Pernahkah Kompasianers bertanya-tanya, apa sih hubungannya palu dengan sidang? Kok palu bisa sampai masuk ke ruang persidangan? Kenapa juga hakim harus mengetok palu saat membacakan vonis?
Nah, untuk menjawab semua itu, kita harus menengok kembali ke era lebih dari lima ratus tahun yang lalu, kira-kira sekitar tahun 1480-an. Saat itu persidangan sangatlah berbeda dengan yang ada sekarang, hakim ditunjuk oleh Raja tanpa kualifikasi tertentu, kecuali dua hal, pertama orang yang tegas berasal dari kalangan biasa, kedua haruslah loyal.
Pengadilan-pengadilan di era itu sering mengenakan denda, upeti atau pungutan dari satu pihak ke pihak lainnya yang bukan berupa uang atau di sebut "Gavel" atau "Gavelkind".
Kata yang mungkin berasal dari Bahasa Inggris Kuno: "gafol"(artinya upeti).Denda atau upeti meliputi sapi, domba, wool, tanah dan lain-lain yang diumumkan pada sidang terbuka dengan dihadiri oleh banyak orang, setelah itu akan terdengar perdebatan apakah terlalu tinggi bagi pihak yang bersalah atau terlalu rendah bagi si penerima upeti.
Kemudian hakim akhirnya akan menggebrak bangku kayu secara keras dengan tangannya sebagai tanda bahwa jumlah denda atau upeti telah diputuskan dan tidak boleh ada perdebatan lagi. Jalannya persidangan kira-kira akan berlangsung seperti ini:
Hakim : "Saya menyatakan Udin sebagai pihak yang bersalah dan dikenakan denda sebanyak 10 ekor domba yang harus dibayarkan kepada Entong pada malam keempat!"
Udin : "Terlalu tinggi!"
Hakim : "Baiklah, denda diturunkan menjadi delapan ekor domba!"
Udin :"Terlalu tinggi!"
Hakim: "Tidak! Denda sudah final, delapan ekor domba!"
Entong : "Terlalu rendah!"