Mereka yang dulunya identik sebagai anak muda biasa yang sekedar main ke Dukuh Atas bermodal naik KRL Commuterline dari daerah asalnya, kini harus berbaur dengan hiruk pikuk Dukuh Atas dengan orang-orang dari berbagai tempat dan berbagai latar belakang.
Mereka yang berjalan di catwalk zebra cross, dibantu Satpol PP dan Satpam setempat untuk mengamankan jalanan, ternyata banyak juga yang memang model profesional.Â
Mereka membawa brand fashion tertentu, bukan lagi mereka yang ber-outfit modal sendiri yang dibelikan dari uang emak di kampung Citayam.
Tak mengherankan lagi jika Taman Dukuh Atas kini menjadi tujuan para artis, pesohor, hingga pejabat untuk numpang eksis. Bahkan sudah ada yang nyinyir di media sosial mengenai hal ini dan melemparkan ungkapan "created by the poor, stolen by the rich".
Isu gesekan kelas sosial mulai mengemuka di sini, menyayangkan ketika ekspresi spontanitas murni ala anak-anak Citayam, Bojonggede, Depok, harus mulai tergerus dengan ekspresi berbau komersialisasi ala anak-anak ibu kota.Â
Bahkan anak Jaksel yang identik dengan kelas menengah ke atas, sampai dituding ikutan bermain di area bermainnya anak-anak dari daerah penyangga. Hmmm....
Walau sebenarnya, sebagai ruang publik, siapapun berhak datang ke kawasan Dukuh Atas ini. Siapapun juga berhak berekspresi di sini asal masih dalam tataran yang tidak melanggar aturan.
Well, bagaimanapun selalu ada dua sisi yang bertentangan hadir menyertai sebuah fenomena. Jika melongok pada sisi positifnya saja, banyak yang bisa dikupas satu per satu.