Beberapa menit lagi waktu Maghrib akan tiba, tetapi gelombang manusia masih terus terlihat berebutan naik KRL Commuter Line di Stasiun Sudirman. Demikian pula ketika transit di Stasiun Manggarai, langkah-langkah cepat yang kadang tersendat karena benturan antar manusia, seolah memburu waktu untuk segera menuju arah pulang.
Ketika KRL tujuan Bogor tiba di peron jalur 12, lagi-lagi ratusan penumpang masih harus bersaing untuk bisa mendapat tempat di dalam kereta. Berdesakan memasuki pintu yang dalam hitungan detik bakal menutup lagi.
Secuil tempat untuk berdiri tidaklah buruk bagi mereka, yang terpenting adalah bisa terangkut di dalam kereta. Dalam benak mereka hanya satu, sesegera mungkin bisa sampai rumah. Bertemu dengan keluarga yang telah menunggu di rumah.
Saat itu, KRL yang saya tumpangi memasuki Stasiun Pondok Cina. Tepat pada saat kereta berhenti dan pintu terbuka, azan Maghrib terdengar berkumandang.
Hampir bersamaan kemudian, suara announcer dalam KRL memberitahukan bahwa waktu berbuka puasa telah tiba. Penumpang KRL diperbolehkan untuk makan dan minum hanya sebatas pada waktu berbuka.
Mendengar hal itu, sebagian besar penumpang seolah otomatis saling tengok satu sama lain. Seolah memastikan lagi bahwa benar waktu berbuka telah tiba. Sejurus kemudian mereka mengambil bekal minum dan takjil yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Secara aturan, makan dan minum di dalam KRL sebenarnya dilarang. Tapi khusus di bulan Ramadhan diperbolehkan dalam waktu terbatas bagi penumpang untuk sekadar membatalkan puasa.Â
Momen itu pun tak disia-siakan oleh pernumpang. Terlihat ada yang makan kurma, roti, gorengan, bahkan kolak tanpa takut bakal tumpah saat dinikmati. Memang agak repot ketika mencoba minum dan makan sambil berdiri berdesakan sekaligus menjaga keseimbangan tatkala kereta melaju.
"Sudah buka Bang?" sapa penumpang pria yang berdiri di dekat saya.
"Alhamdulillah," saya mengangguk sambil menunjukkan botol minuman yang saya pegang. Ia tersenyum tipis sambil menawarkan sekotak kecil kurma kepada saya.
"Silakan Bang," ucapnya.
Bukan kali ini saja saya menemui orang baik di KRL yang menawarkan berbagi takjil saat masuk waktu berbuka. Banyak penumpang KRL yang paham makna berbagi saat Ramadhan seperti ini.
Senyum tulus mereka meluruhkan nuansa kaku dibandingkan saat semula terlihat bersaing dan berebutan naik KRL. Momen membatalkan puasa bersama di perjalanan KRL, membuat kami menyadari bahwa kami sama-sama senasib seperjalanan.
Gesekan maupun dorongan kecil memang lumrah, tapi menjadi emosi terlebih dendam adalah sikap berlebihan. Maka saat berbuka seolah menjadi pereda ketegangan yang sempat menyeruak.
Dari sinilah sebenarnya terlihat bahwa penumpang KRL juga manusia biasa yang punya kepedulian dengan sekitarnya. Mereka tak saling kenal satu sama lain, tapi momen berbuka di perjalanan membuat kami seolah merasa terhubung.
Pengorbanan para pencari nafkah
Bukannya tidak mau pulang ke rumah lebih cepat dan bisa berbuka bersama keluarga. Mereka ini sebenarnya juga paham dan menyadari bahwa waktu tempuh hingga sampai di rumah, entah itu di daerah Depok atau di wilayah Bogor, tak bakal cukup jika harapannya adalah sampai sebelum azan Maghrib berkumandang.
Tapi apa mau dikata, yang terpenting kami telah berusaha.
Mayoritas penumpang adalah para pencari nafkah untuk keluarga. Pastinya mereka telah berusaha menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin di tempat kerja.
Namun yang namanya dunia kerja, selalu saja ada hal-hal yang perlu diselesaikan melebihi batas waktu jam pulang. Belum lagi, karena memang jam pulang kerja satu dengan yang lainnya tidaklah seragam.
Bagi yang pulang kerja tepat waktu tenggo jam 16.00 pun bakal mustahil sampai rumah sebelum Maghrib jika rumahnya di daerah Bogor. Jika demikian, buka di perjalanan dan shalat Maghrib di mushala stasiun menjadi keseharian yang tak terelakkan lagi.
Ada banyak orang yang sebenarnya masih termasuk beruntung bisa mendengar azan Maghrib saat sudah berada di dalam KRL. Rupanya tak sedikit pula yang terpaksa membatalkan ketika masih di stasiun keberangkatan atau transit.
Seperti di Stasiun Manggarai yang kerap terlihat banyak orang terpaksa duduk lesehan di lantai stasiun untuk sekedar membatalkan puasa hari itu. Di balik pemandangan itu, patut diapresiasi bahwa dengan aktivitas pekerjaan ditambah beratnya perjalanan ketika menggunakan transportasi umum, tak menyurutkan mereka untuk menjalankan ibadah puasa.
Menjadi pemandangan wajar, ketika orang-orang itu kemudian harus rela tidak tepat waktu untuk bisa berbuka puasa bersama keluarga di rumah. Walau mungkin hati teriris, tapi itulah pengorbanan yang dilakukan ketika berjuang mencari nafkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H