Bagaimana dengan busana yang dikenakannya? Kak Nisa yang berhijab menutup tubuhnya dengan baik. Gerak-gerik yang ditampilkannya di video pun tak berlebihan. Santun dan atraktif bagi anak-anak sebagaimana guru pada umumnya. Lantas bagaimana bisa, perempuan yang berada pada koridor norma seperti Kak Nisa pun tak luput dari pelecehan seksual?
Ancaman ini pula yang menjadi salah satu perhatian para anggota Girl Power Talk di Indonesia. Mengenai hal ini, Titania Celestine (Young Leader for Content & Media) membagikan pengalamannya ketika menumpang kendaraan umum. Sempat tinggal lama saat menempuh studi di Curtin University di Singapura, Celestine merasa ia lebih memiliki keleluasaan bersikap ketika tinggal di Singapura.
Ia menyesali respons masyarakat Indonesia kepada perempuan di ruang publik. Ia harus mengubah tampilannya menjadi lebih tertutup ketika berada di Indonesia. Bahkan, setelah menggunakan pakaian lebih tertutup pun ia merasa tidak aman ketika menumpang bus dengan tatapan mata publik yang secara eksplisit mengobjektivikasi dirinya secara seksual.
Hal ini berbeda 180 derajat dibandingkan ketika Celestine berkuliah di Singapura. Ia dapat menggunakan pakaian sesuai dengan preferensi, selain juga dapat bepergian sendirian tanpa perlu merasa khawatir akan keselamatannya. Saya pribadi merasa poin rasa aman ini semestinya memerlukan intervensi pemerintah dalam merancang ruang publik yang berpihak kepada keselamatan warganya, terutama bagi kelompok rentan. Salah satunya perempuan.
Beda Celestine, beda pula cerita Shaheena Kishnani (Senior Associate of Marketing & PR). Ia kerap berhadapan dengan penilaian dan ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Lingkaran yang seharusnya dapat menjadi support system-nya.
Menurut Shaheena, saat kumpul keluarga, komentar iseng seperti, "Ih kok gendut. Nanti gak ada yang mau sama kamu lho" bisa menyebabkan perempuan mempertanyakan dirinya sendiri. Selain merasa tidak percaya diri, perempuan jadi selalu dibayang-bayangi oleh tuntutan standar hidup yang diciptakan oleh orang lain. Bahkan menjadi bulan-bulanan sesama perempuan.
Kisah-kisah ini --walaupun merupakan contoh-contoh kecil-- adalah kenyataan di akar rumput kita. Kita belum sampai membicarakan mengenai bagaimana perempuan dipandang sebelah mata di tempat kerja. Dianggap tidak kapabel dan emosional. Tantangan-tangangan inilah yang coba diadvokasi oleh Girl Power Talk. Di Indonesia, upaya ini dimulai dengan kontribusi dari Dee.
Dee April adalah orang Indonesia pertama yang bergabung dengan Girl Power Talk sejak 2 tahun yang lalu. Tugas Dee sebagai Associate Marketing & PR mengharuskan dirinya menjalin relasi, mengelola komunitas, serta mengatur kerja sama dan kolaborasi dengan pihak ketiga. Ia juga banyak berkontribusi mengelola Instagram Girl Power Talk dengan membuat rangkaian postingan yang bertujuan mengedukasi seputar isu perempuan dan gender. Tebak komentar seperti apa yang sering ia terima pada postingannya?
Ya! Hate speech. Membaca komentar negatif adalah makanannya sehari-hari. Menariknya, Dee juga menjelaskan bahwa diskusi dan internalisasi nilai gender tak bisa berlangsung dalam jangka pendek. Ini adalah pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan kesabaran.
Pula perlu diingat bahwa Girl Power Talk juga memiliki perhatian pada isu keberagaman. Oleh karenanya, perbedaan pendapat di kalangan masyarakat juga perlu dihormati dan diselebrasikan. Ketika Dee membaca perbedaan pendapat di kolom komentar, ia tak segan membuka diskusi mengenai hal tersebut.Â
Akan tetapi, beda cerita kalau komentar yang diterima cenderung mengarah kepada kekerasan, pelecehan dan hate speech lainnya. Tombol block dan mute adalah salah satu solusinya. "But when it comes to hating, it's a different thing," ujar Dee menambahkan.Â