PJ : Teman-temanmu justru sangat membutuhkanmu saat mereka salah. Mereka tak butuh kamu saat mereka benar. Butuh kedewasaan pikir untuk tinggal di wilayah ini. Kau tak memiliki kerendahan pikir ----
JL : Kukira takut pada Tuhan adalah awal dari kearifan.
PJ : Itu sama saja. Kerendahan hati
------------------
"Hmmm..", mungkin memang kita tidak perlu menggunakan kata "lawan", "jangan", dan sejenisnya. Kita 'hanya' perlu menjadi teman terbaik mereka. Karena teman lebih nyaman diajak berbicara daripada lawan. Karena yang tidak asing lebih mudah untuk dipercaya.
Dari sini kemudian teringat cerita Abina KH Ihya' Ulumuddin , bagaimana beliau yang sempat diasuh oleh Abuya As Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, ditanah haram Makkah, kemudian 'dipaksa' untuk menggunakan mazhab Syafi'i saat pulang dakwah di Indonesia, padahal Abuya sendiri menganut mazhab Maliki. Tak lain, karena kearifan beliau yang memahami bahwa "manusia seringkali membenci apa yang tidak diketahuinya". Kita tahu bahwa kebanyakan muslim di Indonesia bermazhab Syafi'i (misalnya NU), dan karenanya untuk lebih mudahnya dakwah, bergaullah dengan cara yang sudah mereka ketahui. Toh sama-sama benarnya.Â
Pelajaran yang saya ambil dari buku ini disintesa dengan pelajaran dari ngaji, mungkin berbeda bagi kawan lainnya. Tapi saya belajar, bahwa mungkin akan lebih baik, saat menemukan suatu hal yang kurang sesuai dengan apa yang saya yakini, coba bertemanlah. Mungkin ada yang saya belum pahami, atau mungkin ada yang belum mereka pahami. Berteman lebih nyaman daripada melawan. Memperbaiki lebih baik daripada menghancurkan. Namun catatan penting yang selalu saya ingat, dari guru kami, belajar apapun, membaca apapun, tetap milikilah tempat pulang untuk bertanya, sebenar-benar guru yang akan meluruskan saat bimbang, yang menguatkan saat ragu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H