catatan yang menarik dan mencerahkan Pak Kupret..saya setuju pendapatnya…terima kasih…salam….
# Tanggapan Wida Nafis:
Kompasioner budiman,
Pak Elkazhiem menulis :
ya semua dalil agama bisa jadi baik, tetapi nalar agama bisa jadi terdistorsi oleh sikap otoritarianisme. Otoritarianisme yang dimaksud di sini adalah seperti yang diutarakan oleh Khaled Abou el-Fadl, yaitu mengkooptasi penafsiran atau mengunci satu teks pada satu pemaknaan tunggal dan menyumbat kemungkinan penafsiran yang lain.
WN:
Konstruk pemahaman dalam Islam memang tersetting terlahir dengan tradisi “Ke-Otentisan” dan “Ke-otoratifan”. Sehingga muncul istilah Tradisi Sunnah, yang dengannya bangunan pemahaman dalam Islam harus dihadapkan terhadap tolok ukur “Ar-Rasuul wa Sabiilul Mu’miniin”. Ini sesuai dengan pesan Rasul saw “innahu man ya’isy ba’dii fasayara-khtilaafan katsiiran, fa ‘alaykum bi sunnatii wa sunnatil khulafaa’i-r raasyidiinal mahdiyyiina min ba’dii”.
Sehingga tidak ada satupun muslim yang BEBAS mengemas ide2nya tentang Tuhan dan Islam. Kecuali jika yang dimaksud dengan “mengemas” itu adalah urusan-urusan teknis yang tidak punya efek substansial. Ide2 tentang Tuhan dan Islam itu “given”, diserap dari referensi-referensi yang reliabel dalam Islam (Quran, Sunnah,
Ijma’).
Pengemasannya bisa saja menggunakan analisa-analisa keilmuan yang relevan. Tapi Sumber dan Prosesnya harus seirama. Sebab jika tidak, maka Orang Musyrik Jahiliyyahpun juga tidak boleh dilarang ketika mereka mengemas ide ketuhanan mereka dengan menyatakan “maa
na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilallaahi zulfaa”.
Ketika bangunan Ke-otoratifan dan ke-otentisan ini dipaksa dibuang, di-dekonstruksi dengan merelatifkan semua penafsiran…ya sama saja “membumi-hanguskan” Islam sendiri.
Ini juga sama saja “MENUHANKAN” akal dengan faham relatifismenya. Artinya Tuhan harus tunduk persepsi akal yang merelatifikasikan semua penafsiran.
Nah, kenapa bisa demikian? Karena bagi Islam, Allah dalam wahyunya sudah mem posisi Tradisi Sunnah sebagai bentuk parameter paling otoratif dalam menafsirkan pesan Tuhan.
Bagi Islam, wahyu dipandang sebagai “Kebenaran Mutlak” yang berasal dari Tuhan dan sudah diturunkan ke-dunia kedalam bahasa yang dipahami manusia, oleh sebab itu Allah berfirman “Al Haqqu min Robbika” bukan menggunakan kata “Al Haqqu ‘indaka Robbika”. Kata “Min” disini berarti “Dari Sono (Tuhan) dan sudah ada disini, ditengah-tengah kita”.
Seruan untuk merelatifikasikan semua penafsiran adalah seruan yang absurd dan naif. Dan terang-terangan melanggar semua kaidah logika dan proporsionalitas.
Pak Elkazhiem menulis :
Kemunduran peradaban Islam, saya kira, salah satunya, berawal dari sikap otoriter ini. Sebagian besar kita sekarang ini mengunci rapat-rapat teks pada satu penafsiran. Seolah penafsiran-penafsiran telah baku.