Mohon tunggu...
wida nafis
wida nafis Mohon Tunggu... -

Manhaj Mutaqoddimun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Diskusi Tentang "Dekonstruksi" Tafsiir dalam Islam

7 Juni 2010   22:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:41 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"wa man yusyaaqiqi-r rasuula min ba'di maa tabayyana lahul hudaa wa yattabi' ghaira sabiilil mu'miniina niwallihi maa tawallaa wa nushlihi jahannama wa saa'at mashiiraa"

Sudah jelaskan, bahwa pemahaman Tradisi Sunnah adalah tolak ukurnya, diluar itu..maaf saja bukan Islam.

KE:
Memangnya yang Islami itu seperti apa? apa ketika Einstein menemukan teori tentang bom atom, terus ditambahin embel2 ayat al-Qur’an dan para ulama klasik yang pernah menafsirkan ayat yang nyerempet2 ke bom atom.

WN:
Yang Islami ya sekali lagi yang pemahaman yang dihasilkan tunduk pada parameter "Ar-Rasuul
wa Sabiilul Mu'miniin". Bukan yang lain. Sekali lagi ini masalah otentitas dan keotoratifan.

Sehingga "berteologi" dalam Islam baik yang bermental "tunduk
pada fitrah" maupun yang bermental "tunduk pada absurditas filsafat", semuanya kembali harus dihadapkan terhadap tolok ukur tadi "Fa rudduhu ilalaahi
war-rasuul".

Hasil keputusan finalnya bisa berbeda, tapi yang penting adalah proses penuh kesungguhan untuk menyandarkan Ide Teologi kita pada referensi-referensi itu.

Pada posisi inilah "worldview" memainkan peran yang sangat significan. Yang dimaksud dgn term "worldview" ini adalah paradigma yang menyediakan nilai, standart dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik, yang menjadikannya framework permikiran dan disiplin ilmu pengetahuan (Thomas S Kuhn, Hegel). Ia diposisikan menjadi "filter" dan disinilah kita mengenal proses "al-nafyu wa al-ithbaat"

Nah, persoalan hermeneutis secara historis adalah jelas persoalan yang dihadapi oleh Barat dengan probematika agama dan filsafat-nya, sehingga pembacaan hermeneutika ini sangatlah erat dengan "kacamata" framework problematika dalam "worldview" Barat, sementara problematika ini tidaklah dihadapi oleh Islam.

Sehingga bukanlah konsen Islam untuk terlibat jauh dalam permasalahan semantik bahasa secara umum, dimana para filosof bahasa menghadapi masalah dalam menyesuaikan atau menghubungkan bahasa dengan dengan realitas yang sebenarnya secara tepat (SM Naquib al-Attas)

KE:
Tindakan-tindakan mengkooptasi seperti itu sebenarnya yang menghancurkan Islam secara internal, paradigma penafsiran itu sebenarnya ada dua; yaitu teks dan konteks. “Yang tekstual” ini biasanya direpresentasikan oleh nalar2 literalis sedangkan “yang kontekstual” ini luas cakupannya, ada yang direpresentasikan oleh nalar-nalar mistisisme (sufistik) atau dalam bahasa abid al-jabiri yaitu nalar irfani, dan ada pula yang menggunakan nalar burhani alias filsafat

WN:
Justru asumsi-asumsi yang dipakai baik oleh al-Jabiri, Arkoun, Nasr Abu Zyad, dst itu bermasalah secara metodologi dan lemah secara faktual argumentatif. Oleh sebab itu di "medan" ilmiah, klaim-klaim asumtif mereka gugur diterjang badai kritik komparatif yang dilakukan oleh para komentator dan lawan-lawannya. Sehingga wajar saja proyek-proyek mereka dinilai kontradiktif, absurd dan naif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun