Mohon tunggu...
Widi Handoko
Widi Handoko Mohon Tunggu... Konsultan - Statistisi Ahli Muda

Data untuk kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengalaman Ikut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017

30 November 2017   16:35 Diperbarui: 30 November 2017   17:15 4019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bolak-balik ke rumah responden lebih banyak dilakukan ketika kami mencacah daerah perkotaan. Saya sendiri mendapatkan responden yang akhirnya non respon karena tidak bertemu hingga batas waktu pencacahan berakhir. Tidak terhitung saya ke rumah responden tersebut namun yang bersangkutan tidak pernah ada. 

Saya telepon dan sms pun, responden banyak alasan sehingga tidak bisa ditemui. Pernah satu kali, anaknya memberi informasi kalau responden sedang berada di Kabupaten sebelah dan memberikan alamat lengkapnya. Namun sayang ketika saya mengunjungi rumah yang ditunjukkan, responden tidak ada. Padahal jaraknya sekitar 2 jam perjalanan. Kecewa, tetapi itulah asam garam pengalaman, tetap terseyum walau hati geram.

Pernah saya mewawancari salah satu responden, siang itu saya datang, hanya ada anak-anaknya di ruang tamu. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangan saya, selanjutnya salah satu anaknya masuk ke dalam, memanggil orang tuanya. Keluar lah seorang bapak-bapak, banyak tato di badannya sambil memakai baju dia bertanya "ada apa ini?" saya pun menjelaskan maksud kedatangan. Wawancara pun dimulai, kuesioner RT selesai dengan lancar, tidak ada kejanggalan saat wawancara. Responden ini juga sampel PK dan memenuhi syarat menjadi sampel.

Saya pun melanjutkan wawancara dengan kuesioner PK. Pada awalnya responden menjawab dengan lancar, namun ketika pertanyaan masuk ke informasi yang pribadi responden tiba-tiba marah besar ,"PERTANYAAN APA INI!, INI TERLALU PRIBADI! TIDAK BAGUS PERTANYAAN SEPERTI INI!",bentaknya. 

Saya pun berusaha menenangkan dan berusaha mencoba melanjutkan wawancara dengan membujuknya dan menawarkan untuk melewatkan pertanyaan yang membuat dia tidak nyaman. Namun darah sudah mendidih, emosi sudah menguasai diri, usaha saya percuma saja. Alih-alih berharap menjadi tenang, responden malah makin menjadi-menjadi. 

"SUDAH-SUDAH! TIDAK USAH LANJUT! TIDAK BAGUS PERTANYAAN BEGINI!", tambahnya. Saya memutuskan untuk pamit dan mengakhiri wawancara. Walau demikian amarah responden belum reda, senyum saya lemparkan saat pamit, namun sama sekali tidak merubah raut wajah responden tersebut.

Terguncang, saya memutuskan untuk ke basecamp setelah wawancara tersebut. Bukan kebetulan basecamp kami ada di masjid dalam BS tersebut, masjid/mushola memang sering kami jadikan basecamp. Selain agar mudah untuk sholat, pelatarannya dapat kami gunakan untuk membenarkan kuesioner dan berkoordinasi. Saya pun melaporkan hasil wawancara yang berhenti di tengah jalan tersebut kepada pengawas. Diputuskan hasil wawancara responden tersebut terisi sebagian.

Amarah itu belum reda. Saat saya melakukan wawancara malam hari dengan responden lain tanpa disangka, ternyata bersebelahan dengan rumah responden yang siang hari tadi. Hanya saja saya melewati jalan lain sehingga tidak sadar. Serius malam itu saya wawancara responden yang merupakan penjaga apotek, tiba-tiba lewatlah sang responden yang tadi siang. Masih dengan tatapan tidak suka, sedikit saya menoleh dan memberikan senyum, berharap raut wajahnya berubah. 

Namun, tidak pengaruh apa-apa, tidak mau larut memikirkan responden tadi, saya pun melanjutkan wawancara dengan responden yang dihadapan saya. "Plang!" suara pintu gang terdengar keras, memang di sebelah rumah responden ini ada pintu gang sempit, pintu itu dipasangi per yang membuat pintunya otomatis selalu tertutup. Suara pintu gang yang keras barusan, karena responden yang masih emosi, lewat pintu tersebut namun tidak menutupnya dengan pelan-pelan, seperti sengaja untuk menunjukkan ketidaksukaannya.

Wawancara pun selesai di BS terakhir. Saya bersyukur dapat menyelesaikan pencacahan lapangan SDKI ini walau dengan tertatih-tatih. Hujan-panas, siang-malam, jauh- dekat, tua-muda, jatuh-bangun, ramah-marah, lapar-haus semua sudah dirasakan. Pengalaman tersebut sangat berharga, dimana untuk medapatkan data dibutuhkan perjuangan yang besar. 

Harapan dan cita-cita besar bangsa "Mencerdaskan kehidupan bangsa", tentunya dapat tercapai jika data yang ada berkualitas. Semoga perjuangan saya dan teman-teman SDKI dapat menjadi bagian  dalam mewujudkannya, data berkualitas. Akhirnya saya pribadi berharap, segala jerih payah kami dapat menjadi tambahan amalan ibadah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun