Pekan lalu saya menginjakkan kaki di bumi Ternate, Maluku Utara untuk urusan pekerjaan.
Tetapi, bahkan sebelum berangkat, ada satu hal yang ingin saya kunjungi di Ternate, yakni Pasar Gamalama.
Sekira beberapa tahun lalu sebelum pandemi, saya pernah pula ke Ternate dan menyambangi Pasar Gamalama.
Ini berarti, ada kesan mendalam terhadap tempat ini yang membuat saya ingin kembali.
Maka, pagi itu, sebelum anak-anak sekolah dan pekerja kantoran berangkat, saya sudah ngojek ke Pasar Gamalama.Â
Tak sulit menemukan ojek di Ternate, cukup jalan kaki sepuluh langkah di pinggir jalan niscaya kita akan ditawari pengendara sepeda motor yang rupanya si abang ojek.
Berbeda jika mencari via aplikasi, justru agak lama dapatnya.
Singkat cerita, saya diturunkan di dekat lapak penjual buah di area Pasar Gamalama.
Mungkin si abang ojek sengaja menurunkan saya di sini supaya mata saya melek lebih lebar ketika melihat buah-buahan yang segar dan montok itu.
Namun, bukan buah yang saya cari. Bukan pula sengaja blusukan ke pasar untuk mencari suara, maaf saya tidak sedang nyalon.
Sejenak saya berdiri di pinggir jalan dengan tatapan mata menyapu dari utara ke selatan, dan dari barat ke timur.
Aroma khas pasar tradisional menyeruak, tapi tak ada aroma kurang sedap yang saya cium.Â
Saya pun melangkahkan kaki, menyusuri pinggir jalanan yang berjejer pedagang tengah menggelar barang jualannya.Â
"Cari apa Pak?" sapa beberapa di antara mereka. Saya hanya tersenyum sembari mengangguk.Â
Dari kelompok buah-buahan, saya berjalan menuju ibu-ibu yang menjual sayur mayur, dan tentunya rempah-rempah.Â
Komoditi yang tercatat dalam sejarah pernah menjadi magnet sehingga bangsa-bangsa dari Eropa sempat berlabuh di bumi Maluku.Â
Namun, mata saya lebih terpesona dengan mentimun dan sayur kangkung.
Ukuran mentimun di pasar ini terlihat lebih jumbo dan segar dibandingkan yang biasanya saya lihat.Â
Pun demikian dengan sayur kangkung yang terlihat segar dengan batang yang besar dan daun yang terlihat berukuran lebih lebar.
Pantas saja, tiap kali menyambangi rumah makan di Ternate, tumis kangkung dan lalapan mentimun hampir selalu hadir dan memang senikmat dan sesegar itu ketika disantap.Â
Setelah berjalan menyusuri jalan dan lorong di Pasar Gamalama, langkah kaki ini terhenti di depan lapak penjual ikan cakalang asap. Cakalang fufu kata warga setempat.Â
Nah, inilah yang harus saya beli untuk dibawa pulang ke rumah, pikir saya.Â
"Berapaan bu?"
"Yang ini 25, ini 30, kalau ini 50 ribu," jawab ibu penjualnya.Â
Perbedaan harga itu rupanya tergantung ukuran ikannya. Semakin besar, semakin mahal pula harganya.Â
Sejenak saya menimbang dan berpikir, tapi tiba-tiba saja seorang nenek datang di samping saya dan tanpa basa-basi lama langsung membeli dua ekor cakalang yang dibanderol 25 ribu rupiah per ekornya.Â
Ah, kalau gitu samain aja deh dengan nenek itu, tentu dia sudah sangat berpengalaman.
Saya pun memilih dan membeli 2 ekor cakalang fufu dengan total harga 50 ribu rupiah.Â
Sudah terbayang bagaimana cakalang ini nantinya dimasak, dan pastinya cakalang asap cabe ijo dengan kuah santan menjadi menu yang bakal menggugah selera.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI