Mohon tunggu...
Heru Widhi Handayani
Heru Widhi Handayani Mohon Tunggu... -

Belajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Gelas Ceplong

17 April 2013   05:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:04 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan kereta tidaklah laju. Jalan pelan kemudian diam, jalan lagi tak lama lagi berhenti. Bagitu-begitu terus. Hingga kami sama-sama kelelahan dan tertidur. Sepertinya lama sudah kami berada di dalam kereta, dan memang sudah tiga jaman. Kereta berhenti di sebuah stasiun. Dan kami edarkan pandangan keluar, ya Allah…kami baru sampai Bekasi! Jatinegara-Bekasi tiga jam!

Masku, mbak ipar, dan satu keponakan yang di Bekasi naik, dan bergabung. Kereta jauh dari batas kenyamanan: becek, sumpek, dan pengap. Tak apalah yang penting kami bisa terangkut pulang malam itu meski disertai hujan yang entah sampai kapan berhenti.

Meski tersaruk-saruk akhirnya kami berhasil melampau banjir di Jakarta dan sekitarnya. Tibalah kami keesokan harinya di wilayah Jawa Tengah. Tapi tetap saja kami waswas tidak akan bisa melepas kepergian  ayahanda ke peristirahatannya yang terakhir. Ponsel berdering. Mbak yang di Klaten menanyakan keikhlasan kami untuk tidak menyaksikan pemakaman bapak, dikhawatirkan terlalu lama. Kami bertiga, dan dua kakak ipar berembug dan menjawab, “Ya, kami memutuskan kalau memang Pa’e dimakamkan sekarang kami rela.”

Kami pasrah, matahari sudah hampir di atas kepala tapi kereta masih berkutat di Kroya, Jawa Tengah. Langsir lagi. Biasanya subuh-subuh kereta sampai di Klaten. Kami lagi-lagi terdiam. Dalam hati kubermunajat, “Ya Allah yang Maha Kuasa, meski kenyataannya kami tidak mungkin sampai di Klaten sebelum pemakaman, maka sekali-kali pun kami tidak meragukan kekuasaan-Mu untuk mengizinkan kami melihat rupa ayah kami sekali ini, untuk yang terakhir kali.” Lantaran keletihan kami pun tertidur. Ternyata, lain waktu mbakku cerita ia juga berdoa yang sama, mungkin juga masku.

Saat kami terbangun, kami sama-sama sudah tidak lagi bersemangat untuk sampai rumah cepat-cepat. “Lihat, kita sudah sampai Wates!” teriak mbak iparku yang memang pernah tinggal di sana, pinggiran Yogyakarta, meski ia sendiri kelahiran Kulonprogo.  “Iya…masak sih aku nggak kenal Wates,” imbuhnya, melihat kami belum bereaksi.

Percaya tidak percaya. Aku langsung menelepon mbakku di Klaten, “Mbak, kami sudah sampai Jogya…tunggu kami.” Dan kereta seolah ada yang mendorong lajunya. Stasiun demi stasiun terlewati. Dan sampailah di stasiun Klaten. Lagi-lagi hujan rintik menyambut  kedatangan kami.

Sampai di rumah mbak—kakak di atasku—nyaris jatuh sempoyongan, buru-buru dipeluk masku yang tiba duluan dari Ciganjur. Dua mbakku yang tinggal di sana datang memeluk kami, membisiki kata-kata yang menenangkan. “Sudah, Pa’e sudah tenang. Kecelakaan di jalan Yogya-Solo, selepas salat Jumat di pesantren Mbah Liem. Bersih.” Mbah Liem adalah pimpinan pondok pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten Utara.

Mbakku yang satu lagi, yang perawat, ikut membisiki, “Saat Pa’e meninggal kami ada di samping kanan-kiri Pa’e.”

Kulihat ibu duduk bersimpuh di pojokan dekat jenazah pa’e. Kuhampiri, kucium hangat tangan dan kedua pipinya, kupeluk lunglai tubuhnya. Ya…Allah terasa sekali ada api yang baru padam di sana.

Kuberdiri di sisi kanan, sementara masku di sisi kiri jenazah. Kami berdoa, mendoakan bapak kami. Kenapa baru sekali ini kami mendoakan di dekat beliau, sementara mungkin ratusan kali beliau semasa hidupnya membisikkan doa-doa di telinga kami.

Selesai menyalatkan jenazah, para kerabat segera bersiap-siap ke pemakaman. Dalam rintik hujan kami melepas kepergian ayahanda. Pelayat tak henti-henti berdatangan, bahkan kata mbak, sebelumnya jauh lebih banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun