"Alhamdulillah," saya mengangguk sambil menunjukkan botol minuman yang saya pegang. Ia tersenyum tipis sambil menawarkan sekotak kecil kurma kepada saya.
"Silakan Bang," ucapnya.
Bukan kali ini saja saya menemui orang baik di KRL yang menawarkan berbagi takjil saat masuk waktu berbuka. Banyak penumpang KRL yang paham makna berbagi saat Ramadhan seperti ini.
Senyum tulus mereka meluruhkan nuansa kaku dibandingkan saat semula terlihat bersaing dan berebutan naik KRL. Momen membatalkan puasa bersama di perjalanan KRL, membuat kami menyadari bahwa kami sama-sama senasib seperjalanan.
Gesekan maupun dorongan kecil memang lumrah, tapi menjadi emosi terlebih dendam adalah sikap berlebihan. Maka saat berbuka seolah menjadi pereda ketegangan yang sempat menyeruak.
Dari sinilah sebenarnya terlihat bahwa penumpang KRL juga manusia biasa yang punya kepedulian dengan sekitarnya. Mereka tak saling kenal satu sama lain, tapi momen berbuka di perjalanan membuat kami seolah merasa terhubung.
Pengorbanan para pencari nafkah
Bukannya tidak mau pulang ke rumah lebih cepat dan bisa berbuka bersama keluarga. Mereka ini sebenarnya juga paham dan menyadari bahwa waktu tempuh hingga sampai di rumah, entah itu di daerah Depok atau di wilayah Bogor, tak bakal cukup jika harapannya adalah sampai sebelum azan Maghrib berkumandang.
Tapi apa mau dikata, yang terpenting kami telah berusaha.
Mayoritas penumpang adalah para pencari nafkah untuk keluarga. Pastinya mereka telah berusaha menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin di tempat kerja.
Namun yang namanya dunia kerja, selalu saja ada hal-hal yang perlu diselesaikan melebihi batas waktu jam pulang. Belum lagi, karena memang jam pulang kerja satu dengan yang lainnya tidaklah seragam.