Mohon tunggu...
Widayat Wsb
Widayat Wsb Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Punya keahlian khusus memilih pete diantara tumpukan sambel goreng kentang.\r\nMampu menghabiskan beberapa macam lauk tanpa menggunakan nasi ataupun minuman.\r\nBlog: http://wonosobokemekelen.blogspot.com/\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dialog Imajiner Dengan Dirjen Pajak

4 Maret 2016   16:25 Diperbarui: 4 Maret 2016   16:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanya jawab di ruangan megah di lantai 2 KP DJP pagi itu semakin riuh. Terlalu banyak yang ingin bertanya tetapi terlalu sedikit waktu yang tersedia untuk menjawab. Masalah menjadi lebih kompleks karena pagi itu moderator, atau lebih tepatnya tukang antar jemput microphone-nya adalah temanku. Dia dikenal memiliki daya jilat yang luar biasa kepada atasannya. Berkali-kali dia nyatakan bahwa waktu sudah habis. Tetapi aku nekad. Kesempatan ini tidak boleh terlewat. Harus dimanfaatkan bagaimanapun caranya. Aku rebut mic dari penanya terakhir yang hendak diambil oleh si tukang antar jemput mic itu.

“Mohon maaf Pak. Kami minta tambahan waktu. Kesempatan ini sungguh sangat jarang terjadi. Dialog ini sangat penting untuk menghimpun ide dari bawah. Barangkali saja salah satu di antara usulan kami bisa bermanfaat untuk organisasi ini”.

“Maaf Saudara, waktu sudah habis. Jangan membuang-buang waktu beliau yang sangat berharga”.

Lantang sekali temanku memotong kalimatku. Memang begitulah dia. Lembut, penuh kesopansantunan dan teramat melindungi pada yang kedudukannya lebih tinggi dari pada dia. Apalagi kalau orang-orang itu pernah atau bisa ngasih job untuk tambahan penghasilan buat dia. Malahan tak jarang dia sampai menggunakan bahasa kromo inggil ketika berkomunikasi dengan atasannya kalau mereka masih satu suku. Tapi kalau sama yang sejajar, apalagi yang dibawahnya, pernyataan dan sikapnya tegas, kaku dan keras tanpa ampun. Dia akan menyalak pada siapapun yang mencoba sedikit kritis pada atasan atau organisasi ini. Istilah populernya: “menggonggong sejak dalam pikiran”.

Aku tidak mau menyerah begitu saja. Dengan mic di tangan aku berkata:

“Beberapa waktu yang lalu, bapak-bapak yang di depan ini, pernah mengambil waktu yang sangat berharga buat keluarga kami. Dua jam perhari selama beberapa bulan, kesempatan puluhan ribu pegawai DJP bercengkarama dengan keluarga hilang dan hasilnya juga tidak jelas kecuali sebagian dari kami yang jatuh sakit karena tubuh sudah tidak mampu lagi mentolerir jam kerja yang terlalu panjang. Jadi tidak ada salahnya jika saat ini saya meminta waktu tambahan beberapa puluh menit saja kan?”.

“Tidak bisa. Anda tidak mentaati peraturan dialog ini dan pernyataan anda sudah mulai melenceng dari tema. Saya berwenang men-cut pertanyaan Anda !”.

“Bagaimana Bapak Dirjen?”, aku bertanya untuk meminta beliau menengahi.

“Ah tetep tidak bisa. Sesi pertanyaan sudah ditu ...”.

“Biarkan dia menyampaikan pertanyaan Mas. Saya masih ada sedikit waktu. Beri dia waktu tambahan 15 menit ...”, suara Bapak Dirjen memutus kalimat temanku itu. Wajahnya langsung merah padam menahan amarah. Matanya melotot. Tampak sekali dia tidak suka aku diberi kesempatan bertanya. Aku hanya tertawa dalam hati. Mana mungkin lah dia berani membantah sabda big bos kami ini.

“Terima kasih Bapak Dirjen. Dalam kesempatan ini saya hanya akan menyampaikan dua hal saja. Bukan pertanyaan tetapi berupa ide atau saran. Yang pertama adalah sebuah pengalaman yang dibagikan oleh dosen saya di  STAN dulu, Bapak Anis SB ketika melakukan studi banding masalah perpajakan ke Kanada. Pada suatu kesempatan salah satu anggota delegasi dari Indonesia bertanya kepada personil Canada Revenue Agency (Badan Penerimaan Negara Kanada).

“Berapa target penerimaan pajak Kanada?”.

“Target yang bagaimana maksud Anda?”, pegawai CRA itu malah balik bertanya dengan nada heran.

“Target penerimaan untuk CRA. Di negara kami, target penerimaan DJP ditetapkan setiap awal tahun. Dan angka itu sebisa mungkin akan kami penuhi sebagai tolok ukur utama keberhasilan kinerja kami”.

“Di negara kami tidak ada target penerimaan Pak. Karena penerimaan pajak akan turun naik secara otomatis mengikuti kondisi perekonomian negara”.

Delegasi kita terdiam dan sedikit malu mendengar jawaban itu. Mereka baru sadar bahwa pertanyaan itu sedikit konyol.

“Dari apa yang saya sampaikan di atas barangkali DJP atau lebih tepatnya negara ini bisa mengambil suatu pelajaran bahwa target penerimaan sebaiknya bukan menjadi tolok ukur utama buat organisasi kita ini. Walaupun tentu saja itu tidak bisa sepenuhnya kita bandingkan mengingat tax ratio kedua negara yang terpaut jauh (Tax Ratio Kanada tahun 2015 = 32,2%). Tetapi setidak-tidaknya DJP bisa mengambil intisari bahwa target penerimaan tidak bisa sepenuhnya menjadi tolok ukur utama capaian kinerja DJP.”

 “Lalu yang kedua Bapak Dirjen yang kami cintai. Saya akan menyampaikan sebuah kisah inspiratif yang mungkin saja memiliki relevansi dengan cara kerja di DJP. Barangkali Bapak atau sebagian yang hadir di ruangan ini pernah membacanya’.

“Ceritanya begini, pada sebuah pesta, tuan rumah mengadakan game dengan peralatan berupa balon di mana tiap balon itu sudah ditulis nama masing-masing orang yang diundang di pesta tersebut. Aturan permainan pertama adalah dalam waktu lima menit masing-masing peserta harus bisa menemukan balon dengan namanya sendiri. Selanjutnya apa yang terjadi? Suasana pesta jadi kacau balau. Masing-masing peserta berebut mencari balon masing-masing. Sampai setengah jam masih jarang peserta pesta  yang dapat menemukan balon miliknya. Sebagian besar balon malah meledak sebelum bertemu yang empunya akibat tangan kasar pada saat rebutan. Hasilnya adalah hanya sedikit yang berhasil menemukan balonnya, sebagian besar balon pecah dan suasana pesta centang perenang”.

“Kemudian pada game kedua peraturan diubah. Peraturannya adalah dalam waktu 5 menit setiap peserta mengambil balon terdekat dan menyerahkannya pada yang namanya tertera pada balon itu. Dan hasilnya sungguh berbeda sekali. Dalam waktu singkat para peserta sudah memegang balon dengan nama masing-masing. Game usai dalam waktu kurang dari 5 menit”.

“Bapak Dirjen yang baik. Permainan itu sedikit banyak mungkin bisa kita samakan dengan cara kerja di instansi kita ini. Tuan rumah adalah Bapak-Bapak yang di depan sebagai penentu dan pengambil kebijakan, peserta pesta adalah kami-kami para pelaksana di lapangan dan balon adalah target penerimaannya. Jika pencapaian target penerimaan dijadikan tolok ukur utama kinerja setiap kantor, maka itu ibarat Bapak membuat game dengan aturan pertama di mana setiap kantor akan rebutan penerimaan sampai kadang-kadang berusaha merebut penerimaan dari kantor lain. Hasilnya tidak akan optimal. Saling sikut demi memikirkan target kantornya masing-masing. Itu membuat kami sering terjebak dalam situasi memalukan di mana di depan Wajib Pajak kami berebut penerimaan padahal pada akhirnya semua akan bermuara pada rekening yang sama. Mohon dicatat bahwa bersaing adalah salah satu fitrah manusia. Dan fitrah ini akan muncul jika target penerimaan diberikan ke masing-masing kantor. Menurut saya target penerimaan cukup diberikan secara nasional saja. Tidak perlu dipecah lagi. Atau paling tidak capain target penerimaan jangan sampai menjadi tolok ukur utama apalagi menjadi satu-satunya patokan keberhasilan suatu kantor ”.

“Sedangkan jika capaian target penerimaan bukan lagi menjadi tolok ukur kinerja setiap kantor, maka bisa dikatakan Bapak telah membuat aturan game dengan peraturan nomor dua. Masing-masing kantor tidak akan melulu berusaha mati-matian mencapai target masing-masing, tapi akan saling bantu dan saling dukung  dengan  berbagai cara. Setiap unit kerja akan dengan sukarela mendukung penerimaan kantor lain dengan mengirimkan data/informasi untuk menggali potensi pajak. Tidak ada lagi unsur persaingan dan ego masing-masing kantor karena kami akan merasakan efek solideritas dalam mencapai tujuan bersama. Demikian saja dari saya Pak”.

“Benar sudah selesai, tidak ada yang mau disampaikan lagi?”, Bapak Dirjen bertanya dengan nada bergurau memancing tawa hadirin.

“Cukup Pak. Saya rasa jatah waktu saya sudah habis. Eh tapi anu Pak?”.

“Nah. Gue bilang juga ape”, lagi-lagi kalimat Pak Dirjen yang sok kebetawi-betawian membuat seisi gedung tertawa.

“Saya titip pesan Pak. Barangkali nanti di DJP akan dibentuk suatu eselon atau unit yang membidangi masalah keamanan atau K9 atau yang semacam ini atau Bapak memerlukan pengawal pribadi, saya titip teman saya in Pak. Dia sangat cocok. Jiwa centengnya sangat kuat karena memang bawaan orok. Saya yakin jika name tag Bapak nyemplung ke got, tanpa diperintah dia akan langsung masuk gorong-gorong untuk mengambilnya”.

“Eh kamu ada masalah dengan temanmu ini? Kok dari tadi kalimatmu pedas gitu?” Pak Dirjen memotong kalimatku.

“Emang kalimat saya terdengar seperti orang sentimen ya Pak? Maaf kalau begitu. Mungkin saya hanya memanfaatkan kesempatan ini untuk sedikit menegur perilakunya Pak. Dan memang saya agak sedikit sentimen sih Pak. Sekian saja Pak. Sekali lagi mohon maaf.”.

“Ya sudah. Saya cukup mengerti dan bisa menangkap ide yang kamu kemukakan. Tapi kalau idemu terpakai dan saya perlu penjelasan lebih lanjut kamu tidak keberatan kalau saya panggil kan?”.

“Tentu saja tidak Pak. Saya selalu siap sedia. Saya bahkan akan menyampaikan ide-ide lain buat Bapak. Ide yang tidak mungkin saya sampaikan lewat forum ini karena masalah keterbatasan waktu. Saya benar-benar menunggu panggilan dari Bapak.”.

“Cukup ya. Terima kasih atas ide yang kamu sampaikan. Oke Mas moderator, silahkan lanjut !”, Pak Dirjen mengakhiri sesi pertanyaan dar peserta.

Temenku bangkit dari kursinya. Wajahnya yang tadinya berwarna merah padam kini sudah berubah keungu-unguan akibat tingginya konsentrasi darah di kepalanya. Rahangnya terlihat mengeras. Aku khawatir lidahnya putus tergigit giginya sendiri atau geliginya pecah karena gemeletuk giginya yang saling beradu terlalu keras.

Hari itu aku tidak tahu mana yang lebih memuaskanku. Berbicara langsung dengan DJP 1 atau berhasil memancing emosi temanku yang satu ini ...

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun