Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Saat UAS dan Emak-emak yang Ikut Senewen

4 Desember 2017   21:52 Diperbarui: 5 Desember 2017   09:09 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto ilustrasi: pexels.com

Seorang kawan yang juga seorang emak, tiba-tiba mengajukan sebuah pertanyaan kepada saya.

"Anakmu ujian nggak?" tanyanya.

"Iya, hari ini mulai UAS seminggu," jawab saya.

Untungnya lidah saya sudah fasih melafalkan "UAS" alias ujian akhir semester. Padahal dari zaman dulu, yang selalu tertanam di otak dan terucap di bibir adalah istilah "tes cawu" alias tes catur wulan.

"Emm, menurut pendapat kamu kalau anakmu nilai ujiannya turun atau jelek gimana? Pusing nggak?" tanya kawan itu lagi.

Waduh, ini pertanyaan yang berbau curhat menurut saya. Seolah saya bisa mendeteksinya seketika. Apalagi kalau dilontarkan oleh emak-emak. Bisa jadi dia memang sedang pusing dan was-was dengan nilai UAS yang akan diperoleh anaknya.

"Ya nggak perlu pusing lah, nilai ujian kan bukan segalanya..." ini jawaban singkat yang bisa terucap oleh saya.

Harapan saya ia bisa mengerti dengan kalimat itu. Tapi entahlah, obrolan kami malah tak berlanjut, dan kawan itupun kembali sibuk berkutat dengan hal lain.

Begini toh rasanya saat sudah punya anak usia sekolah. Topik ujian di sekolah pun sering muncul jadi trending di saat-saat tertentu. Saya tak lagi heran ketika melihat para emak yang bekerja terlihat buru-buru pulang begitu jam kerja usai. Alasannya anaknya sedang UAS, butuh pendamping belajar.

---

Malam ini, saya sampai rumah sekira pukul tujuh dan menyelesaikan tetek bengek ritual dari mulai mandi, makan malam, ngobrol dengan istri serta bercengkerama sejenak dengan anak-anak.

Si sulung yang sudah kelas dua SD, terlihat cuek dan biasa-biasa saja meski besok pagi sudah memiliki jadwal UAS untuk dua mata pelajaran.

"Sudah belajar belum?" tanya saya padanya.

"Sudah," jawabnya.

"Yuk belajar lagi sama Ayah.."

"Emm, tapi aku mau bikin meja makan dulu, bikin the project..." jawabnya.

Sejurus kemudian dia mulai utak-atik lego dan menyusunnya jadi satu set meja makan lengkap dengan empat buah kursi.

"Nih Yah, selesai... the project..." ucapnya dengan girang.

FYI, "the project" yang dimaksudnya adalah seperti acara televisi tiap Minggu pagi yang membahas khusus tentang desain interior. Kami selalu menontonnya apabila tidak ada acara keluar saat Minggu pagi.

Well, saya hanya menghela nafas dan garuk-garuk kepala. Ayah macam apa ini saya? Bukannya memaksa belajar karena besok pagi UAS malah membiarkan anaknya bermain lego. Di mana coba jurus belajar SKS alias sistem kebut semalam yang dulu pernah jadi andalan saya?

"Oh, sip deh, bagus banget mejanya, emangnya buat ditaruh di mana?"

"Ruang makan..."

"Ruang makan bahasa Inggrisnya apa?"

"Dining room..." jawabnya.

Lagi-lagi saya lega. Jawabannya benar dan itu termasuk materi untuk mata ujian Bahasa Inggris esok pagi. Saya pun secara acak mencoba ngetes beberapa vocabulary lainnya. Hasilnya?

"Aku ngantuk Yah, mau tidur... hoaamm..."

Waktu menunjukkan pukul delapan malam lebih sepuluh menit.

"Ya sudah, rapikan dulu mainannya, besok biar segar di sekolah..."

Tak butuh lama dia pun tertidur setelah minta diceritakan dongeng dan setelah mengucap sebuah janji pada dirinya tanpa diminta.

"Besok pagi aku kalau bangun mau langsung mandi, mau cepat-cepat ke sekolah..." ucapnya.

Tumben, biasanya anak itu butuh waktu lama dan mencoba mencari berbagai alasan untuk tidak bersegera mandi pagi. Biasanya bundanya akan kehabisan kata-kata dan kesabaran saat terlibat drama dengannya.

Jika besok pagi benar-benar dia lakukan, tentu ini sudah kedua kalinya karena pagi tadi pun dia juga bergegas mandi sebelum saya berangkat kerja. Biasanya anak saya ini akan menunggu saya berangkat sebelum dia mau mandi. Jika dipaksa, bisa-bisa malah muncul teriakan dan tangisan.

Bagi saya, perubahan perilaku positif walaupun terkadang terlihat tak berarti, adalah sebuah kelegaan yang luar biasa. Saat dia melakukan suatu kewajiban dengan rela hati dan rasa senang, itu merupakan nilai yang bagus bagi kami. Tak perlu sebuah angka di buku rapot untuk menilainya.

Saya lebih bangga saat ia mampu menjual habis donat seharga dua ribuan saat "Enterpreneur Kids". Saya pun akan bahagia jika guru di sekolahnya bercerita jika anak saya telah melakukan kebaikan dengan membantu temannya merapikan meja dan buku.

Mungkin kalau saya bilang bahwa saya tak semata melihat nilai di buku rapot pada kawan saya tadi, bisa jadi saya malah dicap berlagak seperti "orang bener" saja. Bener-bener rada-rada gimana gitu.

Dicap "rada gimana" memang sudah biasa saya terima, khususnya tentang pendidikan anak. Sudah banyak orang yang heran ketika sekolahan anak saya tidak mewajibkan pakai seragam dan malah sering berbecek ria dengan sepatu boot. Banyak pula yang bertanya kenapa anak saya tidak punya buku LKS (lembar kerja siswa) atau semacam buku paket. Tapi ah, biarlah, kalau mau serius bertanya detail baru saya layani.

---

Pukul sembilan malam, dan saya sayup-sayup masih bisa mendengar emak-emak tetangga sedang meninggikan suaranya saat mengajari anaknya menghadapi UAS. Saking tingginya sampai suaranya tembus ke dinding rumah kami.

"Gimana sih?! Ini coba diulang, lima ditambah enam berapa coba itung! Trus yang ini...."

Entah sampai jam berapa dan sudah berapa lama ketegangan itu berlangsung. Saya hanya bisa mencoba paham memahami jika si emak itu sangat khawatir jika si anak tidak bisa mengerjakan soal saat ujian, dan tentunya nilainya akan jeblok. Di satu sisi saya mencoba paham sebagai anak, karena saya dulu sudah kenyang berkutat dengan "tes cawu" hingga "EBTA" dan "EBTANAS". Rasanya sebagai anak pasti ingin segera tidur dan melupakan segala pelajaran yang menyusahkan.

Ternyata zaman berganti, istilah berganti, tak serta merta menghapus ketegangan saat orang tua menghadapi masa-masa ketika anaknya memasuki musim ujian. Mau zaman old atau zaman now, tak mengubah realita ketika di malam hari saat esok hari ujian, ternyata masih banyak emak-emak (dan kaum bapak) yang senewen dibuatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun