Lupakan dulu soal warga harus begini, harus memilah dan memilih, jadikan kompos dan bla, bla, bla... Faktanya, di daerah satelit penyangga ibu kota seperti Bojonggede ini kebanyakan orang seolah lebih tersibukkan dengan aktivitas mencari nafkah.
Berangkat pagi buta sambil menenteng sekantong sampah untuk dibuang sambil lewat, setelah itu pulang ketika matahari sudah tenggelam.
Para pembuang sampah sembarangan di tanah orang, tentunya masih bisa dianggap mampu jika menilik sejatinya mereka memiliki sepeda motor untuk membawa sampah dari rumahnya ke titik pembuangan di tanah orang. Minimal ada bensin yang terbakar dari aktivitas itu tiap hari.
Ironisnya, untuk membayar iuran sampah per bulan 30-50 ribu per bulan ternyata enggan. Padahal nominal tersebut tak jauh dari harga rokok per bungkusnya.
Akhirnya memang kembali lagi pada sifat masing-masing orang. Sampah tetaplah dianggap sampah, seolah bukan kebutuhan yang dianggap penting untuk diprioritaskan anggarannya. Buang sampah di tanah orang adalah budaya turun temurun.
Bagaimana dengan pemerintah daerah setempat? Pihak pembuat kebijakan yang seharusnya juga memikirkan solusi soal sampah. Hmm, hmmm..., eh.. apa, eh?
Sudahlah, cukup sekian artikel ini. Semoga tidak ada yang benar-benar kesurupan gara-gara sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H