Mohon tunggu...
Widi Alste
Widi Alste Mohon Tunggu... -

belajar dan terus belajar... berusaha agar hidup lebih bermanfaat..\r\nchek me at http://widicapone.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ramadhan Rengganis

10 Mei 2011   03:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:53 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rumah kami adalah rumah terindah. Tentu saja. Rumah hasil jerih payah dari kami menabung selama lebih 30 tahun. Diujung selatan Jakarta, berdesakan dengan rumah lain yang berdempet sengap. Kami cukup bahagia. Satu set sofa lusuh berlubang pemberian seorang teman dan sebuah ranjang tua satu-satunya warisan dari ibuku membuat rumah kecil kami sudah layak disebut rumah.Kami selalu menunggu kedatangan musim hujan. Dimusim itulah kebersamaan dan kasih sayang kami tercurahkan. Kami harus siap sedia sepanjang malam menunggu hujan reda dengan beberapa ember berjajar. Atau terkadang kami harus berpeluh berlarian menahan banjir datang dari luar dengan kain yang tersisa. Disaat itulah aku, istriku dan anak kami satu-satunya Hasan, masih menyempatkan diri bercanda dan tertawa.

Tetapi seminggu ini istriku jatuh sakit bertepatan dengan bulan yang begitu mulia, bulan Ramadhan. Yang bahkan tak pernah terbayangkan penyakit yang harus menimpanya. Kanker otak. Aku selalu berpikir, entah mengapa Allah begitu sadisnya memberikan ujian yang nyatanya tidak mungkin aku menerimanya.

Di kamar berukuran 2 x 3 dengan ranjang tua, istriku Rengganis terbaring. Wajahnya terlihat sayu dan lemah. Tetapi sorot matanya masih saja tajam seakan menantang sakit yang dideritanya. Dini hari tadi kami masih sahur bersama. Dengan nasi yang aku beli dari warung sebelah. Dengan lauk sepotong tempe yang kupotong untuk berdua. Kami begitu menikmatinya. Hingga siang ini aku tak kuasa melihat penderitaan Rengganis istriku. Kubuatkan segelas teh tanpa air panas.

"Hentikan puasamu Rengganis. Minumlah teh yang kurang pantas kusuguhkan-dingin. 3 kg membuatku gemetaran hingga jariku membeku tak berani menyalakannya."

Rengganis menarik pelan bibirnya yang memucat yang sedari subuh mencekatku. Ia tersenyum dan mengelus pelan wajahku. Kugenggam jemarinya dan kucium keningnya.

"Akan kuminum bersama syukurmu nanti kang. Kita sama-sama berbuka saat adzan Maghrib berkumandang." Rengganis kembali tersenyum. Senyum yang mendamaikan siapa saja yang menatapnya.

"Kau kembali melemah Rengganis." Dan kubiarkan mataku merelakan butirannya merayap menggenangi sprei kelam yang belum kuganti saat Rengganis seminggu menenggelamkan kesadarannya.

"Mungkinkah kulepaskan satu hari yang belum tentu tahun depan kudipertemukan selayaknya hari ini atas ijinNya?" Kini genggaman jemari yang mulai mendingin mencengkeramku erat. Dia kembali tersenyum.

"Aku tak pa-apa mas. Jangan biarkan airmatamu tersia-sia dibulan yang diselimuti keberkahan ini. Bukankah sakit adalah kenikmatan tiada tara hingga butiran-butiran dosa kita terlebur jika kita mampu pasrah akan ujian dariNya?"

"Rengga..." Telunjuknya yang mendingin menggetarkan bibirku dan mencegat ucapanku berlanjut.

Rengganis menggerakkan kelopaknya dan memiringkan wajahnya pelan yang menandakan ia meminta agar bantal penyangga wajah cantiknya dibenarkan. Sesaat iapun tertidur dalam kedamaian. Kelopak yang kini menutup, bibir yang terukir dengan senyuman menggambarkan sakit menjadi keindahan yang Allah berikan.

Rengganis menyalamiku dengan senyum yang tersisa, ketika jemari ruhnya tersalami malaikat maut. Ia sorotkan pandangan kerinduan padaku akan perjumpaan di tempat terindah yang kita cicil setiap waktu. Rumah surga yang mungil abadi. Rumah surga yang sering kami perbincangkan setiap malam saat menidurkan Hasan kecil. Rumah surga yang kami cicil dengan sedekah lima ratus rupiah setiap harinya yang kami sisihkan dari hasil kerja kami. Rumah surga yang kini dia lebih dahulu membukanya. Membuka pintu emas yang konon begitu indahnya. Sedangkan aku masih tertinggal di rumah kecil kami bersama hasan.

Aku hanya mampu menyandarkan ketidakikhlasanku pada tembok rumah. Kubiarkan warga mengurusi pemakaman istriku. Memandikan jenasahnya, mengkafaninya dengan rapi. Sedangkan aku berlari dengan pikiranku menelusuri saat-saat bersama, saat kami berdua menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun lamanya. Mendaki langit setiap tengah malam dalam sujud. Memoleskan cinta dengan tadarus bersama. Saling berbagi secangkir kopi tanpa gula. Tapi sekarang, siapa yang akan menemaniku menikmati hari-hari yang sangat sederhana ini. Rengganis yang tumbuh dengan cinta kasih telah tiada.

Seorang sahabatku memeluk erat larut dalam kesepian. Kata-kata hiburan dan dukacita seakan menambah parau hatiku. Kami bertatapan sebentar dan harus kupalingkan wajah kepedihan ke langit-langit berlubang. Langit yang meneruskan air hujan hingga membasahi lantai rumah kami.

Disaat kumelirik ke jenazah Rengganis yang terbaring tiga meter dimana kubersandar, Hasan kecilku tersenyum dan mencium kening ibunya. Ia mengelus pipi ibunya dengan lembut. Dan membisikkan beberapa kata yang samar terdengar.

"Bunda, suatu saat nanti kami akan menyusulmu ke rumah kita di surga. Ya, rumah yang sering bunda ceritakan sebelum kantuk menyergap dalam tidurku. Sebuah rumah yang pastinya tidak pernah bocor, tidak pernah kebanjiran dan rumah yang mungkin tidak pernah terkena gusuran."

Tidak pernah kusangka Hasan memiliki sayap putih yang merengkuh keikhlasannya. Iapun membaur ke para pelayat untuk mensholati ibunya. Sedangkan aku masih saja manja dengan linangan air mata.

Keranda sudah terangkat, menuju rumah abadi manusia di dunia. Aku memegang erat tangan Hasan dan berjalan di belakang. Gema Laa ilaaha ilallah terus mengiringi setiap langkah kami. Cuaca yang sedari tadi panas entah mengapa meredup dan gelap. Mendung bergulung menutupi setiap perjalanan menuju pemakaman.

"Ayah, hari ini Allah memberikan sambutan hujan kepada bunda. Allah mengingatkan kita tentang cnta kasih kita saat hujan datang ke rumah kita." Hasan tersenyum dan menari diantara gerimis. Tidak tampak kesedihan yang terpancar dari dirinya.

Mungkin engkau benar Hasan. Gerimis ini bukanlah tangisan alam, juga bukan kesedihan terpendam. Gerimis ini adalah hadiah terindah dan meyejukkan ketika tubuh Rengganis yang elok ditidurkan di dalam liang kuburnya. Gerimis ini adalah kenangan saat ia mulai membesar dan membadai, sehingga kami berdua semakin mencintai. Menjaga Hasan kecil dari air hujan di dalam rumah. Menjaga cinta kasih kami dengan kesederhanaan hidup.

Diantara papan dan tanah merah yang sebagian menutupi tubuh Rengganis, wajah Rengganis semakin terlihat cantik dengan busana yang pernah ia beli. Kafan putih kini telah ia sandang dengan anggunnya.

"Aku ingat kain kafan putih itu. Kafan yang kau beli dengan tabungan dari ayam-ayaman dua minggu yang lalu ketika para ibu sibuk memborong baju lebaran di pusat perbelanjaan. Ketika tabungan kita hanya cukup membelikan sepasang pakaian untuk Hasan di pasar. Sedangkan kau seakan lebih tahu sisa hidupmu. Kau memilih membeli kain kafan dan menyimpannya."

Kulambaikan senyum getir penutupan saat tanah memenuhi makam. Rengganis telah terdekap dalam pertiwi. Memeluk tanah dimana kami tecipta.

"Aku mencintaimu, begitulah aku mencintaimu hingga aku tak mengijinkan mataku lepas dari wajahmu untuk terakhir kali sebelum tanah merah menutup engkau kekasihku. Dan sungguh kau telah sempurnakan Ramadhan ini dengan kesetiaan yang hampir kupupus pagi tadi." Aku sangatlah malu, Rengganis mampu bertahan dalam penderitaan yang belum pernah secuilpun kumengalaminya. Hingga ia Rengganis istriku mampu bertahan dalam puasanya walau malaikat telah menanti disampingnya.

"Maafkan aku sayang. Beruntung kau tampar bibirku dengan kelembutan hatimu."

Kutebarkan bunga mawar bercampur melati diatas makam. Meskipun Rengganis tahu, indah bunga ini tidak sebanding cinta kasihku.

"Kita pulang ayah" Jemari kecil Hasan kecilku menarik lenganku dan tersenyum.

"Biarkan bunda sendiri ayah. Biarkan Bunda memiliki waktu menjawab pertanyaan para Malaikat." Hasan kembali menarik lenganku yang masih saja menggenggam tanah makam.

Aku menatap dengan senyuman kekaguman kepada Hasan kecilku. Hasan yang lebih tegar daripadaku. Usia yang setara dengan anak SD kelas 4 menyadarkan kembali, keikhlasan melepaskan orang yang kita cintai. "Kutinggal sebentar Rengganis, hingga nanti Allah menyatukan cinta kita dan bersua dalam kebahagiaan abadi di surga. Berkumpul bersama dalam rumah yang dipenuhi permata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun