Saya juga masih parno kerumunan, makanya sedikit saja ada pergerakan orang lain, membuat tingkah saya bak induk ayam yang sedang menjaga anak-anaknya. Rasanya pengen ngusir orang yang mendekat ke saya tanpa menjaga jarak.
Untungnya malam itu KRL tidak terisi penuh seperti situasi sebelum pandemi. Longgar walaupun saya tak kebagian tempat duduk. Saat berdiri, saya masih ragu untuk memegang besi atau pegangan dalam kereta. Jadinya saya justru kerap terhuyung kehilangan keseimbangan. Seolah lupa cara naik KRL. Duh.
Ada aturan baru untuk penumpang KRL selama pandemi ini, yaitu dilarang berbicara baik sesama penumpang maupun berbicara dengan telepon. Alasannya agar menghindari droplet yang menyebar  dari mulut saat kita berbicara.
Pokoknya semua penumpang wajib diam. Termasuk kalau ada copet atau jambret ya diam aja, nggak perlu teriak. Kalau teriak dan ngomong ke orang lain kan malah melanggar aturan.
Sayangnya, malam itu tak jauh dari posisi saya berdiri, ada dua orang penumpang yang asyik ngobrol mengabaikan aturan. Melihat hal itu, petugas security KRL datang menghampiri keduanya.
"Maaf Kak, dilarang berbicara di dalam kereta, silakan bicara kalau sudah turun," tegur petugas.
"Lho kenapa emangnya Pak? Kan saya pakai masker?" tanya penumpang.
"Maaf sudah aturannya begitu. Virus bisa menyebar dari mulut kalau kita bicara, walau sudah pakai masker," jawab petugas.
"Lho, bapak juga bicara tuh?"
Pada akhirnya yang waras ngalah. Si bapak petugas security ngeloyor pergi meninggalkan mereka. Saya pun ikutan puyeng.