Mohon tunggu...
Widian Rienanda Ali
Widian Rienanda Ali Mohon Tunggu... Administrasi - Kuli Proyek

Andai mengangkasa tidak semudah berkhianat, pasti akan lebih banyak kisah kebaikan yang dapat ditorehkan dan dilaporkan kepada Tuhan untuk menunda datangnya kiamat.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menelusuri Diri, Antara Kehendak Bebas dan Kesadaran yang Terduga

30 Agustus 2024   12:20 Diperbarui: 30 Agustus 2024   12:45 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lebih jauh lagi, aktivitas di tingkat mikro pada akhirnya dianggap deterministik: pergerakan elektron yang menjelaskan pengalaman sadar kita saat ini berasal dari pergerakan elektron pada saat sebelumnya, dan seterusnya, hingga pergerakan elektron di awal mula Semesta. Pandangan ini tidak menyediakan ruang bagi ketidakpastian sejati, ataupun untuk efek skala. Tidak ada tempat untuk otonomi atau kehendak bebas (atau, setidaknya, satu cara tertentu untuk memikirkan kehendak bebas), karena semua peristiwa mikrofisika sudah ditentukan oleh peristiwa-peristiwa mikrofisika sebelumnya.

Namun, kini berkembang pandangan dunia yang berbeda, yang menekankan pada dinamika nonlinier dan sistem yang kompleks. Pandangan dunia ini secara tegas menolak asumsi reduksionisme dan determinisme pada tingkat mikro. Dalam kerangka ini, ahli saraf mulai berpendapat bahwa daya kausal otak tidak dapat direduksi menjadi aktivitas otak pada skala kecil. Pendekatan ini membuka ruang bagi konsep diri yang substantif, dengan kekuatan dan sifatnya sendiri, yang tidak dapat direduksi menjadi neuron individu atau sekadar kumpulan neuron. (Namun, apakah ini benar-benar daya kausal atau jenis daya lainnya, seperti yang diusulkan oleh filsuf Carl Gillet sebagai 'determinasi makritik', adalah pertanyaan yang kompleks dan tidak akan saya jawab di sini.)

Apa yang dimaksud dengan "diri substantif"? Secara umum, untuk dianggap sebagai diri substantif, seseorang harus memiliki karakteristik yang dapat diidentifikasi, yang membedakannya dari yang lain. Inilah inti dari konsep diri. Namun, apa sebenarnya karakteristik ini? Salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah mengidentifikasi diri dengan tubuh fisik seseorang, karena tubuh biasanya dapat dibedakan dari tubuh orang lain. Namun, ini bukan penjelasan yang memadai tentang diri, karena banyak perilaku tubuh tidak mencerminkan esensi diri, seperti kecelakaan atau gerakan refleks. Dalam situasi ini, niat atau kehendak digunakan untuk mengidentifikasi peran diri. Oleh karena itu, penjelasan yang lebih lengkap tentang diri akan mendefinisikannya berdasarkan niat, minat, tujuan, keinginan, dan kebutuhannya. Ini adalah inti sejati dari diri.

Hingga titik ini, Daniel Dennett mungkin akan setuju---kita semua memang memiliki minat, tujuan, keinginan, dan kebutuhan. Bagian yang kontroversial adalah klaim bahwa kumpulan minat, tujuan, keinginan, dan kebutuhan ini memiliki status yang independen dari dasar mikrofisika dan sejarah mikrofisika mereka. Gagasan ini berakar pada pengamatan perilaku manusia. Hampir setiap orang pernah mengalami berbicara dengan seseorang yang tampak merespons, tetapi sebenarnya "tidak benar-benar mendengarkan". Kita dengan mudah membedakan antara perilaku otomatis, seperti respons verbal refleksif, dan perilaku yang terkendali. 

Perbedaan antara dua bentuk perilaku ini adalah bahwa perilaku terkendali mempertimbangkan spektrum minat yang lebih luas. Jadi, ada perbedaan antara sekadar kumpulan minat, di mana salah satu menjadi dominan pada suatu waktu, dan kumpulan minat yang secara fleksibel menentukan mana yang dominan. Dalam kasus kedua, ada entitas yang hadir---keseluruhan rangkaian minat---yang tidak ada dalam kasus pertama.

Pemahaman tentang diri ini juga menjelaskan proses perhatian. Perhatian dipengaruhi oleh tugas yang sedang dilakukan dan rangsangan baru yang mungkin muncul. "Perhatian dari atas ke bawah" adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mempertahankan fokus sesuai dengan tujuan dan minat saat ini, sementara "perhatian dari bawah ke atas" mengarahkan fokus pada rangsangan baru yang muncul. Dalam ilmu kognitif, kedua proses ini diperlakukan sebagai fenomena yang terpisah tetapi saling berinteraksi. Jadi, bagaimana kita menjelaskan kemampuan untuk menyeimbangkan kedua kekuatan ini? Bagaimana kita tetap fokus pada tugas saat ini sambil menahan tarikan dari rangsangan baru yang menarik, seperti percakapan di sekitar? Menurut pandangan saya, kemampuan ini paling baik dijelaskan oleh keberadaan diri yang substantif. Diri substantif lebih dari sekadar tugas saat ini, karena ia menggabungkan keseluruhan rangkaian minat individu. Diri substantif inilah yang paling mampu menyeimbangkan tugas saat ini dengan kepentingan potensial lainnya.

Oleh karena itu, alih-alih melihat perilaku kita sebagai ditentukan oleh minat kita, dan minat kita ditentukan oleh campuran gen dan lingkungan, saya melihatnya seperti ini: perilaku kita ditentukan oleh diri sendiri, atau keseluruhan rangkaian minat yang bekerja bersama-sama, yang tidak ditentukan oleh minat individu atau sekadar jumlah dari minat-minat tersebut. Dengan kata lain, bukan hanya kecintaan Anda pada udon, puisi, atau bunga lili yang membuat Anda menjadi diri Anda, tetapi seluruh kumpulan minat ini yang bekerja bersama untuk membimbing perilaku Anda.

Secara khusus, kumpulan minat menjadi diri substantif saat ia mengendalikan minat-minat komponennya. Kebutuhan akan kontrol ini muncul dari keterbatasan yang dihadapi oleh kumpulan minat yang tidak dihadapi oleh komponennya---persaingan untuk mendapatkan sumber daya yang terbatas di antara komponen-komponen tersebut. Penyelesaian dari persaingan ini adalah perhatian. Jadi, menurut pandangan saya, diri muncul dengan tindakan perhatian pertama, atau ketika perhatian pertama kali memprioritaskan satu minat di atas yang lain. Ini terjadi ketika kita memiliki banyak minat, dua atau lebih di antaranya saling bertentangan. Pada saat perhatian menyelesaikan konflik tersebut, diri pun lahir.

Pandangan ini tentang diri substantif tidak perlu terjebak dalam "kekeliruan homunculus", di mana kita menjelaskan suatu fenomena dengan memperkenalkan entitas baru yang harus dijelaskan dengan entitas lain, dan seterusnya. Sebaliknya, pemahaman saya tentang diri substantif adalah sebagai fenomena yang muncul secara fisik---terdiri dari bagian-bagian tetapi memiliki sifat yang melampaui jumlah bagian-bagiannya, yaitu memiliki kemampuan untuk mengendalikan bagian-bagiannya. Kekuatan ini mungkin hanya berupa kemampuan untuk meningkatkan pengaruh beberapa bagian (misalnya, tujuan atau minat) dengan mengorbankan yang lain, sesuai dengan kebutuhan dan kapasitas keseluruhan.

Diri substantif bisa ada meskipun pengalaman kita tentang diri hanyalah sebuah konstruksi. Filsuf Jesse Prinz berpendapat bahwa kita mungkin tidak dapat secara langsung mengalami diri substantif ini. Dalam pandangan ini, pengalaman kita tentang diri mungkin hanyalah model yang kita ciptakan berdasarkan apa yang kita simpulkan tentang peran diri kita. Ahli saraf Michael Graziano menegaskan bahwa semua pengalaman kita bergantung pada model yang dibangun oleh otak. Jika ini benar, kita bisa mengharapkan pengalaman tentang diri juga tergantung pada model tersebut, meskipun diri sebenarnya lebih dari sekadar model itu sendiri. Seperti semua model, pengalaman kita tentang diri bisa saja keliru, yang menjelaskan adanya ilusi kontrol yang dideteksi oleh Wegner dan lainnya. Penjelasan lain tentang ilusi ini adalah bahwa kesalahan bukan terjadi dalam pengalaman kita, melainkan dalam penilaian kita terhadap pengalaman tersebut. Artinya, kemampuan kita untuk menggambarkan pengalaman kita dengan akurat, bukan pengalaman itu sendiri, mungkin menjadi sumber kesalahan.

Pandangan tentang diri ini penting karena mampu menjelaskan aspek tindakan pembentukan diri yang tidak dapat dijelaskan oleh konsep diri yang dibangun semata. Kita tahu bahwa tindakan pembentukan diri tidak hanya membentuk diri, tetapi juga dibentuk oleh diri. Frostian Concern memungkinkan kita melihat bagaimana agen dapat menjelaskan tindakan mereka kepada diri mereka sendiri melalui narasi, dan bagaimana diri mungkin hanyalah pusat dari narasi tersebut. Ini menjelaskan bagaimana tindakan pembentukan diri bisa membentuk 'diri' tanpa perlu adanya diri substantif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun