Guru dicurigai, sekolah dituding, dan study tour pun dilarang. Setidaknya itulah bola liar akibat kasus kecelakaan di Subang beberapa waktu lalu yang melibatkan rombongan SMK Lingga Kencana, Depok.
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat mengeluarkan surat edaran dengan substansi imbauan agar study tour dilakukan di wilayah dalam Provinsi Jawa Barat. Langkah senada juga dilakukan oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.
Sebuah imbauan yang "agak laen" kalau menurut saya. Pasalnya, menilik peristiwa kecelakaan di Subang itu, kan juga masih dalam satu wilayah Provinsi Jawa Barat? Iya nggak?
Jadi kalau niatnya mencegah kecelakaan terjadi, imbauan bahkan larangan study tour ke luar provinsi bukanlah solusi yang pas.
Pembuat kebijakan dan juga sebagian orang yang kontra dengan study tour seolah lupa bahwa masalah kecelakaan lalu lintas beda urusan dengan study tour. Tapi jari telunjuk terlanjur mengarah ke program pembelajaran bernama study tour.
Persoalan seperti biaya yang mahal, panitia yang kurang transparan, hingga bau kongkalikong antara travel agent dengan pihak sekolah, seolah menjadi bom waktu yang meledak. Maka kasus kecelakaan itu pun menjadi momen yang pas bagi mereka yang tidak sepakat adanya study tour untuk melampiaskan kekesalan.
Namun, tentulah tidak semua study tour ditangani dengan buruk.
Study Tour yang terencana dan transparan
Lalu, bagaimana sebaiknya merencanakan study tour yang baik dan meminimalisir risiko?
Berdasarkan pengalaman saya sebagai orangtua yang memiliki anak yang tiap tahun ada kegiatan study tour, saya bersyukur bahwa kegiatan study tour di sekolah anak saya terbilang transparan, terencana, dan melibatkan partisipasi orangtua.
Perencanaan adalah hal penting. Bahkan pada saat mendaftar sekolah, kami para orangtua sudah diberikan rencana dan garis besar kegiatan study tour yang akan dilakukan.
Ada dua macam study tour atau outing, merujuk istilah di SD anak saya. Pertama outing kecil, yaitu study tour yang dilakukan tiap tahun dengan tujuan tidak terlalu jauh. Misal, ke museum di kota sebelah, atau ke tempat untuk edukasi alam seperti di perkebunan atau perbukitan.
Jenis kedua adalah outing besar yang dilakukan pada menjelang akhir masa sekolah ke lokasi yang terbilang lebih jauh. Sejak awal pihak sekolah pun sudah menentukan tujuan outing besar, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon di Banten atau Taman Nasional Way Kambas di Lampung.
Pembiayaan memang menjadi satu hal yang krusial dan sensitif. Maka dari itu sejak awal masuk sekolah para siswa dan orangtua sudah diberikan pemahaman bahwa untuk membiayai kegiatan outing, sekolah akan mendorong berbagai kegiatan kewirausahaan sebagai salah satu bentuk penggalangan dana outing.
Misal kegiatan market day secara berkala. Dilakukan di halaman sekolah, dan tidak hanya menyasar para orangtua, melainkan juga warga sekitar yang tinggal di dekat sekolah. Dari jualan makanan hingga pakaian dan barang bekas layak pakai bisa dijual dan hasilnya ditabung untuk biaya outing. Pernah pula selain di area sekolah, mereka berjualan di area pasar kaget yang lazim digelar tiap minggu pagi.
Anak-anak pun bisa belajar secara langsung sebuah kegiatan ekonomi yang biasanya diajarkan teorinya saja.
Bagi yang tidak memiliki modal atau barang untuk dijual, bisa saja mereka menawarkan jasa. Misal, pernah di satu momen market day, anak-anak sekolah itu membuka layanan cuci motor.
Memang tidak sebersih jika mencuci di steam motor, tapi setidaknya ada usaha dan mereka bisa belajar banyak. Bagi orang dewasa yang merelakan sepeda motornya dicuci pun merasa senang bisa berbagi.
Ada pula sesi ketika menyambut outing besar anak-anak itu melakukan presentasi penggalangan dana dengan sistem sponsorship ke perusahaan atau pengusaha. Anak-anak belajar membuat proposal sederhana dan melakukan presentasi di depan orang lain. Hasilnya? Bisa oke, bisa pula ditolak, dan itu jadi hal biasa saja.
Jika beruntung, ada pengusaha yang berbaik hati menawarkan sekian nominal. Tentu ada imbal balik, misal pencantuman logo usahanya di spanduk kegiatan, kaos seragam, hingga di unggahan media sosial milik sekolah.
Lalu bagaimana peran orangtua dalam kegiatan penggalangan dana atau fund rising untuk biaya study tour itu?
Selain membimbing anaknya masing-masing, seperti berdiskusi dengan anak mencari ide jualan atau ide lainnya, orangtua tiap kelas juga dibentuk semacam kepanitiaan khusus, dan mereka ini di luar komite sekolah.
Ada bendahara dari orangtua yang dipercaya memegang tabungan hasil laba penjualan. Ada yang bertugas melakukan survey lokasi. Ada pula yang berperan sebagai seksi transportasi, yang mencari kendaraan atau moda transportasi yang layak hingga tujuan.
Jika memang tak perlu menyewa bus atau kendaraan, melainkan menggunakan kendaraan pribadi milik orangtua, tentu hayuk saja. Pastinya setelah melalui berbagai pertimbangan dan kesepakatan bersama.
Jadi guru tak sampai kewalahan karena memikirkan kegiatan outing. Anggaran dan pembiayaan pun menjadi transparan karena direncanakan dan dipegang oleh perwakilan orangtua. Sedangkan untuk biaya guru pendamping saat kegiatan sudah dianggarkan tersendiri oleh pihak sekolah.
Dengan cara dan mekanisme demikian, banyak hal dapat digapai sekaligus. Orangtua tidak langsung terbebani dengan biaya yang kadang mengejutkan dan para siswa dapat belajar praktik langsung kewirausahaan serta pemahaman bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan kita harus berusaha terlebih dahulu.
Kemudian dari sisi orangtua juga dapat lebih fokus mengikuti perkembangan sekolah serta kian mengenal dan kompak sesama orangtua siswa.
Orangtua bahkan memiliki hak suara untuk meneruskan rencana atau membatalkan kegiatan outing jika ada hal-hal urgent dan membahayakan. Misal, saat pandemi Covid-19 mulai melanda waktu itu. Kami para orangtua, guru, dan kepala sekolah sampai mengadakan rapat dadakan guna menimbang apakah kegiatan tetap dilanjutkan atau tidak.
Outing di sekolah anak saya memang bukanlah piknik ke tempat wisata. Study tour atau outing tiap tahunnya memiliki tema tersendiri yang berkaitan dengan pembelajaran.
Ambil contoh ketika datang ke tempat produksi garam di Indramayu. Para siswa bertemu langsung nelayan, mendapat penjelasan langsung, serta melihat tahapan produksi garam.
Bagi masyarakat setempat, kegiatan semacam ini juga mendatangkan manfaat ekonomi. Seperti makan dan minum, bisa membeli langsung ke masyarakat setempat.
Masih banyak hal sisi positif dari kegiatan study tour dan outing. Anak-anak itu tak ada yang tak antusias mengikuti kegiatan semacam ini. Maka, jika sampai ditunda atau ditiadakan, bahkan dilarang, sama dengan mengubur keinginan mereka untuk melihat dunia luar dan belajar hal-hal baru.
Ada satu hal yang sampai sekarang saya syukuri dari anak saya. Karena terbiasa ikut outing tiap tahunnya, sedari kecil pun dia sudah terbiasa mengepak pakaian dan peralatan sendiri saat hendak bepergian. Sebuah langkah kecil kemandirian sebagai buah dari kegiatan study tour.
Nah, ternyata study tour ada sisi manfaatnya kalau benar-benar dirancang dengan baik. Sekali lagi, study tour bukanlah piknik, bukan rekreasi dan hura-hura semata. Setidaknya itu yang saya kenal.
Jadi, apakah layak kegiatan study tour dibatasi, bahkan dilarang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H