Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Berangkat Kerja Nggak Boleh Naik KRL Commuterline?

4 Juli 2020   21:05 Diperbarui: 5 Juli 2020   08:52 4726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penumpang KRL Commuter Line tiba di Stasiun Bogor, Jumat (26/6/2020). Tim gugus tugas penanganan Covid-19 Jawa Barat melakukan rapid test dan tes usap pada penumpang KRL Commuter Line yang tiba di Stasiun Bogor untuk memetakan sebaran Covid-19 (Sumber foto: KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Sudah sekitar tiga pekan saya kembali beraktivitas masuk ke kantor lagi setelah sempat "menghilang" beberapa bulan dengan melakukan WFH. Ketika saya kembali bertemu dengan rekan-rekan kerja dan para bos-bos di kantor saya, pertanyaan pertama yang mereka lontarkan kepada saya sungguh hampir seragam.

"Lho, kamu naik apa ke sini?"

Ketika saya jawab naik bus PPD yang kapasitasnya sudah dibatasi 70 persen (meskipun ongkosnya naik), reaksi mereka juga hampir seragam.

"Oh, syukurlah, kirain naik KRL," ucap mereka.

Well, sebelumnya saya memang sudah kadung dikenal sebagai "anker" alias anak kereta yang tiap hari berangkat dan pulang kerja naik KRL Commuterline. 

Mungkin kalau waktu itu saya menjawab "naik KRL" bisa-bisa langsung disemprotin disinfektan dan disuruh mandi dulu dan ganti baju sebelum masuk ke ruang kerja.

Kini di masa pandemi Covid-19, KRL Commuterline memang menjadi sorotan karena meskipun sudah menerapkan berbagai metode protokol kesehatan, nyatanya tetap kesulitan menangani penumpang yang jumlahnya memang nggak kira-kira banyaknya.

Bahkan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan menyatakan akan fokus melakukan pengawasan pada dua area yaitu pasar dan KRL Commuterline ketika mengumumkan PSBB fase kedua pada awal bulan Juli ini. Hal ini membuktikan bahwa KRL Commuterline memang disadari sangat penting dan diwaspadai dalam mata rantai penyebaran Covid-19.

"Mas, emang sekarang lebih baik nggak naik kereta dulu deh, masih gawat," ujar seorang senior di kantor saya.

Sebenarnya saya beralih moda transportasi juga bukan karena tekanan siapapun, tapi kesadaran diri di masa pandemi ini. Sayangnya memang saya tidak memiliki kendaraan pribadi, atau punya tebengan untuk berangkat ngantor. 

Tapi setidaknya dengan beralih naik bus PPD, bisa mengurangi resiko penularan virus ketimbang naik KRL Commuterline yang sungguh susah untuk menjaga jarak.

Walau pada akhirnya justru isi dompet saya yang babak belur karena jika dihitung-hitung saya bakal mengeluarkan tiga kali lipat lebih banyak untuk ongkos transportasi dibandingkan jika naik KRL Commuterline. Apalagi ditambah belum beroperasinya ojek online di daerah Kabupaten Bogor, sehingga dari rumah ke tempat bus mangkal saya masih harus menggunakan taksi online.

Keadaan ini bukan saja jadi dilema untuk saya sendiri. Ribuan kaum urban lainnya, yang harus menglaju bekerja di Jakarta dan tinggal di sekitar Bodetabek pasti merasakannya juga. Ada yang beralih naik sepeda motor sendiri dan ada pula yang pada akhirnya memilih nyetir sendiri mobil pribadi untuk pergi ngantor.

Tapi bagi pekerja dengan gaji yang pas-pasan (ngepas untuk kebutuhan pokok saja), jelas beralih dari KRL Commuterline ke moda lain adalah kemustahilan. 

Mungkin sekarang saya masih bisa tahan untuk naik ke angkutan umum yang lebih longgar, yaitu bus. Tapi tidak menutup kemungkinan saya harus menyerah dan kembali berjubel dalam KRL Commuterline.

Perang terhadap Covid-19 memang belum usai, tetapi para pekerja sudah mulai lagi terjun beraktivitas. Jalanan mulai ramai dan macet, gedung-gedung di Jakarta pun mulai disemarakkan oleh geliat pencari nafkah.

Sayangnya kondisi ini berujung pada kontroversi dua kubu yang masih mewaspadai virus corona dan sebaliknya, orang-orang yang cuek saja. Imbasnya pun merembet pada perdebatan apakah naik KRL Commuterline untuk berangkat kerja bisa dikatakan aman?

Bermacam solusi dan imbauan dilontarkan, tapi tetap saja buntu. Sebut saja imbauan untuk membagi shift pekerja agar tidak numpuk di angkutan umum saat pagi hari. Hasilnya? Masih nol sampai saat ini, karena sepertinya ide tersebut tidak diikuti oleh perusahaan maupun berbagai instansi lain.

Ada beberapa perusahaan yang kuat modal dan sanggup membiayai pekerjanya agar beralih naik taksi online ketika berangkat dan pulang kerja. Tapi tidak semua perusahaan mampu dan tidak semua pekerja bisa mendapat keistimewaan itu.

Saking susahnya mencari solusi, bahkan ada yang menerapkan aturan agar pekerjanya menghindari penggunaan transportasi umum seperti Transjakarta dan KRL Commuterline. 

Pro kontra aturan ini sempat mewarnai perdebatan di media sosial beberapa waktu lalu akibat beredarnya screenshot aturan bagi karyawan yang disinyalir adalah syarat untuk melamar bekerja di sebuah institusi.

Tangkapan layar Twitter @boedi_nugroho
Tangkapan layar Twitter @boedi_nugroho
Naik angkutan umum massal nggak boleh daftar kerja? Hak perusahaan atau instansi sih, terlebih semasa pandemi ini. Namun, di sisi lain jelas dianggap syarat berat terutama bagi mereka yang masih nyari kerjaan. 

Gimana mau punya kendaraan pribadi kalau kerja saja belum? Wong yang kerja bertahun-tahun saja belum tentu kebeli tuh kendaraan pribadi (ehem... curhat).

Sekarang di masa PSBB fase 2, para pengguna setia KRL Commuterline memang berharap adanya solusi yang bisa diterima oleh semua pihak. Solusi yang hampir susah untuk bisa diterapkan sepanjang ada perang kepentingan antara kepentingan harus bekerja dengan kepentingan memerangi Covid-19.

Bagi yang tidak pernah merasakan naik KRL Commuterline tiap harinya, tentu saja akan mudah mengatakan agar orang lain beralih ke moda lain, tapi kadang mereka ini lupa melongok isi kantong si anak kereta itu. 

Mudah pula ketika melontarkan ide "kenapa nggak tambahin saja keretanya", tapi orang ini tidak pernah bisa membayangkan betapa jalur kereta itu cuma segitu saja. Lalu bakal berapa lama lagi kendaraan lain akan nungguin kereta lewat di perlintasan jika tiap menit ditutup supaya kereta bisa lewat.

"Trus solusinya biar KRL nggak padat apa?" tanya seseorang pada saya.

"Ya kurangi saja separuh jumlah penduduk di Jabodetabek, baru bisa sepi tuh KRL," ucap saya spontan.

Saya tentu asal ngomong karena saking tidak bisa menemukan ide untuk menjawab pertanyaan itu. Ide spontan yang mungkin terinspirasi oleh Thanos.

Ah sudahlah, yang penting jangan lupa jaga kesehatan diri masing-masing. Yuk, kerja lebih giat siapa tahu bisa buat beli helikopter

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun