Rengganis menyalamiku dengan senyum yang tersisa, ketika jemari ruhnya tersalami malaikat maut. Ia sorotkan pandangan kerinduan padaku akan perjumpaan di tempat terindah yang kita cicil setiap waktu. Rumah surga yang mungil abadi. Rumah surga yang sering kami perbincangkan setiap malam saat menidurkan Hasan kecil. Rumah surga yang kami cicil dengan sedekah lima ratus rupiah setiap harinya yang kami sisihkan dari hasil kerja kami. Rumah surga yang kini dia lebih dahulu membukanya. Membuka pintu emas yang konon begitu indahnya. Sedangkan aku masih tertinggal di rumah kecil kami bersama hasan.
Aku hanya mampu menyandarkan ketidakikhlasanku pada tembok rumah. Kubiarkan warga mengurusi pemakaman istriku. Memandikan jenasahnya, mengkafaninya dengan rapi. Sedangkan aku berlari dengan pikiranku menelusuri saat-saat bersama, saat kami berdua menghabiskan waktu berpuluh-puluh tahun lamanya. Mendaki langit setiap tengah malam dalam sujud. Memoleskan cinta dengan tadarus bersama. Saling berbagi secangkir kopi tanpa gula. Tapi sekarang, siapa yang akan menemaniku menikmati hari-hari yang sangat sederhana ini. Rengganis yang tumbuh dengan cinta kasih telah tiada.
Seorang sahabatku memeluk erat larut dalam kesepian. Kata-kata hiburan dan dukacita seakan menambah parau hatiku. Kami bertatapan sebentar dan harus kupalingkan wajah kepedihan ke langit-langit berlubang. Langit yang meneruskan air hujan hingga membasahi lantai rumah kami.
Disaat kumelirik ke jenazah Rengganis yang terbaring tiga meter dimana kubersandar, Hasan kecilku tersenyum dan mencium kening ibunya. Ia mengelus pipi ibunya dengan lembut. Dan membisikkan beberapa kata yang samar terdengar.
"Bunda, suatu saat nanti kami akan menyusulmu ke rumah kita di surga. Ya, rumah yang sering bunda ceritakan sebelum kantuk menyergap dalam tidurku. Sebuah rumah yang pastinya tidak pernah bocor, tidak pernah kebanjiran dan rumah yang mungkin tidak pernah terkena gusuran."
Tidak pernah kusangka Hasan memiliki sayap putih yang merengkuh keikhlasannya. Iapun membaur ke para pelayat untuk mensholati ibunya. Sedangkan aku masih saja manja dengan linangan air mata.
Keranda sudah terangkat, menuju rumah abadi manusia di dunia. Aku memegang erat tangan Hasan dan berjalan di belakang. Gema Laa ilaaha ilallah terus mengiringi setiap langkah kami. Cuaca yang sedari tadi panas entah mengapa meredup dan gelap. Mendung bergulung menutupi setiap perjalanan menuju pemakaman.
"Ayah, hari ini Allah memberikan sambutan hujan kepada bunda. Allah mengingatkan kita tentang cnta kasih kita saat hujan datang ke rumah kita." Hasan tersenyum dan menari diantara gerimis. Tidak tampak kesedihan yang terpancar dari dirinya.
Mungkin engkau benar Hasan. Gerimis ini bukanlah tangisan alam, juga bukan kesedihan terpendam. Gerimis ini adalah hadiah terindah dan meyejukkan ketika tubuh Rengganis yang elok ditidurkan di dalam liang kuburnya. Gerimis ini adalah kenangan saat ia mulai membesar dan membadai, sehingga kami berdua semakin mencintai. Menjaga Hasan kecil dari air hujan di dalam rumah. Menjaga cinta kasih kami dengan kesederhanaan hidup.
Diantara papan dan tanah merah yang sebagian menutupi tubuh Rengganis, wajah Rengganis semakin terlihat cantik dengan busana yang pernah ia beli. Kafan putih kini telah ia sandang dengan anggunnya.
"Aku ingat kain kafan putih itu. Kafan yang kau beli dengan tabungan dari ayam-ayaman dua minggu yang lalu ketika para ibu sibuk memborong baju lebaran di pusat perbelanjaan. Ketika tabungan kita hanya cukup membelikan sepasang pakaian untuk Hasan di pasar. Sedangkan kau seakan lebih tahu sisa hidupmu. Kau memilih membeli kain kafan dan menyimpannya."