Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Tahun 2020, Naik KRL Commuterline Ibarat Ketemu Mantan

26 Desember 2020   20:33 Diperbarui: 28 Desember 2020   05:21 1161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Stasiun Sudirman di kala pandemi Covid-19 (foto: widikurniawan)

Ada satu hal yang hilang dalam diri saya gegara pandemi Covid-19 ini. Saya harus merelakan status sebagai pelanggan KRL Commuterline, dan kini harus puas dengan sebutan "mantan" pelanggan.

Sekitar akhir Februari 2020 saya tak lagi menggunakan KRL Commuterline untuk berangkat dan pulang kerja. Rupanya saya tak sendiri, selama pandemi memang terjadi penurunan jumlah penumpang.

Oke, pasti ada yang bilang saya cemen karena takut penyebaran virus corona di KRL. Ya biarin aja lah, biasa mah itu.

Alasan susah menjaga jarak dalam KRL memang menjadi pertimbangan utama. Terlebih lagi dengan pembatasan kapasitas penumpang, justru membuat antrean di luar stasiun bisa bikin senewen.

Hal ini ditambah dengan fakta bahwa saya tak lagi direstui istri jika masih nekat naik KRL. Bisa-bisa pintu rumah dikunci rapat-rapat ketika saya pulang.

"Ya kalau sampai naik kereta lagi, silakan tidur di teras aja, nanti aku sediain karpet dan bantal," ancamnya.

Baiklah, meskipun harus mengeluarkan ongkos transportasi lebih mahal, akhirnya saya beralih naik bus PPD untuk berangkat dan pulang kerja. Paling tidak, naik bus ini lebih nyaman dan tak ada kepadatan penumpang karena kapasitasnya maksimal hanya 50 persen dan kenyataannya malah lebih sering terisi sekitar 15 persen saja.

Keuntungannya saya bisa duduk dan tidur saat di perjalanan. Beda kalau naik KRL, bisa duduk adalah situasi langka. Saya pun lebih terbiasa berdiri terhimpit lautan penumpang. Sambil tidur juga.

Meninggalkan KRL sebagai moda favorit memang terasa berat. Selain berat di ongkos, beragam kenangan di KRL juga berat untuk ditinggalkan. Selalu saja ada kejadian absurd di dalam KRL.

Sebut saja sebuah peristiwa dalam KRL yang terjadi tak lama sebelum pandemi. Saat itu walau penuh penumpang, ternyata tak sepadat biasanya. Masih ada jarak sekitar lima sentimeter antar penumpang. Lumayan lah.

Tiba-tiba, aroma busuk menyeruak. Menusuk hidung yang saat itu masih belum bermasker. Ini pasti ada yang buang angin, pikir saya.

Saya tak otomatis menutup hidung dengan tangan saya. Mungkin karena sudah terbiasa dan agak kebal dengan bau jenis ini, maka saya santuy aja sambil tetap memainkan smartphone di tangan saya.

Namun, tak berapa lama kok rasanya agak aneh. Saya mengalihkan pandangan saya dari smartphone dan mendapati bahwa orang-orang di sekeliling saya tampak memandang saya dengan tatapan curiga. Jangan-jangan mereka menuduh saya yang buang angin.

Seketika jiwa intelijen saya yang terlatih karena sering nonton film spionase macam "James Bond" dan "Johnny English" membuat saya menganalisa dengan cepat orang-orang di sekitar saya.

Depan saya ada dua remaja perempuan yang sedang saling berbisik, sepertinya ngomongin saya. Sebelahnya ada ibu agak tua, demikian pula di belakang saya. Sisanya di kanan kiri saya adalah adalah bapak-bapak berpenampilan rapi dengan usia yang terbilang sepuh.

Melihat profil mereka dan membandingkan dengan diri saya, laki-laki yang nggak muda tapi nggak bisa dibilang tua, serta faktanya saya tidak menutup hidung, fix, pasti mereka mengira sayalah si tukang kentut. Profil saya sungguh meyakinkan sebagai tersangka pelaku kentut, karena tidak mungkin menuduh emak-emak atau bapak-bapak sepuh yang melakukannya. Nggak sopan banget jika berpikiran seperti itu.

Saya hanya bisa pasrah menerima pandangan tajam serta bisik-bisik yang terdengar seperti "ganteng-ganteng kok kentut sembarangan?".

Nggak papa, saya tabah kok, yang penting masih diakui ganteng.

Peristiwa absurd semacam itu jelas bikin kangen, walau sebenarnya menjengkelkan. Sesungguhnya, saya juga kangen berdesakan. Saya rindu menginjak dan diinjak sesama penumpang. Dorong-dorongan dan rebutan masuk kereta selama ini juga telah jadi passion saya. Termasuk mengintip percakapan WA penumpang di depan saya, itu adalah hiburan tersendiri.

Maka suatu ketika di saat pandemi yang tak kunjung henti ini saya pun memberanikan diri untuk mencoba kembali naik KRL Commuterline. Kebetulan malam itu saya sudah ketinggalan bus langganan saya, so daripada merelakan lembaran uang dua ratus ribu untuk naik taksi, saya pun memilih untuk kembali menumpang KRL dengan ongkos cukup goceng saja.

Bagaimana dengan larangan istri? Ah, saya bisa saja beralasan uangnya mending buat beli martabak daripada buat naik taksi. Toh, sampai sekarang istri saya juga nggak tahu, kecuali dia baca artikel ini.

Tapi, kembali naik KRL kok berasa kayak janjian sama mantan gitu deh ya? Janjian diem-diem tanpa sepengetahuan istri di rumah. Apakah ini yang dinamakan selingkuh? (Eh, maaf say, paragraf ini berdasarkan pengalaman orang lain kok, bukan aku... tolong pintunya jangan dikunci ya...).

Ini situasi KRL Commuterline sebelum pandemi menyerang (foto: widikurniawan)
Ini situasi KRL Commuterline sebelum pandemi menyerang (foto: widikurniawan)
Kembali naik KRL Commuterline setelah sekian bulan lamanya, pasti membuat saya kagok dan grogi. Saya hampir saja nempelin KTP alih-alih seharusnya pakai kartu multitrip untuk masuk stasiun. 

Saya juga masih parno kerumunan, makanya sedikit saja ada pergerakan orang lain, membuat tingkah saya bak induk ayam yang sedang menjaga anak-anaknya. Rasanya pengen ngusir orang yang mendekat ke saya tanpa menjaga jarak.

Untungnya malam itu KRL tidak terisi penuh seperti situasi sebelum pandemi. Longgar walaupun saya tak kebagian tempat duduk. Saat berdiri, saya masih ragu untuk memegang besi atau pegangan dalam kereta. Jadinya saya justru kerap terhuyung kehilangan keseimbangan. Seolah lupa cara naik KRL. Duh.

Ada aturan baru untuk penumpang KRL selama pandemi ini, yaitu dilarang berbicara baik sesama penumpang maupun berbicara dengan telepon. Alasannya agar menghindari droplet yang menyebar  dari mulut saat kita berbicara.

Pokoknya semua penumpang wajib diam. Termasuk kalau ada copet atau jambret ya diam aja, nggak perlu teriak. Kalau teriak dan ngomong ke orang lain kan malah melanggar aturan.

Sayangnya, malam itu tak jauh dari posisi saya berdiri, ada dua orang penumpang yang asyik ngobrol mengabaikan aturan. Melihat hal itu, petugas security KRL datang menghampiri keduanya.

"Maaf Kak, dilarang berbicara di dalam kereta, silakan bicara kalau sudah turun," tegur petugas.

"Lho kenapa emangnya Pak? Kan saya pakai masker?" tanya penumpang.

"Maaf sudah aturannya begitu. Virus bisa menyebar dari mulut kalau kita bicara, walau sudah pakai masker," jawab petugas.

"Lho, bapak juga bicara tuh?"

Pada akhirnya yang waras ngalah. Si bapak petugas security ngeloyor pergi meninggalkan mereka. Saya pun ikutan puyeng.

Kedua penumpang itu, dan beberapa lainnya, malah ketawa melihat pak petugas pergi. Mungkin Indonesia butuh ketawa, termasuk mereka sebagai warganya. Bisa jadi situasi itu tercipta karena saking jenuhnya dengan pandemi.  Tapi mbok ya nggak gitu amat sama petugas.

Saat itulah saya kembali sadar bahwa naik KRL Commuterline di saat pandemi rupanya masih belum cocok bagi saya. Saat ini rasanya sudah paling pas bagi saya untuk menjalin hubungan dengan bus PPD walau sering terkendala macet di tol Jagorawi, terutama saat sore hari.

Tapi, bagaimanapun suatu pilihan memang selalu ada konsekuensinya bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun