Maka beruntunglah saya, ketika istri saya melangkah menyingsingkan lengan, bahu membahu dengan guru di sekolah dalam pembelajaran jarak jauh.
Tak dipungkiri memang terkadang emosi bisa lepas kontrol ketika istri saya mendampingi anak belajar. Masih dalam tahapan wajar menurut saya, apalagi situasi tersebut kemudian diakhiri dengan saling berpelukan dengan anak serta saling memaafkan.
"Maaf ya Bunda, aku janji mau belajar yang rajin dan fokus," ucap si sulung jika usai membuat 'drama' saat belajar.
Saya meilihatnya sebagai bagian pelajaran hidup, karena pendidikan bukanlah melulu tentang pelajaran yang tertulis di buku. Budi pekerti, perilaku dan karakter, nyatanya lebih banyak dibangun dari rumah. Demikian pula tentang bekal ketrampilan hidup, seperti memasak, membersihkan rumah dan melakukan pekerjaan harian lainnya.
Ya, situasi luar biasa ini memang harus dihadapi dengan langkah-langkah luar biasa pula supaya tidak terjadi kondisi yang membuat generasi ini menjadi tertinggal.
Harapan-harapan untuk kembali pergi ke sekolah tetap saja kami pupuk dalam diri anak-anak. Demikian pula tentang cita-cita, tentang langkah satu tahun ke depan, beberapa tahun ke depan dan di masa depan setelah itu.
"Bunda, aku kalau sudah besar mau kuliah di Jerman, bisa nggak? Kan bisa jadi arsitek, bisa jadi youtuber juga," tanya si sulung.
"Eh, nggak jadi youtuber ding, jadi pembuat kapal aja," ralatnya.
"Cita-cita yang penting bermafaat bagi orang lain. Kalau kamu mau kuliah di Jerman syaratnya kamu harus belajar rajin, banyak membaca dan rajin berdoa," jawab Bundanya.