menyeramkan. Mungkin ada seratus lebih. Siapakah wanita tua ini? Tukang sihirkah? Gendis mulai bertanya-tanya dalam hati.
"Ibu tahu di mana anak saya berada?" Tanya Gendis dengan nada yang gemetar.
"Ya, saya tahu dan sangat ngeri sekali" Jawabnya sambil geleng-geleng kepala.
"Apa maksud Ibu ngomong kaya gitu!" Teriak Gendis dengan nada sedikit tinggi.
"Hey, dengar kamu perempuan bodoh! Mungkin kamu pikir saya ini wanita gila! Tapi otak saya masih waras! Ingat kan waktu pertama kali saya ngusir kamu? Saya sebetulnya memperingatkan kamu untuk tidak tinggal di sini dan menjauhi apartemen Oda Mae! Tapi kalau saya cerita terus terang, kamu pasti tidak percaya! Zaman sekarang, mana ada anak muda yang mau mendengarkan kata-kata dari orang tua seperti saya. Paling-paling saya dituduh orang gila yang meracau yang ..."
"Maksud Ibu apa sih ngomong kaya gitu?" Selak Gendis setengah teriak.
"Kita ini bertetangga dengan mahluk halus!" Lanjut wanita tua itu.
"Tiap malam saya mendengar suara rintihan dari balik tembok ini" Katanya sambil menunjuk dinding yang tertutup oleh patung-patung.
Gendis tiba-tiba merasa ia sedang berada dalam mimpi yang seram. "Aku hanya ingin bertemu dengan anakku" Tangisnya.
"Oda Mae yang kamu kenal itu adalah orang yang sama yang pernah tinggal di sini dua tahun lalu" Lanjut wanita tua itu.
"Dua tahun lalu? Maksud Ibu?"
"Maksudnya ya itu!" Wanita tua itu kembali bernada tinggi. "Saya melihat dengan mata kepala saya sendiri tubuh Oda Mae dan anaknya di bawa para medis untuk di masukkan ke ambulans melewati depan apartemen saya. Itu dua tahun yang lalu, saya ingat betul!"
"Tapi...tapi.." Gendis bergumam tak tahu apa yang harus ia katakan. Badannya mendadak lemah dan seakan ingin pingsan.
" Saat suami Oda Mae pergi meninggalkannya begitu saja, Oda Mae seakan tidak bisa menerima kenyataan. Dia mulai depresi dan keadaannya membuat Oda Mae dipecat dari tempatnya bekerja. Keluarganya berusaha membantu secara finansial, tapi itu saja tidak cukup. Oda Mae mulai mengabaikan anaknya. Bahkan kadang dia lupa menjemputnya dari sekolah. Wajah anaknya menyerupai wajah suaminya, laki-laki yang ia benci, yang telah meninggalkannya begitu saja. Jadi setiap kali ia memandang wajah anaknya kebencian itu kembali timbul. Terkadang kebencian itu dilampiaskan kepada anaknya. Sering anaknya dijadikan bulan-bulanan".
"Oda Mae tidak bekerja, tidak mengurus anak, tidak tidur, tidak makan, yang dilakukan hanyalah minum-minum dan mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Itu semua dilakukan untuk mengisi kekosongan jiwanya.Untunglah keluarga Oda Mae menyadari apa yang terjadi dan berpikir bahwa mereka harus turun tangan. Mereka mencoba mengambil hak asuh anaknya. Tapi tentu saja Oda Mae tidak setuju dan marah besar".
"Tapi lama kelamaan, keluarga Oda Mae akhirnya memutuskan untuk mengirimnya ke rumah sakit jiwa. Mereka mengurus dan menanda tangani semua dokumen yang di butuhkan, mereka berpikir inilah satu-satunya jalan terbaik buat semuanya. Setelah Oda Mae berada di rumah sakit jiwa, mereka akan mengambil hak asuh penuh anak Oda Mae".
"Sayangnya rencana itu tidak berjalan dengan mulus. Di hari saat mereka menjemput Oda Mae untuk dibawa ke rumah sakit jiwa, Oda Mae yang mabuk mengunci pintu rapat-rapat, menolak untuk keluar. Orang tua Oda Mae menelpon polisi untuk membuka paksa pintu apartemen, namun sudah terlambat Oda Mae telah mencekik anaknya sendiri hingga mati dan kemudian menggantung dirinya menggunakan ikat pinggang."
"Saya menyaksikan sendiri saat pihak ambulans membawa mayat Oda Mae dan anaknya keluar dari apartemen dan melewati depan apartemen saya ini. Saya juga menghadiri pemakaman mereka dua hari kemudian. Oda Mae dan anaknya dikubur di dalam satu lobang yang sama"
"Mayat mereka memang telah di kubur, tapi spirit mereka masih ada di apartemen itu, karena cara mereka mati arwah mereka masih akan terus gentayangan. Setiap malam saya dengar rintihan dari apartemen mereka, kadang terdengar seperti orang yang sedang menggaruk-garuk dinding"
"Orang tua Olga sudah lama ingin menjual apartemen itu, tapi karena cerita tentang Oda Mae sudah menyebar kemana-mana, jadi sejauh ini belum ada yang mau atau berani membeli apatemen itu!"
"Saya sudah bilang ke ayah Oda Mae setelah Oda Mae dimakamkan agar sebaiknya melakukan upacara pengusiran arwah gentayangan di apartemen Oda Mae. Tapi tentu saja dia menolak dan tidak percaya akan hal-hal seperti itu. Tahayul, katanya! Jadi saya yakin di sanalah anakmu ....."
Tiba-tiba wanita tua itu menghentikan ceritanya dan terdiam.
"Tapi .. saya kenal Oda Mae!" Teriak Gendis. "Kita berteman sudah beberapa bulan ini.. saling mengunjungi.. anak saya pun sering bermain bersama anaknya!"
Wanita tua itu memandang wajah Gendis, dengan gemetar ia memegang tangannya. "Ingat saat pertama kali kita bertatap muka? Itu baru saja kemarin pagi," Bisiknya.
"Kamu ngerti kan?"
Gendis duduk dengan mulut yang ternganga, air matanya berderai. Tidak percayq akan apa yang di ceritakan wanita tua itu. Gendis kemudian lari keluar menuju apartemen Oda Mae. Memukul pintu berkali-kali sampai akhirnya Gendis tidak bertenaga lagi, lemas dan terjatuh di lantai.
Wanita tua itu menelpon polisi yang tidak lama kemudian datang mendobrak pintu apartemen Oda Mae. Bau menyengat tercium saat mereka memasuki apartemen yang dipenuhi debu tebal dan sarang laba-laba. Anak Gendis, ditemukan sudah mati terkapar di lantai. Sepertinya Gelio mati karena cekikan di leher.
Gendis berteriak histeris saat melihat anaknya yang sudah mati di bawa keluar dari apartemen. Setelah itu pandangannya samar-samar. Gendis ingat saat polisi menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan, Gendis berteriak-teriak dan menangis. Dia ingat suaminya Elio datang berteriak dan mengguncang-guncang bahunya. Lalu Gendis merasa lemas dan semuanya terlihat sangat gelap. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.
Gendis akhirnya di kirim ke rumah sakit jiwa selama satu tahun. Saat keluar dari rumah sakit jiwa, suaminya meninggalkannya. Elio curiga bahwa Gendis telah membunuh Gelio, darah daging mereka. Gendis kemudian di pulangkan kembali ke Jepara, namun orang tuanya yang sudah lama tidak mengakuinya dan memasukkan Gendis kembali ke rumah sakit jiwa di Jepara.
Saat tidur Gendis kerap memimpikan anaknya menangis dan berteriak "Mama.. tolong mama ... mereka menyekap saya di sini dan saya tidak bisa keluar!"
Catatan: Cerita ini hanyalah cerita fiksi yang terinspirasi dari puisi saya berjudul 'Kala Langit Memilih Bisu". Mohon maaf apabila ada kesamaan nama dan tempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H