Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dari Ancaman Kesurupan hingga Miskin Tujuh Turunan, Tak Bikin Kapok Pembuang Sampah di Tanah Orang

23 Juli 2023   19:52 Diperbarui: 25 Juli 2023   14:04 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Spanduk larangan membuang sampah (foto by widikurniawan)

"Dilarang buang sampah di sini, kemarin ada yang kesurupan."

Tulisan di sebuah spanduk di daerah Bojonggede, Kabupaten Bogor, tersebut menggambarkan betapa geramnya pemilik tanah yang sering dijadikan tempat pembuangan sampah oleh orang-orang tak bertanggung jawab.

"Buang sampah sembarangan bisa membuat miskin tujuh turunan."

Kalimat lanjutan di spanduk yang sama tersebut seolah memang terlalu lebay dan nggak nyambung. Tetapi bisa dimengerti dari sisi pemilik tanah bahwa memang teramat susah mengamankan tanah kosong miliknya dari pelaku pembuangan sampah sembarangan.

Tak jauh dari lokasi spanduk tersebut, sekitar tiga puluh meter jaraknya, ternyata lebih parah lagi. Titik tersebut sudah bertahun-tahun lamanya dijadikan lokasi pembuangan sampah liar.

Tanah kosong tempat pembuangan sampah (foto by widikurniawan)
Tanah kosong tempat pembuangan sampah (foto by widikurniawan)

Pemilik tanah dan warga setempat sudah tak terhitung lagi melalukan berbagai langkah antisipasi. Langkah membersihkan sampai benar-benar bersih pernah dilakukan, tetapi tak butuh waktu lama ketika para pelaku lagi-lagi membuang sampah ke titik tersebut.

Sedikit demi sedikit, lama-lama menggunung lagi.

Berbagai spanduk juga pernah dipasang, dari ancaman jika ketahuan bakal kena sanksi sosial hingga ancaman bernada mistis, religius, dan pidana, tak mampu menghentikan kebiasaan orang-orang membuang sampah secara diam-diam ke tempat itu. Hingga lama kelamaan justru spanduknya yang hilang atau rusak dengan sendirinya.

Memang mereka beraksi secara diam-diam, rata-rata ketika menunggu sepi di malam hari atau dini  hari. Bahkan disinyalir mereka justru bukan warga sekitar situ, melainkan minimal beda kampung, karena modusnya selalu menggunakan sepeda motor di kegelapan sambil menenteng kantong plastik berisi sampah.

Begitu sampai dekat titik tersebut, dia akan segera membuangnya ke tempat itu.

Mirisnya, saya pernah memergoki anak kecil menggunakan sepeda motor yang membuang sampah di lokasi tersebut. Bisa diperkirakan, kalau tidak disuruh orang tuanya, mana mungkin anak kecil kira-kira masih SMP mau-maunya buang sampah di situ.

Seorang warga yang tinggal paling dekat dengan lokasi tersebut bahkan pernah berinisiatif memasang kamera CCTV yang mengarah ke lokasi pembuangan sampah. Tak cukup dengan itu, ia pun memasang tulisan bahwa yang terekam membuang sampah di area tersebut fotonya bakal dipasang di tempat umum.

Namun, lagi-lagi langkah tersebut gagal total. Kini bahkan tak ada lagi CCTV terpasang untuk memantau para pembuang sampah sembarangan.

Dilarang keras buang sampah (foto by widikurniawan)
Dilarang keras buang sampah (foto by widikurniawan)

Bagi warga yang tinggal di dekat tanah kosong yang dijadikan pembuangan sampah memang tidak mengenakkan. Dulu saya pernah mengalaminya ketika di depan rumah lama saya jadi sasaran pembuangan sampah.

Bau menyengat kerap tercium, demikian pula hewan-hewan seperti kucing liar, tikus hingga lalat kerap menyambangi tempat itu.

Itulah mengapa pada akhirnya warga yang tinggal dekat pembuangan sampah terpaksa harus membakar sampah jika sudah dianggap menumpuk dan mengganggu. Meskipun tahu jika membakar sampah bukan langkah yang dibenarkan, tetapi kondisi lah yang memaksa.

Ketika si pemilik tanah tidak pernah nongol, dan para pembuang sampah terus saban hari kucing-kucingan membuang sampah. Maka warga yang tinggal dekat situ mau tak mau mengambil langkah instan: bakar sampah.

Serba salah memang.

Urusan sampah dari zaman Lionel Messi masih bocah hingga kini sudah main di Miami, seolah tak kunjung menemukan solusi tepatnya. Kian banyak penduduk, kian banyak rumah, kian menumpuk pula sampah yang dihasilkan.

Lupakan dulu soal warga harus begini, harus memilah dan memilih, jadikan kompos dan bla, bla, bla... Faktanya, di daerah satelit penyangga ibu kota seperti Bojonggede ini kebanyakan orang seolah lebih tersibukkan dengan aktivitas mencari nafkah.

Berangkat pagi buta sambil menenteng sekantong sampah untuk dibuang sambil lewat, setelah itu pulang ketika matahari sudah tenggelam.

Para pembuang sampah sembarangan di tanah orang, tentunya masih bisa dianggap mampu jika menilik sejatinya mereka memiliki sepeda motor untuk membawa sampah dari rumahnya ke titik pembuangan di tanah orang. Minimal ada bensin yang terbakar dari aktivitas itu tiap hari.

Ironisnya, untuk membayar iuran sampah per bulan 30-50 ribu per bulan ternyata enggan. Padahal nominal tersebut tak jauh dari harga rokok per bungkusnya.

Akhirnya memang kembali lagi pada sifat masing-masing orang. Sampah tetaplah dianggap sampah, seolah bukan kebutuhan yang dianggap penting untuk diprioritaskan anggarannya. Buang sampah di tanah orang adalah budaya turun temurun.

Bagaimana dengan pemerintah daerah setempat? Pihak pembuat kebijakan yang seharusnya juga memikirkan solusi soal sampah. Hmm, hmmm..., eh.. apa, eh?

Sudahlah, cukup sekian artikel ini. Semoga tidak ada yang benar-benar kesurupan gara-gara sampah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun