Hingga tiba di rumah sakit, antrean di poliklinik yang panjang membuat saya mengiba kepada petugas.
"Pak, saya sudah lemas ini, saya butuh diperiksa sekarang?" kata saya.
"Sakitnya apa Pak?" tanya petugas.
"Lha, mana saya tahu saya sakit apa? Kan belum diperiksa??"
"Ya udah kalau gitu ke IGD saja sana, biar cepat ditangani," ujarnya.
Lagi-lagi saya harus berjalan terseok ke IGD. Untungnya pelayanan di sini lebih cepat dan saya pun segera tahu masalah kesehatan yang saya hadapi.
----
Syukurlah sekarang saya sudah sehat-sehat saja dan tidak mengalami sakit seperti itu lagi. Namun, pengalaman beberapa tahun lalu itu mengajarkan saya untuk mengabaikan perasaan ragu atau dilema jika benar-benar mengalami gejala sakit yang membutuhkan waktu untuk istirahat. Sejak itu saya tak ragu lagi untuk mengajukan cuti sakit jika benar-benar sedang tidak fit.
Toh, yang merasakan sakit adalah diri kita sendiri. Orang lain hanya bisa berasumsi dan itu sah-sah saja, termasuk jika mengira kita berbohong atau mengada-ada. Lebih penting untuk membuktikan kinerja kita ketika sehat, sehingga saat sakit tidak ada yang meragukan ucapan kita.
Terlebih di saat pandemi sekarang ini. Seharusnya ketika seseorang sudah merasakan sedikit gejala flu atau radang tenggorokan, maka tidak bisa ditawar lagi untuk segera beristirahat di rumah mengingat resikonya.
Memang penerimaan suatu lingkungan kerja bisa berbeda-beda ketika menghadapi karyawan atau pegawai yang mengajukan izin atau cuti sakit. Jika reaksi di lingkungan kerja, terutama pada diri atasan kita, terlihat negatif, maka jalan terbaik yang bisa dilakukan adalah menjaga ritme kerja sambil terus menjaga kondisi kesehatan tubuh tetap prima.