Mohon tunggu...
Widia Hapi
Widia Hapi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Personal Blog

Selanjutnya

Tutup

Trip

Wow! Kehidupan Menarik di Kampung Naga, Jawa Barat

19 September 2022   12:47 Diperbarui: 19 September 2022   13:17 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Plataran Kampung Naga. Dokpri

Salah satu pengalaman perjalanan wisata yang berkesan bagi saya adalah kegiatan wisata ke Kampung Naga, Tasikmalaya, Jawa Barat. Saat itu, momen kegiatan wisata di SMK merupakan suatu hal yang sangat dinantikan sebelum pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS) dan sebuah perjalanan wisata yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya. 

Kegiatan kegiatan wisata di tahun terakhir tepatnya pada 19 September 2019 menciptakan banyak kenangan dan pengalaman baru yang saya dapatkan selama 2 hari berada di Kampung Naga. Destinasi wisata yang kami kunjungi ini adalah desa yang terkenal dengan rumah tradisional, kesederhanaan, kesopanan, dan masyarakat setempat yang menjaga keselarasan lingkungan.

Perjalanan dari Jakarta menuju lokasi tujuan memerlukan waktu sekitar 5 jam menggunakan bus pariwisata dengan jarak 239 km. Lama perjalanan tersebut sudah termasuk pemberhentian di rest area dan makan siang di sebuah restoran daerah Garut. 

Kami tiba di Kampung Naga pukul 13.00 dan langsung melakukan briefing atau mendengarkan arahan dari local tour guide di area plataran Kampung Naga. Setelah kurang lebih 20 menit, kami pun bergegas menuju pemukiman warga yang dijadikan sebagai tempat penginapan selama disana. 

Saya ingat dimana kesan pertama saya memasuki akses jalan kesana terasa seperti berada di hutan dengan pohon-pohon tinggi besar. Tidak lama kemudian, terdapat tangga sebanyak 444 anak tangga yang menjadi jalur utama menuju rumah warga. 

Dapat dibayangkan, jumlah anak tangga tersebut berliku-liku dengan jarak antar anak tangga yang tidak tentu. Hal itu cukup menguras waktu dan tenaga mengingat perlu kehati-hatian saat melewati jalur yang cukup ekstrim.

Akses Menuju Pemukiman Warga. Dokpri
Akses Menuju Pemukiman Warga. Dokpri

Rasa lelah setelah menyusuri ratusan anak tangga pun terasa hilang seketika saat melihat indahnya pemandangan sawah dan suara derasnya arus sungai. Kata "wow" merupakan satu kata yang berulang kali saya ucapkan setiap kali melihat sisi demi sisi di wilayah tersebut. 

Suasana berbeda yang belum pernah saya temui sebelumnya sehingga hanya rasa takjub yang saya rasakan kala itu. Bahkan, saya sampai membayangkan apakah mungkin saya dapat merasa betah dan nyaman jika tinggal disana. 

Di hari pertama, kegiatan awal yang dilakukan adalah mendengar sambutan dari Kepala Suku di sebuah bangunan serba guna. Bangunan tersebut juga dikenal sebagai "Balai Desa" yang kerap digunakan warga untuk berkumpul dan melakukan kegiatan lainnya. 

Terdapat beberapa aturan yang harus diperhatikan ketika berada di Balai Desa tersebut dan salah satu diantaranya adalah dilarang meluruskan kaki / selonjoran ke arah kiblat. 

Hal itu dijelaskan bahwa tempat tersebut rupanya juga digunakan sebagai musala (tempat salat) sehingga perlu melaksanakan adab yang sepatutnya dilakukan. Kegiatan berikutnya adalah penentuan kelompok dan pembagian kamar (rumah warga) dimana setiap rumah diisi oleh 5-6 orang.

Situasi di Balai Desa. Dokpri
Situasi di Balai Desa. Dokpri

Menurut saya, bentuk bangunan rumah disana sangat unik dan sebagian besar memiliki ciri khas rumah yang berbeda. Terbukti pada rumah yang berada dekat dengan Balai Desa terlihat manarik dimana pemilik rumah menambahkan beberapa aksesoris atau warna cat tembok (bagian depan) yang menjadi berguna sebagai ikon rumah mereka. 

Berbeda dengan rumah-rumah yang berada di blok tengah dan belakang dimana tampilan rumah warga yang cenderung sama. Dengan demikian, sangat memungkinkan para pengunjung menjadi bingung dengan rumah yang menjadi tempat penginapan mereka. 

Bahkan, saya pun sempat salah masuk kamar akibat tidak ada penanda yang membedakan rumah satu dengan lainnya. Kejadian tersebut terjadi setelah melaksanakan salat Isya' berjamaah di Balai Desa dan tidak ada lampu penerang sama sekali ditambah saya tidak membawa lampu senter.

Kondisi tanpa aliran listrik membuat saya kaget dan terus bertanya-tanya bagaimana bisa mereka bertahan hidup tanpa bantuan listrik di lingkungan tempat tinggal mereka. Nyatanya, mereka mampu menjalani kehidupan sampai saat ini tanpa aliran listrik. 

Satu alat yang dijadikan sebagai penerang ruangan adalah lampu yang menggunakan minyak tanah (alat penerangan tradisional). Selain itu, alat yang digunakan untuk masak pun masih tradisional dimana mereka memakai kayu bakar dan tungku. 

Tidak hanya itu, kamar mandi disana hanya ada 4 buah dengan model tradisional juga. Bentuk bangunan diatas kolam dan setiap sisi dilapisi kayu dengan tinggi sekitar telinga orang dewasa. Sehingga saat mandi pasti kepala kita akan terlihat dari luar kecuali posisi mandi jongkok. 

Untuk air di kamar mandi juga menggunakan air pancuran dari sumber mata air yang dialiri dengan kayu dan air tersebut dibiarkan mengalir terus. Dengan jumlah kamar mandi yang terbatas, membuat kami harus menunggu dan saling bergantian untuk mandi. Uniknya kamar mandi tersebut tidak memiliki pengunci jadi saat mandi perlu bantuan teman sekamar untuk menjaga pintu. 

Cara lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan handuk sebagai pengganjal walaupun berisiko terlihat dari luar (tidak tertutup rapat). Selanjutnya, alas tidur yang kami pakai selama menginap disana bukanlah kasur melainkan sebuah tikar anyam. Pemilik rumah menyediakan 2 buah bantal dan 2 buah selimut untuk kami.

Dokpri
Dokpri

Di hari kedua, setelah sarapan kami pun berkeliling desa melihat beberapa aktivitas yang biasanya dilakukan oleh warga. Selain itu, kami pun diperkenankan untuk mencoba kegiatan-kegiatan tersebut seperti menumbuk padi, mengerjakan kerajinan tangan (anyaman), membersihkan kolam ikan, membersihkan lingkungan, dll. 

Menariknya, kegiatan-kegiatan itu mereka kerjakan setiap hari dan saya melihat rasa kebersamaan dan gotong royong mereka sangat tinggi. Kejadian ini berbeda halnya dengan masyarakat perkotaan dimana mereka cenderung mempunyai kesibukan masing-masing dan jarang berkumpul untuk melakukan sebuah rutinitas yang dilakukan dengan warga lainnya setiap hari. 

Lalu, kami juga bermain-main di sungai yang sangat jernih dan bersih. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari seorang warga disana bahwa mereka sangat menjaga kebersihan sungai agar terbebas dari sampah dan menyebabkan polusi air.

Kegiatan Menumbuk Padi. Dokpri
Kegiatan Menumbuk Padi. Dokpri

Kegiatan selanjutnya adalah jalan-jalan ke sebuah bukit didampingi oleh pemandu wisata lokal. Beliau mengatakan bahwa terdapat hutan yang konon tidak boleh didatangi atau dikenal dengan sebutan "hutan terlarang". 

Lokasi tempat tersebut berdekatan dengan "makam kramat" dimana belum ada satu orang pun yang datang kesana. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai sebab dan akibat memang beliau tidak memberikan keterangan yang detail hanya saja warga setempat tidak ada yang berani melanggar ketentuan tersebut. 

Mendengar pernyataan itu seolah menjadi suatu misteri yang membuat penasaran namun kami juga tidak ingin bertanya-tanya lebih dalam. Kemudian, kami kembali ke rumah masing-masing untuk istirahat dan makan siang bersama.

Pada malam terakhir, kami berkumpul di Balai Desa dan melakukan diskusi dengan Kepala Suku dan beberapa orang perwakilan warga. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh setiap kelompok untuk mengetahui lebih banyak tentang ekosistem daerah setempat. 

Setelah kurang lebih 1 jam berlangsung, kami melakukan doa bersama dan mengucapkan rasa terima kasih kepada warga desa. Lalu, kami segera kembali ke kamar untuk packing barang-barang dan melakukan persiapan untuk pulang esok hari.

Sebelum kembali ke Jakarta, kami mengunjungi souvenir shop untuk membeli oleh-oleh berupa makanan dan kerajinan tangan warga setempat. Pada beberapa toko kami dapat melihat proses pembuatan kerajinan tangan bahkan diperbolehkan untuk mencoba. Perjalanan dari rumah warga menuju area parkir bus sekitar 10-15 menit menaiki ratusan anak tangga. 

Dapat dibayangkan betapa butuh effort yang besar untuk melewati jalan itu dengan susah payah dan beberapa kali berhenti. Tiba di parking area saya langsung masuk ke dalam bus dengan kondisi tubuh berkeringat dan kaki yang lemas.

Selama perjalanan saya dan teman-teman tidur sampai tempat makan malam di restoran sate maranggi daerah Purwakarta. Setelah makan malam, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Jakarta dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam.

Setelah mengamati beberapa kebiasan-kebiasan yang dilakukan oleh warga, saya mendapatkan satu poin yaitu mereka sangat mengutamakan kebersamaan dalam melakukan pekerjaan. Tidak hanya itu, perilaku mereka juga mencerminkan rasa tanggungjawab yang besar untuk menjaga kelestarian lingkungan.

Saya rasa teman-teman perlu mencoba berkunjung ke Kampung Naga untuk merasakan dan mendapatkan pengalaman yang unik. Akan ada banyak hal yang mungkin belum pernah kalian dapat sebelumnya dan kesempatan eksplorasi alam di desa tersebut.

 Ketika berkunjung ke tempat wisata tentu kita akan mencari destinasi yang memiliki suasana yang berbeda (ciri khas suatu daerah). Sama halnya dengan desa wisata Kampung Naga yang mempunyai karakteristik menarik seperti tradisi, adat & istiadat, kebiasaan masyarakat, kondisi alam, dll. 

Dengan begitu, teman-teman akan mampu mengobservasi dan menilai perbedaan masyarakat tradisional dan modern dalam berbagai perspektif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun