Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

[LOMBAPK] Begini Rasanya Jadi Minoritas Nggak Doyan Durian

18 Januari 2017   11:50 Diperbarui: 18 Januari 2017   11:54 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ini banner-banner kenthir deh...

“Sejak kapan kamu nggak doyan durian?”

Ketika pertanyaan ini tertuju pada saya, biasanya tidak saya jawab. Cukup senyum yang saya lempar kepada mereka, lumayanlah ada nilai ibadahnya daripada kulit durian yang saya lempar ke mereka, jatuhnya malah dosa atau justru laporan ke Bareskrim. Iya, sebabnya saya pun tidak tahu persis sejak kapan, karena seolah sejak saya lahir ceprot ke dunia ini saya sudah memiliki sensor alarm terhadap durian bersama aromanya.

Peristiwa penting yang teringat di memori saya adalah saat saya yang berusia antara 5-6 tahun pernah tantrum (bukan Ariel Tantrum yak...) atau ngamuk-ngamuk pada seisi rumah karena mereka membawa durian ke rumah dan berpesta. Jangan ditanya lagi kalau saya ngamuk, iya jangan ditanya dan nggak perlu kepo lah. Pokoknya saya marah, nangis, teriak dan histeris.

Sejak itulah orang tua saya mengetahui bahwa anak lelakinya yang terlahir ganteng sejatinya punya masalah dengan durian dan aromanya. Saya bisa langsung merasa mual dan tidak bisa berpikir jernih karena aromanya membuat saya pusing. Selain pusing, perut saya bisa mules kayak ibu-ibu mau melahirkan. Ini beneran, bukan fiksi, silakan googling pakai yahoo kalau nggak percaya.

Efek durian bagi saya tuh ibarat Superman ketemu batu kryptonite yang melemahkan segala kekuatannya.

Nyatanya kian lama saya makin bisa mengontrol emosi saya ketika mencium aroma durian di dekat saya. Saya tak lagi ngamuk-ngamuk meski sampai sekarang pun efek bau durian masih sama terhadap saya, bikin mual dan pusing. Intinya marah sih tidak, cuma mual saja.

Sebagai minoritas di negeri yang mayoritas masyarakatnya menggemari durian, saya harus bisa menahan diri. Tak mungkinlah saya ngamuk membabi buta menggusur lapak-lapak durian di sepanjang Kalibata, misalnya. Satpol PP saja nggak segitunya. Saya banyak belajar bagaimana menjadi minoritas yang mencoba memahami kesenangan dan kebutuhan orang lain.

Suatu ketika saya harus menemani tiga orang tamu dari kantor pusat tempat saya bekerja. Dari mulai hotel hingga makan saya yang urus. Hingga suatu ketika usai mengantar makan malam, seorang tamu saya tampaknya tergiur durian-durian yang penjualnya mangkal di pinggir jalan.

“Mas, duriannya kayaknya enak tuh?” ujarnya.

“Oh, memang enak-enak Pak durian sini, mau coba, oke deh kita mampir sebentar...” ucap saya.

Terus terang, saya nggak sampai hati kalau mau bilang durian di situ sama sekali nggak ada enak-enaknya. Busuk, bikin mual, pokoknya nggak enak. Ya sudahlah, untung lapaknya di pinggir jalan, bukan di ruangan tertutup, untung pula angin malam rada kenceng jadi saya hanya perlu atur posisi yang pas supaya tidak terkena hembusan aroma belah duren.

“Silakan pilih-pilih Pak, Bu...” ujar saya.

Dan malam itu, sepuluh menit terasa bak sepuluh tahun. Malam yang penuh kepura-puraan bagi saya. Pura-pura senyum manis, padahal nahan mules. Pura-pura nelpon di pojokan dekat semak-semak, padahal cari angin segar. Pura-pura beli permen di warung kecil, padahal numpang sendawa doang. Paling ekstrem, saya pura-pura jadi pohon saat ditawari makan durian. Tepatnya pohon durian, saya pun buang angin biar aromanya mirip, so masak durian makan durian? #ea.

“Sudah Pak Bu? Kita lanjut jalan?” tanya saya.

Namanya juga tamu, diajak gitu sama guide-nya pasti nurut. Saya tinggal bayari mereka dan selesai penderitaan (iya, kayak hidup lo, gue bayarin, kelar deh penderitaan lo... #eh).

“Lho Mas, kamu nggak ikutan makan durian?” tanya mereka.

“Engg, anu, engg... saya mah kalau malam nggak biasa makan banyak, tadi kan sudah makan di restoran, hehe...” dan untungnya saya ini banyak ngelesnya.

“Oh, kirain nggak doyan durian. Ada lho teman saya nggak doyan durian, kitanya jadi susah gitu kalau jalan-jalan, nggak asyik banget ada orang macam itu...”

Eng, ing, eng... nyinyir is in the house brow...

Ya begitulah, lebih baik diam dan senyum saja. Percuma menjelaskan tentang bagaimana busuknya durian bagi sebagian kecil orang-orang tertentu di negeri ini. Percuma saya bilang kalau kebanyakan durian mereka bakal mabok. Percuma pula menjelaskan fakta bahwa durianlah buah paling terkenal yang kerap kena larangan dibawa di kereta, masuk ke hotel dan kabin pesawat. Percuma juga memaparkan fakta bahwa orang-orang bule tuh kebanyakan jijik sama durian, seperti kamu jijik sama mantan yang sering banget bohong (ciee...).

“Tapi kamu kan bukan bule, hahaha... ngimpi...” kata mereka.

Ah, biarlah, yang jelas semakin bertambah usia (ehem...) saya merasa diri saya semakin toleran. Saking tolerannya, bahkan saya pernah terlibat dalam sebuah pelanggaran peraturan gara-gara durian. Saya pernah membantu memasukkan durian ke dalam ruangan hotel demi agar rekan-rekan kerja saya bisa makan durian setelah seharian penuh berkutat dengan urusan pekerjaan.

Triknya adalah memasukkan barang busuk itu lewat pintu khusus dari parkiran mobil di lantai basement. Jangan ditiru ya gaes, kasihan petugas kebersihannya.

Namun, rupanya segala upaya dan pengorbanan saya demi kaum mayoritas penggemar durian terkadang hanya bertepuk sebelah tangan. Tak jarang saya mengalami pem-bully-an gara-gara jati diri saya sebagai non-penggemar durian terkuak. Misalnya saja dalam sebuah acara kumpul-kumpul yang agendanya sebenarnya hanya tentang tertawa bersama atau temu kangen, eh tiba-tiba malah ada yang order durian sekarung.

Di situ kadang saya merasa pedih. Mereka tidak peduli kalau saya harus menahan mual atau bahkan muntah-muntah dan lari ke toilet. Mereka tidak malu untuk bertindak kekanak-kanakan dengan mendekatkan daging buah durian yang baunya tajam ke dekat wajah saya. Plis deh gaes, saya kan juga manusia.

“Cobain deh, sekali mencoba pasti kamu ketagihan..” kata mereka.

Hmm, mungkin ada beberapa kasus orang yang berubah haluan menjadi pecandu durian gara-gara sekali icip lalu ketagihan. Tapi saya tidak masuk kategori itu, cara-cara paksa dan menjurus kekerasan untuk merekrut seseorang masuk menjadi penggemar durian adalah cara kekunoan menurut saya. Cara yang jahat, sejahat perilaku Rangga.

Di keluarga saya, toleransi terhadap saya yang tidak doyan durian dan dengan mereka yang sangat gemar durian sudah berjalan dengan baik. Meski om saya bahkan pernah menjadi pedagang durian, dia tidak pernah memaksakan saya untuk menjadi sepertinya.

Dia sama sekali tidak pernah bilang begini:

“Ayolah makan durian ini, gratis all you can eat bonus tak kenalin sama perawan kinyis-kinyis kampung sebelah...”

Tidak, jelas tidak. Soal durian mah beda urusan sama perawan.

Terkadang saya mikir, betapa beragamnya cara pandang orang. Ada yang sangat toleran, ada yang toleran tapi dengan syarat ketentuan berlaku, ada pula yang berprinsip “say no to toleran”.

Coba deh bayangkan betapa indahnya dunia jika para durianers bisa hidup berdampingan dengan non-durianers tanpa saling mengganggu. Para durianers bebas makan tanpa mengakibatkan jatuh korban di pihak non-durianers. Sebaliknya juga kaum non-durianers seperti saya tidak mudah emosi ketika ada oknum makan durian di depannya.

Sempat terbayang dan terpikir di otak saya, bahwa saya mesti bikin suatu gerakan semacam Granad, bukan Steven Granad mantan pemain bola Liverpool ya, tapi Gerakan Nasional Anti Durian. Atau malah sekalian saja bikin Partai Anti Durian. Tapi lama-lama mikir saya malah lupa. Maksudnya lupa kalau tindakan emosional seperti itu hanya akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa (cie.. cie..). Bisa-bisa petani dan penjual durian banyak yang benci saya.

Ayolah gaes, saya tidak akan berpanjang lebar lagi nulisnya. Capek lah. Intinya sebagai anak bangsa, mari hargai perbedaan masing-masing. Toleransi adalah kata kunci yang tidak boleh ketinggalan di laci. Walaupun hanya persoalan durian, hal yang bisa saja kalian anggap terlalu remeh. Tapi sebenarnya sangat penting. Sama pentingnya dengan diriku di hatimu (eh). Kalau masalah begini saja toleransi diabaikan, bagaimana dengan urusan yang lebih besar coba? Misalnya cinta, sakit kan kalau cintamu diabaikan? (ehem).

Pastinya hidup damai dan rukun dalam bingkai toleransi lebih nikmat daripada harus saling bermusuhan. Camkan itu gaes.

ini banner-banner kenthir deh...
ini banner-banner kenthir deh...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun