Kulambaikan senyum getir penutupan saat tanah memenuhi makam. Rengganis telah terdekap dalam pertiwi. Memeluk tanah dimana kami tecipta.
"Aku mencintaimu, begitulah aku mencintaimu hingga aku tak mengijinkan mataku lepas dari wajahmu untuk terakhir kali sebelum tanah merah menutup engkau kekasihku. Dan sungguh kau telah sempurnakan Ramadhan ini dengan kesetiaan yang hampir kupupus pagi tadi." Aku sangatlah malu, Rengganis mampu bertahan dalam penderitaan yang belum pernah secuilpun kumengalaminya. Hingga ia Rengganis istriku mampu bertahan dalam puasanya walau malaikat telah menanti disampingnya.
"Maafkan aku sayang. Beruntung kau tampar bibirku dengan kelembutan hatimu."
Kutebarkan bunga mawar bercampur melati diatas makam. Meskipun Rengganis tahu, indah bunga ini tidak sebanding cinta kasihku.
"Biarkan bunda sendiri ayah. Biarkan Bunda memiliki waktu menjawab pertanyaan para Malaikat." Hasan kembali menarik lenganku yang masih saja menggenggam tanah makam.
Aku menatap dengan senyuman kekaguman kepada Hasan kecilku. Hasan yang lebih tegar daripadaku. Usia yang setara dengan anak SD kelas 4 menyadarkan kembali, keikhlasan melepaskan orang yang kita cintai. "Kutinggal sebentar Rengganis, hingga nanti Allah menyatukan cinta kita dan bersua dalam kebahagiaan abadi di surga. Berkumpul bersama dalam rumah yang dipenuhi permata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H