Mohon tunggu...
Heru Widhi Handayani
Heru Widhi Handayani Mohon Tunggu... -

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gelas Ceplong

17 April 2013   05:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan-hujan di Jakarta begini mengingatkanku pada kejadian Jumat, 2 Februari 2007. Pagi itu aku bikin teh manis dalam gelas jumbo mirip kepunyaan Pa'e--pangilan untuk bapakku, proses mencari gelas itu mempunyai cerita tersendiri. Aku sudah lama menginginkan bentuk gelas serupa itu. Cukup menyita waktu. Aku keluar-masuk beberapa pertokoan untuk sekadar membeli gelas serupa.

Namun keinginan minum teh waktu itu gagal lantaran tiba-tiba saja lingkaran bawah gelas retak dan terlepas, bahasa jawanya ceplong. Air teh berleleran dan kulap dengan kain pel. Aku tersandar di tembok kosan menatapi hujan di luaran. Agaknya prediksi banjir lima tahunan bakal terjadi, gumamku. Pagi itupun aku memutuskan tidak berangkat ke sekolah untuk mengajar.

Tak sampai sejam kemudian masku yang di Bekasi sms mengatakan ayah di Klaten, Jawa Tengah, mengalami kecelakaan. Bagai disambar kilat, aku terus melantunkan istighfar dan berharap ini mimpi atau beliau sekadar lecet. Namun hati tetap gundah. Bergegas kuambil wudhu, salat, meminta ketenangan dari Yang Maha Kuasa.

Keinginan manusia tidaklah bisa memutus kehendak-Nya. Sebentar kemudian ponsel dari mbakku di Kelapa Gading, Jakarta Utara, berdering. "Wid, yang sabar..." suaranya terdengar serak, "Pa'e meninggal...kita pulang ke Klaten sekarang. Kamu tunggu di situ nanti masmu--kakak ipar--jemput kamu," imbuhnya menahan isak.

Inna lillahi wa inna ilaihi raaji'uun, gumam batinku. Meski di sisi lain batinku berkata ini lagi-lagi mimpi, sebentar pasti bapak bangun lagi. Tidak ada air mata saat itu. Kaki menuntunku membawa bawaan seperlunya.  Jaket kuning kukenakan. Masih dengan memakai baju rumah, kuturuni tangga dan kuketuk pintu rumah ibu kos. Tujuanku mau pamitan sekalian menunggu kakak ipar datang.

Saat hendak pamit, di situlah baru air mata tumpah. Ibu kos menghampiriku dan menyuruhku masuk ke dalam rumah. Ia menyuruh pembantu rumahnya untuk menyediakan makan dan minum, mungkin karena aku hendak melakukan perjalanan jauh ke Klaten. Tapi dengan halus kutolak karena memang tak lagi berselera.

Perjalanan menuju rumah kakak di bilangan Kelapa Gading cukup menyita waktu lantaran sepanjang jalan yang kami lalui sudah mulai terkepung banjir. Sesampainya di Kelapa Gading kami, bersama mbak dan anak balitanya, bergerak ke stasiun Jatinegara. Kami berniat naik kereta api. Sedangkan masku yang tinggal di Ciganjur  mengabarkan langsung berangkat dengan bus dari Lebak Bulus.

Untuk sampai ke stasiun Jatinegara itu tidak mudah. Pertama harus menyeberang kali Sunter sedangkan jembatan yang membentang di atasnya sudah tidak bisa dilalui, tertutup derasnya banjir. Kami mengikuti orang-orang menyusuri tembok yang masih terlihat selebar 20 sentimeter dengan kiri-kanan air kali yang meluap. Bismillah...tergelincir sedikit saja bisa terseret arus.

Selepas itu di perempatan Coca Cola,perbatasan Jakarta Timur-Utara-Pusat, lalu lintas macet total. Kami berjalan kaki ke arah timur, berharap ada satu bus yang masih mengangkut penumpang. Tak banyak bicara. Kami terdiam dalam doa. Jauh  juga berjalan, sampai akhirnya ada bus yang sarat penumpang. Kami bisa menaikinya dan tiba di Jatinegara.

Ternyata kereta molor dari yang dijadwalkan lantaran semua lini jalan bahkan jalanan sepanjang rel terkepung banjir yang makin malam makin parah. Malam itu hujan pun belum lagi berhenti. Kami sama-sama cemas terkepung banjir dan batal pulang. Dalam diam kami kembali berdoa.

Akhirnya, ada benarnya pepatah better late than never. Biasanya selepas magrib kereta berangkat. Lantaran hari itu luar biasa kereta kami berangkat pukul sembilan malam. Parahnya kami dapat tempat duduk dengan jendela yang bolong. Kasihan keponakanku yang masih balita. Alhasil aku beli Koran. Kulebarkan koran itu, kututupkan ke jendela  yang bolong dan kujadikan badanku sebagai penahan. Lumayan ia sedikit terhindar dari terpaan hujan dan angin malam. Sementara mbakku menghubungi masku di Bekasi mengabari bahwa kereta  baru berangkat. “Cari papan triplek juga untuk menutup jendela kereta yang bolong,” pesannya ke mas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun