Mohon tunggu...
Widz Stoops
Widz Stoops Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Penulis buku “Warisan dalam Kamar Pendaringan”, Animal Lover.

Smile! It increases your face value.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Sejak Kapan Palu Masuk Ruangan Sidang?

4 September 2019   07:55 Diperbarui: 4 September 2019   08:03 823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Website Makezine.com


Pernahkah Kompasianers bertanya-tanya, apa sih hubungannya palu dengan sidang? Kok palu bisa sampai masuk ke ruang persidangan? Kenapa juga hakim harus mengetok palu saat membacakan vonis? 

Nah, untuk menjawab semua itu, kita harus menengok kembali ke era lebih dari lima ratus tahun yang lalu, kira-kira sekitar tahun 1480-an. Saat itu persidangan sangatlah berbeda dengan yang ada sekarang, hakim ditunjuk oleh Raja tanpa kualifikasi tertentu, kecuali dua hal, pertama orang yang tegas berasal dari kalangan biasa, kedua  haruslah loyal.

Pengadilan-pengadilan di era itu sering mengenakan denda, upeti atau pungutan dari satu pihak ke pihak lainnya yang bukan berupa uang atau di sebut "Gavel" atau "Gavelkind". 

Kata yang mungkin berasal dari Bahasa Inggris Kuno: "gafol"(artinya upeti).Denda atau upeti meliputi sapi, domba, wool, tanah dan lain-lain yang diumumkan pada sidang terbuka dengan dihadiri oleh banyak orang, setelah itu akan terdengar perdebatan apakah terlalu tinggi bagi pihak yang bersalah atau terlalu rendah bagi si penerima upeti. 

Kemudian hakim akhirnya akan menggebrak bangku kayu secara keras dengan tangannya sebagai tanda bahwa jumlah denda atau upeti telah diputuskan dan tidak boleh ada perdebatan lagi. Jalannya persidangan kira-kira akan berlangsung seperti ini:

Hakim : "Saya menyatakan Udin sebagai pihak yang bersalah dan dikenakan denda sebanyak 10 ekor domba yang harus dibayarkan kepada Entong pada malam keempat!"

Udin : "Terlalu tinggi!"

Hakim : "Baiklah, denda diturunkan menjadi delapan ekor domba!"

Udin :"Terlalu tinggi!"

Hakim: "Tidak! Denda sudah final, delapan ekor domba!"

Entong : "Terlalu rendah!"

Hakim: "Tidak! Denda sudah final, delapan ekor!" Hakim kemudian menggebrak bangku dengan keras.

Juru sita :" Denda sudah ditetapkan! Lanjut kasus berikutnya ..."

Proses persidangan diatas dikenal dengan istilah "Gavelling". Orang-orang pada saat itu menyebutnya dengan bahasa Inggris kuno "The Gavelling has been done".

Lama kelamaan karena semakin banyak orang yang lebih halus dan sopan dipilih sebagai hakim, praktek menggebrak bangku tetap diteruskan, tapi dimodifikasi dengan menggunakan sarung tangan ketimbang dengan tangan telanjang. 

Namun akhirnya untuk "sound affect" yang lebih maksimum mereka menggunakan palu kayu yang di ketokkan diatas blok kayu. Setelah denda akhir diputuskan, suara ketokan palu menandakan keputusan sudah ditetapkan dan tidak boleh ada yang berbicara lagi. Berarti "The end of that discussion"  Kalimat ini masih tetap terus dipakai.

Seiring waktu, sistem Inggris kuno ini dipakai di Amerika, Australia, India bahkan Indonesia dan negara-negara lain yang pernah diduduki Inggris. Uniknya, hakim di peradilan Inggris dan Skotlandia sendiri tidak menggunakan palu. 

Barangkali tidak banyak yang tahu ini. Palu memang terlihat di ruang persidangan, tapi tidak digunakan oleh hakim, melainkan dipakai oleh staff di persidangan untuk memberi tahu semua yang hadir di dalam sidang kalau hakim telah memasuki ruangan.

Meskipun begitu di negara-negara lainnya palu masih di gunakan hakim untuk mengontrol situasi ruangan sidang. Ketokan palu berarti keputusan telah dibuat, tidak boleh dibicarakan lagi, patuhi perintah, atau lanjut kasus selanjutnya.

Palu juga digunakan oleh pemimpin sidang khususnya di Komite Kongres atau Sub-Komite, pelelangan dan lain-lain untuk menyatakan keberakhiran. Suara ketokan palu berarti , Tenang! Cukup! Meminta perhatian para hadirin,  mengontrol jalannya rapat (sidang) atau sidang telah berakhir! Tok....Tok.. !

Sumber : Quora 

Contoh nama-nama di atas adalah kebetulan saja dan tidak ada unsur kesengajaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun