Saya bahkan pernah "terjebak" dalam gerbong yang penuh riuh teriakan bapak-bapak yang rupanya berombongan pulang dari semacam acara pertemuan politik. Tak ayal ada pula yang meneriakkan yel-yel politis dan suara ribut saling berfoto di dalam MRT.Â
Keempat, andai ada telepon masuk dan dirasa penting, apa susahnya turun sejenak di stasiun terdekat untuk mengangkatnya. Beberapa kali saya melakukannya karena bisa berabe andai panggilan mendadak dari bos diabaikan.Â
Jika tidak, kita bisa mengirim pesan bahwa sedang berada di MRT dan akan menelepon balik ketika sampai tujuan.Â
Kelima, jarak tempuh MRT Jakarta saat ini masih terbilang dekat. Untuk jarak terjauh dari Stasiun Bundaran HI hingga Stasiun Lebak Bulus, cuma butuh waktu 30 menit saja.Â
Mosok nggak bisa sih menahan hasrat ngobrol sejenak selama perjalanan? Kalau aturan itu berlaku di kereta jarak jauh jurusan Jakarta-Surabaya misalnya, ya wajar kalau bakal mati gaya andai nggak boleh ngobrol atau sekedar menerima telepon.
--
Moda transportasi umum seperti MRT Jakarta memang sebaiknya diisi oleh penumpang yang mampu menjaga diri untuk tidak membuat kegaduhan atau suara-suara yang bisa mengganggu orang lain.Â
Kalaupun perlu bicara seperlunya dan tidak dengan nada yang menarik perhatian, pastinya tidak akan membuat petugas turun tangan.
Maka aturan larangan bicara atau ngobrol sebaiknya tetap diberlakukan seterusnya. Bukan hanya dalam rangka pandemi saja, melainkan untuk membudayakan etika menggunakan transportasi massal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H