Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memimpikan Dunia bagi Perempuan Berdaya, Bukan Sekadar Utopia

11 Desember 2023   15:39 Diperbarui: 12 Desember 2023   12:19 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Shaheena dan Dee, dua anggota Girl Power Talk dari Indonesia. Sumber gambar: Girl Power Talk

Bayangkan ada sebuah perusahaan yang memilih kliennya, dan bukan sebaliknya.

Terasa mustahil? Tapi Girl Power Talk bisa melakukannya.

Perjumpaan saya dengan kelima anggota Girl Power Talk Indonesia adalah sebuah "wow moment". Mind-blowing. Sekaligus mengherankan. Bagaimana bisa sebuah korporasi menolak klien apabila klien tersebut tidak memiliki value serupa? 

Adalah Luna Kania (Sr. Associate of Content & Media), orang pertama yang saya kenal dari Girl Power Talk. Dengan peran barunya sebagai Ibu muda yang bekerja dari rumah, ia khawatir suatu saat anaknya ikut on cam saat berbincang secara daring dengan klien. 

Luna membicarakan kekhawatirannya dengan Rachita Sharma yang merupakan CEO & Founder dari Girl Power Talk. "Bagaimana jika di tengah meeting anakku menangis. Atau klien tidak suka jika anakku ikut bekerja dan terlihat di kamera?" Mendengar pertanyaan ini, Rachita menjawab, "Jika begitu, mungkin mereka bukanlah klien yang kita inginkan."

Mendengar cerita Luna, saya agak bengong ... sedikit.

Perempuan vs Ekspektasi Publik
Pada profil LinkedIn-nya, Girl Power Talk menuliskan bahwa entitasnya lebih dari sekadar korporasi yang bergerak di bidang digital marketing dan konsultan. Girl Power Talk adalah juga sebuah gerakan sosial dan komunitas pemberdaya yang berharap dapat memberikan impak sosial kepada masyarakat. Terutama pada isu perempuan, gender dan keberagaman.

Hari ini, isu perempuan dan gender masih kerap mendapat cibiran di Indonesia. Padahal, isu ini telah menjadi perbincangan jamak yang terarus-utamakan di Indonesia. Cukuplah menyelam beberapa menit di kolom komentar media sosial, maka kita akan dengan mudahnya menemukan kata-kata bernuansa melecehkan dan merendahkan perempuan. Bahkan, tak sedikit di antaranya yang menuding aktivis perempuan sebagai manusia yang menentang fitrah.

Sesungguhnya, pada sisi lain, tak ada jaminan bahwa perempuan "yang mengikuti fitrah" dapat terbebas dari stigma. Sejenak, kita bisa bercermin pada peristiwa yang belakangan ini menimpa seorang host video Kinderflix yang dikenal dengan panggilan Kak Nisa.

Video Kak Nisa bertujuan untuk menghibur dan mengedukasi balita. Dalam masyarakat kita, tugas mengasuh dan mengedukasi anak lebih banyak dibebankan kepada perempuan yang kelak menjadi seorang ibu. Oleh karenanya, aktivitas yang dilakukan Kak Nisa dalam video tentu saja sudah memenuhi "fitrah" sebagaimana harapan masyarakat atas seorang perempuan.

Bagaimana dengan busana yang dikenakannya? Kak Nisa yang berhijab menutup tubuhnya dengan baik. Gerak-gerik yang ditampilkannya di video pun tak berlebihan. Santun dan atraktif bagi anak-anak sebagaimana guru pada umumnya. Lantas bagaimana bisa, perempuan yang berada pada koridor norma seperti Kak Nisa pun tak luput dari pelecehan seksual?

Ancaman ini pula yang menjadi salah satu perhatian para anggota Girl Power Talk di Indonesia. Mengenai hal ini, Titania Celestine (Young Leader for Content & Media) membagikan pengalamannya ketika menumpang kendaraan umum. Sempat tinggal lama saat menempuh studi di Curtin University di Singapura, Celestine merasa ia lebih memiliki keleluasaan bersikap ketika tinggal di Singapura.

Ia menyesali respons masyarakat Indonesia kepada perempuan di ruang publik. Ia harus mengubah tampilannya menjadi lebih tertutup ketika berada di Indonesia. Bahkan, setelah menggunakan pakaian lebih tertutup pun ia merasa tidak aman ketika menumpang bus dengan tatapan mata publik yang secara eksplisit mengobjektivikasi dirinya secara seksual.

Hal ini berbeda 180 derajat dibandingkan ketika Celestine berkuliah di Singapura. Ia dapat menggunakan pakaian sesuai dengan preferensi, selain juga dapat bepergian sendirian tanpa perlu merasa khawatir akan keselamatannya. Saya pribadi merasa poin rasa aman ini semestinya memerlukan intervensi pemerintah dalam merancang ruang publik yang berpihak kepada keselamatan warganya, terutama bagi kelompok rentan. Salah satunya perempuan.

Beda Celestine, beda pula cerita Shaheena Kishnani (Senior Associate of Marketing & PR). Ia kerap berhadapan dengan penilaian dan ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Lingkaran yang seharusnya dapat menjadi support system-nya.

Menurut Shaheena, saat kumpul keluarga, komentar iseng seperti, "Ih kok gendut. Nanti gak ada yang mau sama kamu lho" bisa menyebabkan perempuan mempertanyakan dirinya sendiri. Selain merasa tidak percaya diri, perempuan jadi selalu dibayang-bayangi oleh tuntutan standar hidup yang diciptakan oleh orang lain. Bahkan menjadi bulan-bulanan sesama perempuan.

Kisah-kisah ini --walaupun merupakan contoh-contoh kecil-- adalah kenyataan di akar rumput kita. Kita belum sampai membicarakan mengenai bagaimana perempuan dipandang sebelah mata di tempat kerja. Dianggap tidak kapabel dan emosional. Tantangan-tangangan inilah yang coba diadvokasi oleh Girl Power Talk. Di Indonesia, upaya ini dimulai dengan kontribusi dari Dee.

Dee April adalah orang Indonesia pertama yang bergabung dengan Girl Power Talk sejak 2 tahun yang lalu. Tugas Dee sebagai Associate Marketing & PR mengharuskan dirinya menjalin relasi, mengelola komunitas, serta mengatur kerja sama dan kolaborasi dengan pihak ketiga. Ia juga banyak berkontribusi mengelola Instagram Girl Power Talk dengan membuat rangkaian postingan yang bertujuan mengedukasi seputar isu perempuan dan gender. Tebak komentar seperti apa yang sering ia terima pada postingannya?

Ya! Hate speech. Membaca komentar negatif adalah makanannya sehari-hari. Menariknya, Dee juga menjelaskan bahwa diskusi dan internalisasi nilai gender tak bisa berlangsung dalam jangka pendek. Ini adalah pekerjaan jangka panjang yang membutuhkan kesabaran.

Pula perlu diingat bahwa Girl Power Talk juga memiliki perhatian pada isu keberagaman. Oleh karenanya, perbedaan pendapat di kalangan masyarakat juga perlu dihormati dan diselebrasikan. Ketika Dee membaca perbedaan pendapat di kolom komentar, ia tak segan membuka diskusi mengenai hal tersebut. 

Akan tetapi, beda cerita kalau komentar yang diterima cenderung mengarah kepada kekerasan, pelecehan dan hate speech lainnya. Tombol block dan mute adalah salah satu solusinya. "But when it comes to hating, it's a different thing," ujar Dee menambahkan. 

Tak Hanya Advokasi Gender
Sebagai korporasi yang memiliki anggota dari berbagai negara, Girl Power Talk memungkinkan anggotanya berinteraksi lintas negara. Karena tertarik, saya bertanya kepada kelima kawan baru ini mengenai pengalaman berbagi cerita dengan rekan-rekan dari negara lain. "Boleh dong diceritakan mengenai isu dari negara lain yang menurutmu menarik."

Kepada saya, Nadhia Tiara Astari (Young Leader for Content & Media) mengulangi cerita rekan kerjanya yang juga seorang medical student di Uganda.

Dalam mengakses fasilitas kesehatan, masyarakat Uganda terkendala dua hal: minimnya fasilitas dan tingginya biaya berobat. Keterbatasan tempat tidur di rumah sakit membuat lorong-lorong disesaki oleh pasien yang mengantri.

Nadhia merefleksikan kondisi ini dengan membandingkannya dengan kondisi di Indonesia. "Kita sering mengeluh dengan BPJS karena antrinya lama." Padahal di negara lain seperti Uganda, mereka bahkan tidak memiliki jaring pengaman sosial.

Anggota Girl Power Talk mancanegara. Sumber gambar: Girl Power Talk
Anggota Girl Power Talk mancanegara. Sumber gambar: Girl Power Talk

Mendengar masalah tersebut, Nadhia pun menawarkan bantuan kepada rekannya yang asal Uganda untuk membuat problem tersebut menjadi populer dan diperbincangkan. Caranya tentu saja sesuai dengan kapasitas Nadhia di Girl Power Talk: membuat banyak artikel.

Langkah yang ditempuh Nadhia beserta rekan-rekannya di tim Indonesia serta negara lain bertujuan untuk mengadvokasi isu yang tengah menjadi perhatian di sejumlah negara. Menurut Nadhia, perekrutan anggota dari berbagai negara justru menjadi kekuatan Girl Power Talk untuk meluaskan perspektif anggota, sekaligus meningkatkan awareness terhadap sebuah isu secara lebih masif untuk audiens yang lebih beragam. Melintas ruang dan waktu.

"It's more like expanding our voices," ungkap Nadhia.

Pilih klien yang memiliki value serupa, bisa. Buka diskusi buat keberagaman opini, bisa. Saling bantu meluaskan awareness dari negara anggota, bisa. Tak heran kalau saya sampai geleng-geleng kepala ketika berbincang dengan Luna, Dee, Shaheena, Celestine, dan Nadhia. Isn't that too good to be true?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun