Bagian Dua
Dion memasukkan notes dan pulpennya ke dalam tas ransel. Sejenak ia memastikan rekaman jumpa pers di ponsel pintarnya telah tersimpan dengan aman. Saat itu hari Kamis, dan Bang Dhani, redakturnya, ngasih deadline di hari Minggu malam untuk Tabloid Nggosip Indonesia yang terbit tiap Selasa pagi. Dion berpikir keras supaya artikelnya tidak bakal basi nantinya, karena pasti media-media gosip online sudah langsung menurunkan beritanya saat itu juga.
Dion merasa agak beruntung karena tabloid tempatnya bekerja masih seumur jagung dan belum memiliki situs internet yang update. Sehingga ia tidak ditugasi untuk mengisi berita yang mengandalkan kecepatan informasi untuk berita online. Namun, di satu sisi Dion terbebani untuk membuat tulisan yang lebih dalam, lengkap dan berbobot meski di ranah hiburan dan gosip.
Dalam metromini jalur 69 yang menuju Cipulir, tempat kosnya, Dion mulai browsing tentang berita kedatangan Bread Pig untuk main film di Indonesia.
“Si Macho Bread Pig Bakal Main Film Bareng Si Montok Jupe,” demikian judul berita di situs Sesuatu dot com yang ditulis wartawannya, Rini. Dion hanya sekilas membaca, tidak sampai tuntas, karena ia merasa pusing membaca pilihan kata-kata yang digunakan Rini.
Ia pun kembali sibuk membuka-buka berbagai situs spesialis hiburan dan gosip.
“Wow, Bread Pig ke Indonesia Demi Jupe”
“Tolak Roy Martin, Jupe Gaet Bread Pig”
“Bread Pig ke Indonesia Disponsori Warteg?”
“Sensasional, Bread Pig Bakal Main Film Pocong”
Dion hanya geleng-geleng kepala membaca berita-berita berjudul heboh tersebut. Meskipun dirinya masih baru di dunia jurnalistik, dan kini pun ia bekerja untuk Tabloid Nggosip Indonesia yang juga suka sensasi basi. Namun, jiwa jurnalistiknya masih cukup terjaga untuk membedakan mana berita ecek-ecek dan mana berita yang lumayan baik untuk dikonsumsi pembaca.
Dion memang mantan aktivis pers mahasiswa di kampusnya dulu di Solo. Setelah lulus, Dion sebenarnya bercita-cita untuk menjadi wartawan di media nasional di Jakarta. Namun, bukan karena Dion tidak mampu bersaing untuk menembus media-media dengan reputasi hebat, jika ia kini terdampar di sebuah tabloid yang segmennya menengah ke bawah. Lebih sering dibaca di pinggir-pinggir jalan ketimbang di loby-loby hotel berbintang.
Dion telah banyak mengalami penolakan pahit di saat-saat akhir ketika melamar pekerjaan di perusahaan media ternama. Dion pernah dianggap terlalu ndeso untuk bekerja di Jakarta yang butuh pengenalan medan di atas rata-rata. Dion pun pernah ditolak saat wawancara di sebuah tabloid olahraga saat ia ditanya apakah dia hapal nomor punggung John Terry di Chelsea. Dion yang penggemar sepakbola sebenarnya tahu kalau John Terry memakai nomor 26 di klub Chelsea. Tapi entah setan mana yang membuatnya keseleo lidah menjawab 36 sambil matanya salah tingkah menatap ibu Kepala HRD yang berpakaian agak seksi.
Jika kini Dion menjadi awak sebuah tabloid gosip, Dion menganggap sebagai batu loncatan sebelum bisa menembus media dengan reputasi bagus. Walau sebenarnya Dion sendiri ragu apakah tabloid murahan ini bisa mengangkat kariernya atau malah menjerumuskannya.
“Aih, emak bangga kamu bisa foto bareng SMASH, Dion…” itulah ucapan emaknya di Temanggung yang dikirimi foto ukuran 5R saat Dion sempat berpose usai mewawancarai boyband SMASH bulan lalu. Kini kata emaknya, foto itu telah dipigura dan nongkrong dengan manisnya di warung soto ayam milik bapak Dion. Buat penglaris katanya.
Paling tidak, bagi Dion, pekerjaannya saat ini bisa sedikit membanggakan bagi orang tuanya dan lumayan bisa menghidupinya sehari-hari, tidak lagi disubsidi dari kampung.
-----00-----
“Gimana hasilnya?” sebuah SMS datang dari Bang Dhani.
“Beres Bang, berita hot, Bread Pig bakal main sama Jupe,” jawab Dion.
“Oke, besok lu harus wawancara Jupe,” perintah Bang Dhani.
“Oke bos”
-----00-----
Dion belum pernah ketemu Jupe alias Juliya Peyek sebelumnya, ia juga tidak tahu di mana Jupe tinggal. Namun, sebagai wartawan ia tidak boleh berkata tidak tahu menahu soal Jupe pada redakturnya. Ia harus menggunakan jaringannya untuk mencari tahu sendiri.
“Mas Jack, mau ketemu Jupe? Bareng donk…” Dion mengirim pesan pada Jack, salah satu rekan seprofesi yang selama ini dirasa baik dan selalu mau membantu.
“Oke bro, kalau mau ntar malam jam 11 abis dia manggung di Ancol, gw udah janjian kok,” jawab Jack.
Ancol? Dion mikir sejenak, jaraknya terlalu jauh dari posisinya sekarang. Sore menjelang gelap itu metromini 69 yang ia tumpangi masih tersendat oleh macetnya Kebayoran Lama. Tubuhnya juga terasa lelah setelah seharian berkutat di hiruk-pikuk ibukota.
“Oke Mas Jack, ketemu di mana?”
“TKP aja, ntar calling, ok?”
“Ok”.
Dion akhirnya memutuskan untuk pergi ke Ancol bareng Mas Jack. Demi mengejar narasumber, demi sebuah kepuasan menemui langsung sumber berita.
-----00-----
Bersambung lagi yee....
Episode sebelumnya:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H