Malam itu sekitar jam 18.30 WIB, sepeda motor saya tiba-tiba disalip sebuah mobil minivan. Agak kaget juga karena mobil tersebut melaju sambil membunyikan klakson telolet dengan nada musik yang tengah viral belakangan ini.
"Dih, kirain bus lewat," gumam saya.
Lalu lintas memang terbilang agak lengang malam itu. Entah apa motivasi sopir mobil tersebut membunyikan klakson "telolet" di jalanan yang relatif lengang.
Namun, saat melihat seorang bocah kecil berlari mengejar mobil tersebut, saya hanya bisa melongo dan tak habis pikir.
"Om! Om! Telolet Oooomm...! Om! Teloletnya Om!!" teriak bocah itu sambil terus berlari.
Mobil minivan itu memang melaju tak terlalu kencang, sehingga si bocah merasa harus terus berlari mengejarnya.
Padahal tak ada kamera atau ponsel yang bocah tersebut bawa. Seperti halnya anak-anak penggemar bus telolet pada umumnya yang mengejar bunyi telolet sambil merekamnya.
Munkin ia hanya merasakan sensasi asyik mengejar kendaraan yang membunyikan klakson telolet. Tak lebih dari itu. Menurut sudut pandang si bocah, bunyi telolet tersebut teramat menyenangkan dan memang patut dikejar sampai menghilang.
Orang dewasa mana paham?
Hal yang dipahami oleh orang-orang dewasa, dalam hal ini aparat kepolisian, Dinas Perhubungan dan para orang tua di luar sopir pemilik bunyi telolet, klakson tersebut dinilai membahayakan.
Pekan lalu Dinas Perhubungan Kota Tangerang telah resmi melarang penggunaan klakson telolet di wilayahnya. Faktor keselamatan adalah alasan utama pelarangan klakson telolet.
Fenomena yang umum terjadi adalah ketika anak-anak berkelompok di suatu tempat tertentu untuk menunggu kedatangan bus dan meminta klakson telolet dibunyikan. Tak hanya itu, tak jarang ada anak-anak yang sampai mengadang bus yang sedang lewat.
Saat klakson berbunyi, mereka akan merekamnya dan kemudian bakal dipamerkan melalui media sosial. Ada pula yang langsung joget-joget dengan gembira.
Melihatnya, kadang terpikir bahwa kebahagiaan dan kegembiraan terkadang bisa sesederhana itu. Kebahagiaan anak-anak yang bukan berasal dari kalangan "elite" atau "the have".
Kegembiraan yang kerapkali dicap dengan kata "norak" oleh sebagian mereka yang sejak kecil sampai dewasa selalu merasakan betapa susahnya mengupas buah salak, dan oleh mereka yang menganggap jajan di pinggir jalan itu bisa bikin sakit perut.
Well, barangkali ini hanya soal "mindset".
Soal tren klakson telolet, sebenarnya sudah pernah booming sekitar 2016 silam. Saat itu sempat pula terjadi pro dan kontra sehingga muncul pula ide pelarangan penggunaan klakson telolet.
Saat itu pula beberapa kali tersiar kabar berita tentang kecelakaan akibat mengejar bus telolet, yang bahkan ada yang merenggut nyawa. Rentetan peristiwa yang pada akhirnya melatarbelakangi fenomena klakson telolet dianggap membahayakan sekaligus tak berfaedah.
Hingga kemudian tren telolet berangsur-angsur meredup dan kembali booming belakangan ini.
Soal pelarangan, jika memang telah melalui kajian yang cermat tentu patut diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini khususnya para sopir bus, truk maupun kendaraan apapun yang memasang klakson telolet. Juga para anak-anak dan remaja, termasuk bismania yang memiliki hobi menantikan bus telolet.
Bagaimanapun, jika berpotensi membahayakan pengguna jalan, apapun jenis klaksonnya patut dilarang. Bahkan sebenarnya  tak hanya jenis klakson telolet saja, tetapi juga jenis klakson strobo.
Kalau mau jujur, jenis klakson paling arogan, tidak asyik dan menjengkelkan bukanlah telolet, melainkan strobo. Jenis klakson ini bahkan tak bisa buat joget-joget.
"Thet!! Thoott!!" dan semua kendaraan dan pengguna jalan di sekitarnya bakal kaget bukan kepalang.
Lalu apakah Dinas Perhubungan seperti halnya di Kota Tangerang, juga bakal melarangnya? Hmmm... kayaknya sih enggak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H