Hujan agak menderas. Kini di hadapan kami pusara ayahanda. Kami duduk setengah jongkok, menengadahkan tangan...mengaminkan doa dari ulama muda, pimpinan ponpes dekat daerah kami, yang katanyan belum lama mengenal pa’e, dan jatuh cinta akan semangat bersilaturahminya.
Hari-hari berikutnya di rumah digelar tauziah. Dan kami mulai kembali menata hati-hati kami. Dari tayangan televisi kami saksikan banjir mengepung Jakarta. Ada rasa syukur tak mengalami bencana itu, dikumpulkan di kampung meski dengan cara di luar perkiraan kami sebagai manusia.
Dan ada yang baru kuketahui kemudian hari. Ketika di belakang rumah, kulihat gelas pa’e tergeletak di tanah. Saat kuambil, bagian bawahnya bolong. Aku terkejut. Ingatanku langsung tertuju pada kejadian pagi itu di kosan di Jakarta. Teh manisku ambyar lantaran gelasnya ceplong. Dan gelas itu serupa gelas bapakku. Kata ibu, sehari sebelum kecelakaan bapak dibikinkan teh manis. “Eh lha kok ceplong gelase.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H