Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) merupakan survei yang diselenggarakan BPS kerjasama dengan BKKBN. SDKI dilakukan setiap 5 tahun sekali dengan tujuan memperoleh informasi kependudukan dan kesehatan masyarakat dengan estimasi sampai level Provinsi.Â
Metode pengumpulan data di SDKI sama dengan kebanyakan survei BPS lainnya yaitu dengan wawancara langsung, namun ada hal yang menarik dari survei ini yang membedakannya dengan survei BPS lainnya.Â
Hal yang membuat SDKI beda adalah pertanyaannya yang terlalu pribadi dan intim. Bila survei lainnya menanyakan hal yang umum-umum saja di survei ini pencacah diharuskan menanyakan hal-hal yang umum hingga urusan 'kasur'. SDKI emang beda!
Saya mungkin sama dengan sebagian pegawai BPS lainnya yang penasaran ingin ikut SDKI karena selama ini hanya mendengar ceritanya saja. Penasaran ingin merasakan langsung bagaimana proses pencacahan SDKI, sebab jangankan urusan yang terlalu pribadi, responden kadangkala ditanyakan hal yang umum saja malas menjawab.Â
Di tahun 2017, saya memperoleh kesempatan untuk mengikuti SDKI, senang akhirnya akan dapat pengalaman baru walau sebenarnya ada hal yang mengganjal di hati. Resah hati bukan karena takut akan menghadapi medan yang sulit atau penolakan responden, namun resah karena harus menginggalkan anak istri selama 2 bulan. Akhirnya dengan mengucap bismillah dan restu istri, serta ijin Pak Kepala saya pun ikut SDKI 2017.
Perjuangan pun dimulai. Sebelum turun mencacah tentu petugas lapangan harus dibekali dengan tata cara pencacahan dan konsep definisi dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di kuesioner. Saya yang dinas di Gorontalo beserta calon petugas yang berasal dari Provinsi se Sulawesi dan Maluku dilatih terpusat di Makassar 'Kota Daeng'.Â
Petugas dilatih sesuai dengan posisinya di Tim, sebagai informasi pencacahan SDKI dilakukan secara tim dimana 1 tim terdiri dari 1 orang pengawas, 1 orang editor kuesioner wanita usia subur (WUS), pria kawin (PK) dan RT, 4 orang pencacah WUS, 1 orang pencacah PK sekaligus editor kuesioner remaja pria (RP) dan 1 orang pencacah RP. Pencacah WUS harus perempuan, begitu pula pencacah PK dan RP harus laki-laki.
Saya sendiri merupakan pencacah PK, dimana hotel tempat pelatihan pencacah PK sama dengan pencacah RP, sedangkan petugas lainnya dilatih di hotel yang berbeda. Pelatihan SDKI agak berbeda dengan pelatihan yang biasanya saya ikuti, beda karena lamanya pelatihan yang lebih lama dibanding survei/sensus yang pernah saya ikuti.Â
Bayangkan saja untuk survei sekelas Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang katanya 'Ibunya' survei, dimana wawancara bisa 2-3 jam, saya dilatih 3 hari efektif. Untuk SDKI saya dilatih selama 8 hari efektif, jauh lebih lama.
Selama pelatihan ada hal yang sedikit mengganjal sebenarnya, yaitu fasilitas hotel tempat saya belajar 'beda kelas' dengan petugas lainnya, dan ternyata hal ini juga diamini oleh teman yang satu tempat pelatihan. Namun demikian kekurangan tersebut dimaklumi dan tidak menjadikan saya dan teman-teman kendor semangat dalam belajar.Â
Diskusi terkait pertanyaan-pertanyaan yang meragukan tidak sedikit ditanyakan, selain itu mendengarkan pengalaman dari peserta yang pernah ikut SDKI membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Sehingga tanpa sadar dipikiran terlintas pertanyaan, bagaimana keseruan nanti di lapangan ya?.
Pelatihan usai, 'medan tepur' siap kami hadapi. Saya bersama dengan rekan tim 2, dimana pengawasnya Mas Pram, Editor WUS Fitri, pencacah WUS Bu Dewi, Iang, Dila dan Ifah, dan pencacah RP Ade. Kami mendapatkan beban kerja sebanyak 12 blok sensus (BS) yang tersebar di Kabupaten/Kota se Provinsi Gorontalo dengan rincian 2 BS di Boalemo, 3 BS di Kabupaten Gorontalo, 2 BS di Pohuwato, 1 BS di Bone Bolango, 1 BS di Gorontalo Utara dan 3 BS di Kota Gorontalo.Â
Strategi kami tim 2 dalam mencacah adalah mencacah di wilayah yang dekat dengan Kota dahulu karena mayoritas rekan tim 2 tinggal di Kota, Kota di sini maksudnya Kota Gorontalo, maklum di Provinsi Gorontalo hanya ada satu Kota. Bone Bolango menjadi pilihan pertama kami karena BS sampel di sana dekat dengan Kota.
Desa Pauwo Kabupaten Bone Bolango merupakan BS pertama yang kami datangi. Pertama kali kami turun hari sudah sore. Agak canggung dan lambat saat wawancara karena harus lihat alur kuesioner, itulah hal pertama yang saya rasakan dalam wawancara, walau hal itu lumrah bagi petugas yang baru turun lapangan.Â
Lambat laun responden demi responden selesai diwawancarai saya pun makin lancar saat wawancara. Ada satu hal yang agak menyulitkan saat pertama turun lapangan sebagai tim, yaitu koordinasi. Namun demikian dengan kecanggihan teknologi hal tersebut dapat teratasi. Terima kasih Google dan WhatsApp.
Secara pribadi, saya penasaran dengan jawaban responden yang masih lurus-lurus saja pada 2 hari pertama. Belum ada jawaban responden yang mengatakan 'melakukan' sebelum menikah, karena pertanyaan ini salah satu pertanyaan yang sangat pribadi disamping pertanyaan pengalaman 'jajan' di luar.Â
Saya menduga sebelum turun jika pada pertanyaan ini responden cenderung menutu-nutupi, oleh karena itu saat menanyakan pertanyaan ini sesuai prosedur saya memastikan hanya ada saya dengan responden dan bersikap 'datar'. Hal yang saya khawatirkan adalah jangan-jangan cara bertanya saya tidak tepat, sehingga responden takut atau wajah saya yang menakutkan (hehe).Â
Akhirnya perasaan khawatir saya sirna, bersamaan dengan responden yang mengaku 'melakukan' sebelum menikah, dengan cara bertanya yang sama. Ternyata responden yang sebelum-sebelumnya sudah jujur, hanya perasaan saja yang membuat khawatir. Responden pertama yang mengaku 'melakukan' sebelum menikah tidak terlihat berbeda dengan responden sebelum-sebelumnya, oleh karenanya sebagai petugas kami harus bersikap 'datar', tidak mengeluarkan raut wajah yang tedensius saat wawancara  pada pertanyaan sangat pribadi agar responden nyaman dan jujur menjawab.
Responden demi responden kami wawancarai, banyak hal menarik yag kami temui. Salah satu kejadian yang menarik saat saya mewawancarai responden pada BS ketiga. Saat itu dalam daftar sampel rumah tangga (DSRT) tertera nama responden PK yang bernama seperti nama wanita, sebagai informasi responden PK hanya 8 rumah tangga (ruta) dari 25 ruta yang ada di DSRT dan hanya pria kawin usia 15-54 tahun yang menjadi sampel.Â
Cerita berlanjut, saya mencari rumah responden PK yang namanya seperti wanita tersebut, alamatnya berada di kost-kostan. Waktu itu saya mengunjunginya siang hari, seperti kebanyakan kost-kostan pada siang hari kebanyakan kostan yang kosong. Beruntung salah satu teman tim ada saudaranya yang tinggal di kost-kostan tersebut, sehingga saya mudah mencari kostan responden.
Layaknya orang bertamu, saya pun mengucapkan salam di depan kostan responden tersebut. Kostan tersebut pintunya tertutup dengan AC menyala, dengan yakin saya pastikan ada orang di kostan tersebut. Berkali-kali saya mengucapkan salam, "Permisi, Selamat siang" kurang lebih begitu. Lama tidak terdengar balasan salam dari dalam kostan, akhirnya saya putuskan untuk berhenti mengucapkan salam dan berniat mengunjungi kostan tersebut sore hari.Â
Tak disangka saat ingin meninggalkan kostan, ada bapak-bapak oknum keamanan Negara yang datang lengkap dengan atribut menanyai saya "cari siapa?", "cari 'nama responden' pak." jawab saya. "Ada perlu apa?", saya menjelaskan kedatangan saya sebagai pegawai BPS sedang melakukan pencacahan SDKI dan meminta kesediaan untuk diwawancarai. "Yaudah cepat ya, jangan lama-lama!" minta bapaknya.
Dengan sigap saya pun langsung melakukan wawancara dengan bapaknya yang ternyata merupakan suami respoden. Pertama kali saya wawancara dengan kuesioner rumah tangga (RT), saat wawancara respodennya meminta cepat-cepat dengan nada agak tinggi. Terbayang dipikiran saya bagaimana mau wawancara kuesioner PK, kuesioner RT yang pertanyaan umum saja sudah seperti ini.Â
Mau tak mau setelah kuesioner RT selesai saya pun meminta kesediaan responden untuk diwawancarai dengan kuesioner PK, "Aduh apalagi ini!" begitu sahutnya. Dengan bersusah payah meyakinkan bahwa wawancara sangat dibutuhkan dan memohon dengan sangat akhirnya responden bersedia diwawancarai. "Ya sudah, tetapi yang cepat ya! Saya lagi buru-buru!", begitu mintanya. Wawancara pun dimulai, pertanyaan baru beberapa rincian respondennya pun sudah tidak sabar,"Sudah isi saja tahu semua! Â Ya semua!", bentaknya. Namun demi menjaga isian yang benar saya tetap bertanya satu persatu pertanyaan sesuai alur.
Di tengah intogerasi responden kepada saya, eh salah, wawancara saya dengan responden. Datang kortim, namun dengan suasana yang sangat tidak mendukung, dengan berat hati saya mengusirnya dengan halus. Jangan sampai berhenti wawancara di tengah jalan walau hanya sebentar, kalau terhenti, bisa-bisa wawancara disudahi responden.
Lega, layaknya orang yang menahan buang air dalam waktu lama dan baru bisa melaksanakan hajat saat-saat sudah di ujung tanduk, J kurang lebih begitu perasaan saya saat selesai wawancara dengan responden tersebut. Kembali ke basecamp menjadi pilihan saya setelah wawancara tersebut, selain sudah dekat waktu dzuhur dan melaporkan hasil wawancara kepada kortim, menghilangkan penat juga menjadi alasan utama saya.
Tidak hanya terkena sampel PK, istri responden tadi juga terkena sampel WUS. Hari sudah sore, teman tim pencacah WUS mendatangi responden tersebut. Sangat tidak ramah, begitu teman mengambarkan suami responden,"Samakan saja isiannya dengan yang tadi siang!" teman mengulangi perkataan responden. Non respon hasil yang didapat teman saat berusaha mencacah istri responden tersebut, suami responden menolak dan menandatangani berita acara penolakan.
BS berganti BS, kejadian yang paling membekas dari SDKI pun saya rasakan. Membekas karena memang benar-benar membekas di tubuh, meninggalkan tanda, tanda yang akan bertahan sangat lama dan tanda yang terlihat jelas mata. Tanda itu adalah bekas luka kena knalpot.
Sore itu pulang dari BS kelima yang kami datangi, setelah hujan deras, melewati perkebunan tebu sejauh mata memandang. Jalan yang pagi hari kami lewati, kondisinya tidak sama saat sore hari. Becek, berlumpur dan licin begitulah kondisi jalan di banyak titik sore itu. Pada salah satu titik jalan, jalannya menurun dengan kondisi becek, berlumpur dan licin, saya yang menggonceng Bu Dewi sudah ragu untuk melewati titik tersebut dengan menggonceng.Â
Saya berhenti dan memintanya untuk turun dahulu, nanti naik lagi saat sudah melewati turunan. Beliau tidak mau turun dan berkata "tidak apa-apa, jalan saja pelan-pelan". Akhirnya saya pun melanjutkan perjalanan melewati jalan menurun tersebut dengan menggonceng, di tengah turunan tersebut motor tidak bisa dikendalikan lajunya, rem sudah diinjak namun motor tetap melaju, motor pun oleng.
Malam hari sebelumnya di salah satu titik jalan pulang, tepatnya jalan darurat  pengganti jembatan yang sedang diperbaiki  saya hampir jatuh. Jalan yang pagi hari masih bagus untuk dilewati tidak disangka sudah seperti kubangan lumpur, dengan laju motor yang tidak pelan dan kondisi jalan gelap gulita tanpa penerangan, motor saya oleng hampir jatuh. Beruntung kaki dan tangan saya masih sigap untuk menstabilkan motor. Sakit, rasa pada tangan kiri  baru saya sadari ketika di rumah, tangan kiri saya terkilir.
Kondisi tangan kiri masih sakit saat membonceng membuat saya tidak kuat untuk menstabilkan motor saat oleng diturunan itu. Akhirnya motor pun jatuh, untungnya jalan berlumpur membuat badan tidak terlalu sakit saat jatuh. Namun, ternyata kaki saya kena knalpot panas dan membuat luka bakar yang cukup besar. Perih dan sakit saya rasakan, tetapi tidak menyurutkan semangat, justru menjadi warna tersendiri dalam pengalaman mengikuti SDKI. Warna yang cukup mencolok di kaki. J
Lain Desa lain Kota, tantangan yang dihadapi berbeda. Pada daerah perdesaan kami dihadapkan dengan kesulitan geografis, fasilitas dan konektivitas, dengan responden yang ramah dan 'welcome', sebaliknya di daerah perkotaan hambatannya justru pada respondennya. Entah sulit ditemui atau penerimaan yang tidak baik, responden yang sebelumnya saya ceritakan pun merupakan sampel perkotaan.
Bolak-balik ke rumah responden lebih banyak dilakukan ketika kami mencacah daerah perkotaan. Saya sendiri mendapatkan responden yang akhirnya non respon karena tidak bertemu hingga batas waktu pencacahan berakhir. Tidak terhitung saya ke rumah responden tersebut namun yang bersangkutan tidak pernah ada.Â
Saya telepon dan sms pun, responden banyak alasan sehingga tidak bisa ditemui. Pernah satu kali, anaknya memberi informasi kalau responden sedang berada di Kabupaten sebelah dan memberikan alamat lengkapnya. Namun sayang ketika saya mengunjungi rumah yang ditunjukkan, responden tidak ada. Padahal jaraknya sekitar 2 jam perjalanan. Kecewa, tetapi itulah asam garam pengalaman, tetap terseyum walau hati geram.
Pernah saya mewawancari salah satu responden, siang itu saya datang, hanya ada anak-anaknya di ruang tamu. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan saya, selanjutnya salah satu anaknya masuk ke dalam, memanggil orang tuanya. Keluar lah seorang bapak-bapak, banyak tato di badannya sambil memakai baju dia bertanya "ada apa ini?" saya pun menjelaskan maksud kedatangan. Wawancara pun dimulai, kuesioner RT selesai dengan lancar, tidak ada kejanggalan saat wawancara. Responden ini juga sampel PK dan memenuhi syarat menjadi sampel.
Saya pun melanjutkan wawancara dengan kuesioner PK. Pada awalnya responden menjawab dengan lancar, namun ketika pertanyaan masuk ke informasi yang pribadi responden tiba-tiba marah besar ,"PERTANYAAN APA INI!, INI TERLALU PRIBADI! TIDAK BAGUS PERTANYAAN SEPERTI INI!",bentaknya.Â
Saya pun berusaha menenangkan dan berusaha mencoba melanjutkan wawancara dengan membujuknya dan menawarkan untuk melewatkan pertanyaan yang membuat dia tidak nyaman. Namun darah sudah mendidih, emosi sudah menguasai diri, usaha saya percuma saja. Alih-alih berharap menjadi tenang, responden malah makin menjadi-menjadi.Â
"SUDAH-SUDAH! TIDAK USAH LANJUT! TIDAK BAGUS PERTANYAAN BEGINI!", tambahnya. Saya memutuskan untuk pamit dan mengakhiri wawancara. Walau demikian amarah responden belum reda, senyum saya lemparkan saat pamit, namun sama sekali tidak merubah raut wajah responden tersebut.
Terguncang, saya memutuskan untuk ke basecamp setelah wawancara tersebut. Bukan kebetulan basecamp kami ada di masjid dalam BS tersebut, masjid/mushola memang sering kami jadikan basecamp. Selain agar mudah untuk sholat, pelatarannya dapat kami gunakan untuk membenarkan kuesioner dan berkoordinasi. Saya pun melaporkan hasil wawancara yang berhenti di tengah jalan tersebut kepada pengawas. Diputuskan hasil wawancara responden tersebut terisi sebagian.
Amarah itu belum reda. Saat saya melakukan wawancara malam hari dengan responden lain tanpa disangka, ternyata bersebelahan dengan rumah responden yang siang hari tadi. Hanya saja saya melewati jalan lain sehingga tidak sadar. Serius malam itu saya wawancara responden yang merupakan penjaga apotek, tiba-tiba lewatlah sang responden yang tadi siang. Masih dengan tatapan tidak suka, sedikit saya menoleh dan memberikan senyum, berharap raut wajahnya berubah.Â
Namun, tidak pengaruh apa-apa, tidak mau larut memikirkan responden tadi, saya pun melanjutkan wawancara dengan responden yang dihadapan saya. "Plang!" suara pintu gang terdengar keras, memang di sebelah rumah responden ini ada pintu gang sempit, pintu itu dipasangi per yang membuat pintunya otomatis selalu tertutup. Suara pintu gang yang keras barusan, karena responden yang masih emosi, lewat pintu tersebut namun tidak menutupnya dengan pelan-pelan, seperti sengaja untuk menunjukkan ketidaksukaannya.
Wawancara pun selesai di BS terakhir. Saya bersyukur dapat menyelesaikan pencacahan lapangan SDKI ini walau dengan tertatih-tatih. Hujan-panas, siang-malam, jauh- dekat, tua-muda, jatuh-bangun, ramah-marah, lapar-haus semua sudah dirasakan. Pengalaman tersebut sangat berharga, dimana untuk medapatkan data dibutuhkan perjuangan yang besar.Â
Harapan dan cita-cita besar bangsa "Mencerdaskan kehidupan bangsa", tentunya dapat tercapai jika data yang ada berkualitas. Semoga perjuangan saya dan teman-teman SDKI dapat menjadi bagian  dalam mewujudkannya, data berkualitas. Akhirnya saya pribadi berharap, segala jerih payah kami dapat menjadi tambahan amalan ibadah.
Aamiin ya rabbal 'alamin...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI