Citayam Fashion Week di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, kian tenar saja. Setiap hari, khususnya mulai sore, di seputaran Taman Dukuh Atas semakin ramai dikunjungi oleh orang-orang dengan berbagai latar belakang.
Viralnya anak-anak nongkrong SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojonggede dan Depok, memicu rasa penasaran orang-orang untuk datang ke Dukuh Atas.Â
Tepatnya di kawasan transit oriented development (TOD) yang menghubungkan antara stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun Kereta Bandara BNI City dan Stasiun KRL Sudirman.
Sebelum ramai istilah SCBD dan Citayam Fashion Week, area Taman Dukuh Atas boleh dibilang tak seramai sekarang.Â
Sebagai ruang publik yang notabene sebagai kawasan transit untuk berpindah moda transportasi, area Taman Dukuh Atas hanya ramai karena orang-orang yang bergerak. Mereka berjalan cepat dari stasiun MRT ke stasiun KRL atau sebaliknya.
Jika ada yang memiliki waktu agak longgar, mungkin mereka akan menyempatkan sedikit waktu untuk berpose di sudut-sudut yang dianggap instagramable atau status-able.Â
Ya, karena sejatinya kawasan itu memang sudah konten-able dari awal. Maka tak mengherankan jika para fotografer pun sering menyambangi area ini untuk hunting maupun mengerjakan suatu project.
Kini, sejak viralnya anak-anak remaja Citayam, Bojonggede dan Depok nongkrong di area Dukuh Atas-Sudirman ini, seolah tak ada kata sepi di kawasan ini.Â
Outfit para remaja daerah penyangga itu dinilai unik sehingga melahirkan ide catwalk jalanan bertajuk Citayam Fashion Week.
Tiga hari belakangan ini saya sengaja berjalan memutar saat keluar dari Stasiun MRT Dukuh Atas sebelum menuju Stasiun KRL Sudirman untuk perjalanan pulang dari mencari nafkah.Â
Tentu saja, langkah kaki saya jadi kian jauh, dan kian tersendat karena harus melewati kerumunan anak-anak muda yang tengah menciptakan konten.
Suguhan utamanya sudah pasti lenggak-lenggok ala model dengan catwalk berwujud area penyeberangan atau zebra cross.Â
Sementara di antara kerumunan itu terdapat banyak konten kreator, selebgram, tiktokers, hingga awak media mainstream ternama yang tengah melakukan pemotretan maupun sesi wawancara.
Di antara tangan-tangan warga biasa yang bersiap mengabadikan momen dengan kamera smartphone, tak sedikit pula mereka yang menenteng kamera besar profesional dengan harga selangit.Â
Maka, jika kita berbicara tentang pusatnya pembuatan konten di negeri ini untuk saat ini, silakan tunjuk kawasan Taman Dukuh Atas ini.
Namun, seiring membeludaknya pengunjung di area TOD Dukuh Atas, dan berbondongnya konten kreator datang, masih adakah ruang bagi anak-anak Citayam, Bojonggede dan Depok di kawasan tersebut?
Pasalnya, disinyalir tak lagi anak-anak daerah pinggiran itu yang meramaikan Citayam Fashion Week.Â
Mereka yang dulunya identik sebagai anak muda biasa yang sekedar main ke Dukuh Atas bermodal naik KRL Commuterline dari daerah asalnya, kini harus berbaur dengan hiruk pikuk Dukuh Atas dengan orang-orang dari berbagai tempat dan berbagai latar belakang.
Mereka yang berjalan di catwalk zebra cross, dibantu Satpol PP dan Satpam setempat untuk mengamankan jalanan, ternyata banyak juga yang memang model profesional.Â
Mereka membawa brand fashion tertentu, bukan lagi mereka yang ber-outfit modal sendiri yang dibelikan dari uang emak di kampung Citayam.
Tak mengherankan lagi jika Taman Dukuh Atas kini menjadi tujuan para artis, pesohor, hingga pejabat untuk numpang eksis. Bahkan sudah ada yang nyinyir di media sosial mengenai hal ini dan melemparkan ungkapan "created by the poor, stolen by the rich".
Isu gesekan kelas sosial mulai mengemuka di sini, menyayangkan ketika ekspresi spontanitas murni ala anak-anak Citayam, Bojonggede, Depok, harus mulai tergerus dengan ekspresi berbau komersialisasi ala anak-anak ibu kota.Â
Bahkan anak Jaksel yang identik dengan kelas menengah ke atas, sampai dituding ikutan bermain di area bermainnya anak-anak dari daerah penyangga. Hmmm....
Walau sebenarnya, sebagai ruang publik, siapapun berhak datang ke kawasan Dukuh Atas ini. Siapapun juga berhak berekspresi di sini asal masih dalam tataran yang tidak melanggar aturan.
Well, bagaimanapun selalu ada dua sisi yang bertentangan hadir menyertai sebuah fenomena. Jika melongok pada sisi positifnya saja, banyak yang bisa dikupas satu per satu.
Tengoklah omzet pedagang asongan di sekitar tempat itu yang konon naik berkali lipat. Juga keuntungan para pemilik kafe dan resto di sekitarnya.
Belum lagi mereka yang menangguk untung dari pemanfaatan media sosial karena memproduksi konten dari fenomena Citayam Fashion Week.
Okelah, so far masih terlihat terkendali. Mari coba berpikir positif saja, bahwa pekan ini anak-anak sekolah sudah mulai masuk lagi.Â
So, ketika Dukuh Atas terlihat lebih sedikit anak-anak dari daerah Citayam, Bojonggede dan Depok, bisa jadi karena mereka tak lagi libur makanya hanya anak-anak dari daerah terdekat yang terlihat banyak nongkrong di tempat itu.
Label Citayam Fashion Week dengan peserta non-Citayam yang kian banyak, mestinya juga disadari oleh publik. Jangan sampai ketika ada kejadian tak diinginkan, yang tercoreng justru tetap anak-anak Citayam.
Terlebih kegiatan fashion show di jalanan ini sebenarnya beresiko. Dengan menyeberang zebra cross, walaupun di jalan yang ujungnya buntu seperti di Dukuh Atas ini, tak menutup kemungkinan bisa terjadi kecelakaan.Â
Petugas yang ada, yakni Satpol PP dan Satpam, seharusnya tidak bertugas khusus sebagai pengatur lalu lintas, menghentikan kendaraan ketika ada model yang jalan melenggang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H