Seorang karyawan atau pegawai pasti akan merasakan dilema ketika akan mengajukan izin atau cuti sakit. Apalagi jika sakitnya terbilang "receh" macam tidak enak badan, sesekali pilek, sakit kepala hingga keseleo atau jari tangan kejepit pintu.
Dilema itu mewujud dalam rasa tidak enak hati dengan atasan atau rekan-rekan kerja. Muncul rasa was-was andai orang-orang di kantor tidak mempercayai kondisi kita. Timbul pula ketakutan jika bos di kantor justru menilai buruk karena kita dianggap mengada-ada cari alasan tidak masuk kerja.
Perasaan seperti itu wajar saja dan manusiawi. Namun bisa berakibat fatal jika kita tidak bisa mengukur sejauh mana kita bisa bertahan untuk tetap bekerja di kala tubuh tidak mendukung.
Pengalaman beberapa tahun lalu saat masih terbilang awal bekerja di Jakarta, benar-benar mengubah pandangan saya tentang bagaimana harus bertindak tatkala gejala sakit menyerang di hari kerja.
Saat itu badan saya sudah terasa tidak enak sejak bangun tidur. Namun karena teringat dengan tugas-tugas yang harus diselesaikan di kantor dan rasa tidak enak hati jika minta izin ke atasan, maka saya pun memaksakan diri untuk berangkat kerja.
Tahun itu, jauh sebelum pandemi menyerang dunia, saya pun masih mengalami hiruk-pikuk kepadatan naik KRL Commuterline dari Bogor menuju Jakarta. Dalam kondisi tidak fit, saya tetap memaksakan diri berhimpitan dengan para penumpang kereta.
Hingga saat kereta masuk stasiun Manggarai, tubuh saya terasa makin lemah, kepala saya pusing dan perut rasanya melilit. Dalam kondisi seperti itu, terpaksa saya meminta tempat duduk penumpang perempuan di depan saya, padahal tinggal satu stasiun lagi saya bakal turun.
Orang-orang seolah melihat saya dengan aneh. Baru kali ini ada penumpang cowok meminta tempat duduk milik perempuan. Tapi ah, daripada jatuh pingsan, saya terpaksa melakukannya.
Sampai di kantor, tubuh saya benar-benar sudah lemas. Melihat kondisi saya seperti itu, atasan saya melongo dan hanya mengangguk ketika saya meminta izin berobat ke rumah sakit. Mungkin ia tak bisa berkata-kata, karena tadinya mau ngasih kerjaan tapi malah melihat kondisi saya yang oleng.
Dari kantor saya naik taksi sendirian ke RS Fatmawati. Saya berusaha menguatkan diri untuk tetap melek dan bisa berdiri serta berjalan. Tak ada rekan saya yang menyertai saya saat itu.
Hingga tiba di rumah sakit, antrean di poliklinik yang panjang membuat saya mengiba kepada petugas.
"Pak, saya sudah lemas ini, saya butuh diperiksa sekarang?" kata saya.
"Sakitnya apa Pak?" tanya petugas.
"Lha, mana saya tahu saya sakit apa? Kan belum diperiksa??"
"Ya udah kalau gitu ke IGD saja sana, biar cepat ditangani," ujarnya.
Lagi-lagi saya harus berjalan terseok ke IGD. Untungnya pelayanan di sini lebih cepat dan saya pun segera tahu masalah kesehatan yang saya hadapi.
----
Syukurlah sekarang saya sudah sehat-sehat saja dan tidak mengalami sakit seperti itu lagi. Namun, pengalaman beberapa tahun lalu itu mengajarkan saya untuk mengabaikan perasaan ragu atau dilema jika benar-benar mengalami gejala sakit yang membutuhkan waktu untuk istirahat. Sejak itu saya tak ragu lagi untuk mengajukan cuti sakit jika benar-benar sedang tidak fit.
Toh, yang merasakan sakit adalah diri kita sendiri. Orang lain hanya bisa berasumsi dan itu sah-sah saja, termasuk jika mengira kita berbohong atau mengada-ada. Lebih penting untuk membuktikan kinerja kita ketika sehat, sehingga saat sakit tidak ada yang meragukan ucapan kita.
Terlebih di saat pandemi sekarang ini. Seharusnya ketika seseorang sudah merasakan sedikit gejala flu atau radang tenggorokan, maka tidak bisa ditawar lagi untuk segera beristirahat di rumah mengingat resikonya.
Memang penerimaan suatu lingkungan kerja bisa berbeda-beda ketika menghadapi karyawan atau pegawai yang mengajukan izin atau cuti sakit. Jika reaksi di lingkungan kerja, terutama pada diri atasan kita, terlihat negatif, maka jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah menjaga ritme kerja sambil terus menjaga kondisi kesehatan tubuh tetap prima.
Seperti halnya dalam kurun waktu hampir dua tahun belakangan ini. Karena adanya pandemi, membuat saya lebih ketat menjaga kesehatan diri.
Rutin sarapan dan tidak terlambat saat makan siang menjadi salah satu kunci. Didukung pula dengan banyak meminum air putih yang botolnya selalu saya sediakan di meja kerja saya.
Jika sebelumnya saya sering pulang hingga larut malam karena kerjaan, sekarang diusahakan selalu pulang tepat waktu. Untungnya dalam hal ini lingkungan kerja juga mendukung. Artinya dalam tim kerja kami selalu mengusahakan pekerjaan dilakukan secara lebih efektif. Tidak banyak membuang waktu lagi supaya tidak ada pekerjaan yang terpaksa diselesaikan hingga melebihi jam kerja.
Meski kadang ada kalanya tidak enak hati pulang tepat waktu di saat orang lain masih berada di kantor, tapi sekarang saya berusaha mengaplikasikan prinsip "bodo amat" karena pekerjaan hari itu sudah selesai. Lebih penting adalah bagaimana saya bisa segera mungkin sampai di rumah dan istirahat, mengingat saya tinggal di luar Jakarta.
Ternyata pola seperti ini membuat saya lebih terjaga kesehatannya. Tidur malam saya pun bisa tercukupi minimal 6-7 jam, yang membuat kondisi tubuh terasa bugar saat bekerja kembali keesokan harinya.
Tidak lupa pula selalu mengenakan masker ketika bekerja dan sering mencuci tangan. Bagi saya tidak ada kata "engap" walaupun harus mengenakan masker selama berjam-jam. Diusahakan tiap 4 jam masker harus berganti dengan yang baru.
Hasilnya?
Alhamdulillah, saya pun masih terjaga kesehatannya hingga kini. Semangat dan mood bekerja kembali terjaga dengan baik. Izin atau cuti sakit pun menjadi barang jadul yang sudah lama saya tinggalkan.
Dalam diri ini kemudian timbul rasa empati. Misalnya ketika menghadapi rekan kerja yang terpaksa mengambil cuti sakit, maka kini menjadi kebiasaan kami di grup WA untuk mendoakan kesembuhannya dan memberikan semangat.
Saat dia kembali sehat dan masuk kerja pun, tak perlu prasangka yang dikedepankan. Justru dia akan berceritera sendiri pengalaman sakitnya ketika kita menyodorkan empati dan simpati. Dari sinilah kita akan menilai seseorang tersebut jujur atau tidak.
Dengan begitu lingkungan kerja yang sehat pun akan terbangun. Tak ada lagi prasangka atau rasa tidak enak karena semakin hari timbul kekompakan dan rasa persaudaraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H