WN:
Sekedar lontaran asumtif belaka dan tidak berdasar pada fakta historis, menunjukan “miskin” pemahaman yg komprehensif tentang konstruk peradaban Islam.
Sebab justru peradaban Islam itu berkembang maju pesat semenjak al-Mutawakil mengembalikan “mazhab” peradaban kembali kepada Tradisi Salaf / Sunnah, dan term ini pun jauh hari sejak lama sudah di serukan oleh para Aimmah Mutaqoddimun dikalangan tabi’in seperti Sufyan ats-Tsauri.
Dengan spirit atas Nilai “Kembali pada Tradisi Salaf / Sunnah” membawa para pemikir Muslim pada konflik (al-nafyu wa al-ithbaat) dengan pemikiran Yunani sehingga pemikiran tersebut menjadi ter-Islamisasi-kan
(Seperti yang didedahkan oleh Iqbal dalam The Reconstruction of the religion thought in Islam).
Demikian,
WN.
# Tanggapan Relly Jehato:
ini persoalan hermeneutika islam..saya gak mau ikut campur…hehehe…sebaiknya komentar ini dilampirin ke profil (sapaan) Elkazhiem ya….siapa tau ada feedback…
# Tanggapan Kupret Elkazhiem:
cara-caranya harus begini dan begitu sudah layak dibilang otoriter, apalagi mengangkat hermeneutika sejajar dengan metode tahlili dan maudhu’i, tambah dibilang sesat tuh. Memangnya yang Islami itu seperti apa? apa ketika Einstein menemukan teori tentang bom atom, terus ditambahin embel2 ayat al-Qur’an dan para ulama klasik yang pernah menafsirkan ayat yang nyerempet2 ke bom atom. Tindakan-tindakan mengkooptasi seperti itu sebenarnya yang menghancurkan Islam secara internal, paradigma penafsiran itu sebenarnya ada dua; yaitu teks dan konteks. “Yang tekstual” ini biasanya direpresentasikan oleh nalar2 literalis sedangkan “yang kontekstual” ini luas cakupannya, ada yang direpresentasikan oleh nalar-nalar mistisisme (sufistik) atau dalam bahasa abid al-jabiri yaitu nalar irfani, dan ada pula yang menggunakan nalar burhani alias filsafat. Persoalan metode dan pendekatan yang digunakan dalam paradigma kontekstual juga beragam, ada sosiologis, historis, etnografis, dsb. Berbeda dengan metode pendekatan kalangan yang berparadigma tekstual, alias kaum tekstualis, yang menganggap ayat adalah sesuatu yang harus didekati secara normatif dan tekstual, akhirnya penfsiran yang dihasilkan adalah rigid dan kaku, lalu jika penafsiran itu digunakan dalam metode pencarian hukum yang muncul adalah produk hukum yang juga rigid. Lalu produk rigid itu diaplikasikan dalam ranah praksis, maka yang terjadi adalah tindakan2 otoriter yang mengkooptasi otoritas dan otentisitas, yang menyapu segala bentuk penafsiran-penafsiran yang berbeda
# Tanggapan WN:
Kompasiner yang budiman, khususnya pak Elkazhiem,
KE:
cara-caranya harus begini dan begitu sudah layak dibilang otoriter, apalagi mengangkat hermeneutika sejajar dengan metode tahlili dan maudhu’i, tambah dibilang sesat tuh.
WN:
Lah memang sesat, karena tidak sesuai dengan semangat nilai-nilai dari Tradisi Sunnah yang sudah mapan dan otoratif.