Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Transportasi Publik Oke, Budaya Jalan Kaki Bakal Meningkat

15 Oktober 2022   20:30 Diperbarui: 16 Oktober 2022   06:34 1906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menuju Stasiun MRT Dukuh Atas (foto by widikurniawan)

Indonesia dinilai termasuk negara yang warganya paling malas jalan kaki. Itu kata peneliti dari Stanford University. Apa benar begitu?

Jangan-jangan yang diteliti hanyalah orang-orang Indonesia yang terlihat jalan kaki di trotoar saja. Trotoar sepi berarti pada malas jalan? Gitu kali ya? Lha itu yang tiap hari memenuhi mal-mal, apa bukan jalan kaki mereka?

Padahal soal ketersediaan mal di Indonesia termasuk banyak banget. Orang yang hobi jalan di mal bisa menghabiskan waktu minimal dua jam menjelajahi mal, terlebih kalau jelang lebaran. Ya nggak Mak?

Jika Indonesia dicap paling malas jalan kaki, lalu apa kabar jika saat ini tidak ada kaum penglaju di Jabodetabek atau Jogja-Solo yang tiap hari menggunakan moda transportasi massal KRL?

Juga kaum penglaju di kota-kota lain yang mengandalkan transportasi bus untuk pergi pulang kerja?

Para pengguna transportasi publik yang berpindah moda di kawasan TOD Dukuh Atas (foto by widikurniawan)
Para pengguna transportasi publik yang berpindah moda di kawasan TOD Dukuh Atas (foto by widikurniawan)

Biar pun kelihatannya naik kendaraan umum, nyatanya akses untuk menuju dan meninggalkan stasiun atau halte, butuh jalan kaki juga.

Maka bayangkanlah bagaimana ketika seseorang naik KRL menuju Stasiun Tanah Abang dan lanjut belanja ke gedung-gedung pusat perbelanjaan yang tersebar di Tanah Abang. Dari Stasiun Tanah Abang jalan kaki ke Pasar Tanah Abang Blok G saja perlu jarak sekitar 400 meter, ini kalau dilanjut menjelajah lantai demi lantai berjam-jam bisa gempor kakinya bagi yang tak terbiasa.

Bagi kalangan pekerja yang mengandalkan transportasi publik untuk pergi dan pulang bekerja, berjalan kaki dengan ribuan langkah menjadi hal yang terhindarkan lagi. Berpindah moda juga perlu jalan kaki meskipun dilakukan dalam sebuah kawasan Transit Oriented Development (TOD).

Sebut saja kawasan TOD Dukuh Atas. Perlu jalan kaki ratusan meter saat berpindah dari KRL ke MRT atau dari MRT ke kereta Bandara.

Demikian juga kawasan TOD CSW di daerah Kebayoran Baru. Kita harus berjalan kaki beberapa menit saat turun dari halte transjakarta yang terletak di empat titik yang berbeda dan hendak lanjut naik MRT Jakarta di Stasiun ASEAN.

Meskipun sudah terintegrasi dengan bangunan TOD yang megah, tapi bangunan yang didesain terdiri dari banyak lantai dan jaraknya cukup lumayan, bakal memaksa penumpang yang berpindah moda harus jalan kaki terlebih dulu.

Kawasan TOD CSW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (foto by widikurniawan)
Kawasan TOD CSW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (foto by widikurniawan)

Sebagai salah satu anker alias anak kereta yang tiap hari mengandalkan transportasi publik untuk bekerja, sepertinya saya memiliki rerata langkah kaki di atas rata-rata orang Indonesia yang dipublish oleh peneliti Stanford University yaitu 3.513 langkah setiap harinya.

Saya memang belum menghitung keseluruhan langkah saya dalam sehari penuh. Tapi berdasarkan aplikasi pedometer saat menghitung langkah saat turun dari KRL di Stasiun Bojonggede menuju penitipan sepeda motor langganan saya yang berada di luar stasiun, hasilnya adalah 576 langkah.

Hasil kalkulasi langkah melalui aplikasi pedometer
Hasil kalkulasi langkah melalui aplikasi pedometer

Itu belum menghitung langkah kaki saya ketika berangkat kerja. Titik awal dari penitipan motor ke dalam stasiun yang peronnya memanjang.

Kemudian lanjut turun di Stasiun Manggarai untuk transit berpindah kereta. KRL dari arah Bogor berhentinya di peron lantai paling atas. Saya harus jalan kaki menuju dua lantai ke bawah sambil menyusuri peron.

Jalan menyusuri 3 lantai saat transit KRL di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)
Jalan menyusuri 3 lantai saat transit KRL di Stasiun Manggarai (foto by widikurniawan)

Perkiraan saya, untuk transit di Stasiun Manggarai seseorang butuh jalan kaki sekitar 400 meter. Jalan kakinya bahkan sambil desak-desakan kalau di jam sibuk.

Setelahnya saya naik KRL dan turun di Stasiun Sudirman. Jarak sekitar 500 meter harus saya lahap lagi untuk menuju Stasiun MRT Dukuh Atas. Jarak itu bisa nambah jika saya merasa perlu jajan dulu nyari sarapan di sekitar Dukuh Atas.

Sebagai stasiun bawah tanah, maka untuk naik MRT Jakarta harus berjalan turun hingga tiga lantai ke bawah di Stasiun MRT Dukuh Atas.

Bagian dalam Stasiun MRT Dukuh Atas, butuh ratusan langkah kaki sebelum naik ke MRT (foto by widikurniawan)
Bagian dalam Stasiun MRT Dukuh Atas, butuh ratusan langkah kaki sebelum naik ke MRT (foto by widikurniawan)

Selanjutnya ketika turun di stasiun tujuan, saya pun harus berjalan keluar stasiun MRT dan berjalan kaki menuju tempat kerja. Ada sekitar 700 meter yang harus saya tempuh untuk hal ini.

Jika dikalkulasi, hanya untuk berangkat kerja saja saya harus jalan kaki kurang lebih 2 kilometer. Maka total PP bisa 4 kilometer saya lahap di pagi dan sore atau malam hari. Itu belum menghitung langkah kaki saat bekerja dan saat bolak-balik ke toilet dalam sehari.

Pantas saja betis kaki saya terlihat lebih menarik dibandingkan wajah lelah saya.

--

Ketersediaan transportasi publik yang memadai baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, bisa berkorelasi terhadap kebiasaan jalan kaki masyarakat. Setidaknya di Jakarta sudah terlihat demikian.

Jika diperhatikan, mereka yang berjalan kaki di trotoar-trotoar di Jakarta, selanjutnya akan mengakses transportasi publik macam transjakarta, KRL, MRT hingga LRT.

Namun, harus diakui pula bahwa padatnya transportasi publik di Jabodetabek masih terbilang hanya sekian persennya dari jumlah penduduk keseluruhan. Selagi jalanan masih macet oleh kendaraan pribadi, maka peralihan ke transportasi publik bisa dikatakan belumlah maksimal.

Masih diperlukan lagi pembangunan jalur-jalur kereta, MRT hingga LRT yang diikuti dengan pembangunan stasiun-stasiun, halte-halte hingga kawasan TOD baru.

Kawasan TOD CSW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (foto by widikurniawan)
Kawasan TOD CSW di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan (foto by widikurniawan)

Jika pembangunan jaringan transportasi publik ikut ditingkatkan di daerah-daerah lain di luar Jabodetabek, maka bisa dipastikan pula bakal meningkatkan budaya jalan kaki masyarakat Indonesia.

Aktivitas jalan kaki dilakukan bukan karena tidak memiliki kendaraan, tetapi menjadi salah satu bukti bahwa ketersediaan transportasi publik mampu mendukung segala kebutuhan masyarakat. Hal itu juga menjadi hak bagi masyarakat dan kewajiban bagi pemerintah untuk mewujudkan transportasi publik yang nyaman, sehat dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun