Indonesia dinilai termasuk negara yang warganya paling malas jalan kaki. Itu kata peneliti dari Stanford University. Apa benar begitu?
Jangan-jangan yang diteliti hanyalah orang-orang Indonesia yang terlihat jalan kaki di trotoar saja. Trotoar sepi berarti pada malas jalan? Gitu kali ya? Lha itu yang tiap hari memenuhi mal-mal, apa bukan jalan kaki mereka?
Padahal soal ketersediaan mal di Indonesia termasuk banyak banget. Orang yang hobi jalan di mal bisa menghabiskan waktu minimal dua jam menjelajahi mal, terlebih kalau jelang lebaran. Ya nggak Mak?
Jika Indonesia dicap paling malas jalan kaki, lalu apa kabar jika saat ini tidak ada kaum penglaju di Jabodetabek atau Jogja-Solo yang tiap hari menggunakan moda transportasi massal KRL?
Juga kaum penglaju di kota-kota lain yang mengandalkan transportasi bus untuk pergi pulang kerja?
Biar pun kelihatannya naik kendaraan umum, nyatanya akses untuk menuju dan meninggalkan stasiun atau halte, butuh jalan kaki juga.
Maka bayangkanlah bagaimana ketika seseorang naik KRL menuju Stasiun Tanah Abang dan lanjut belanja ke gedung-gedung pusat perbelanjaan yang tersebar di Tanah Abang. Dari Stasiun Tanah Abang jalan kaki ke Pasar Tanah Abang Blok G saja perlu jarak sekitar 400 meter, ini kalau dilanjut menjelajah lantai demi lantai berjam-jam bisa gempor kakinya bagi yang tak terbiasa.
Bagi kalangan pekerja yang mengandalkan transportasi publik untuk pergi dan pulang bekerja, berjalan kaki dengan ribuan langkah menjadi hal yang terhindarkan lagi. Berpindah moda juga perlu jalan kaki meskipun dilakukan dalam sebuah kawasan Transit Oriented Development (TOD).
Sebut saja kawasan TOD Dukuh Atas. Perlu jalan kaki ratusan meter saat berpindah dari KRL ke MRT atau dari MRT ke kereta Bandara.