“fa yajibu `an haadza dlaruuratan an yakuuna-l waahid haadza ghaira
munqasamin fii maa yaf`alu min dzaatihi. Fa lidzaalika, laa ya`qilu
illaa waahidan basiithan, wa huwa dzaatuhu, wa laa yumkinu fiihi an
ya`qila katsratan maa: laa fii dzaatihi wa laa khaarija `an dzaatihi.”
Bagaimana mungkin keyakinan-keyakinan absurd filsafat seperti ini bisa dianggap selaras dengan Islam dan Al-Quran?. Bahkan bagaimana mungkin doktrin-doktrin irasional ini bisa dianggap sebagai hasil pemikiran logis dan wawasan ontologis mendalam?. Maka pantas saja jika konsep ini ditolak oleh para Aimmah.
Sedikit tambahan pak Rifai, “kembali” pada tema awal tentang al-Jabiri yang “menggandrungi” Ibn Rusyd.
Perlu diketahui bahwa tema “Filsafat” yang ingin dibawakan oleh al-Jabiri adalah “Filsafat” dalam term “pengalaman Barat”, yang (berusaha) Terpisah dengan tema “metafisika”. Jadi ia ingin menghilangkan “metafisika” dalam filsafat sehingga yang ada hanyalah sains murni (ini jugalah yang dilakukan Kant, Hegel, dst).
Nah, al-Jabiri menggunakan Ibn Rusyd untuk “menjustifikasi” apa yang ia lakukan. Karena menurut al-Jabiri, Ibn Rusyd dalam tahafut at-tahafut-nya mengenai kritiknya tentang “Pengetahuan Tuhan”nya Ibn Sina dan al-Ghozali, dengan menyatakan bahwa “Pengetahuan Tuhan tidak bisa dinalar dengan nalar manusia”, telah memberikan jalan bagi “akal” untuk memisahkan antara filsafat (sains) dan metafisika. (Tahafut al-Tahafut: Intisharan li al-ruh al-’Ilmiyyah wa Ta’sisan li al-Akhlaqiyyat al-Hiwar: Taqdim wa Syarh Muhammad ‘Abid al-Jabiry, Markaz Dirasat al-Wihdah al-’Arabiyyah, halaman 451).
Setelah membawa “ibn Rusyd” untuk menjustifikasikan asumsinya, lalu al-Jabiri pun “menawarkan” idenya untuk “membaca” semua yang berbau “metafisis” itu murni dengan Filsafat (sebab term “metafisika” itu sudah dibuang, sudah usang dan tidak sesuai dengan semangat Filsafat Barat yg anti metafisika).
Sebagai gantinya, al-Jabiri menggunakan perangkat teori yang berkembang pada disiplin Ilmu Humaniora dan Filsafat di Barat saat ini. Dia misalnya menggunakan teori yang dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani, ’Irfani, dan Burhani. Bachelard dia meminjam teori epistemological rupture (keterputusan epistemology), sebuah teori yang sebenarnya digunakan untuk membaca sejarah dan filsafat Sains.
Sehingga, apa yang dilakukan al-Jabiri ini, (meminjam statmen ust. Nidlol Masyhud, Lc, “rektor” Kajian Pemikiran Sinai) hanyalah bentuk ” Keterkesimaan terhadap filsafat peripatetik, yang biasanya akan membuat seseorang menganggap bahwa doktrin-doktrin di dalamnya adalah doktrin-doktrin yang sophisticated, serba mantap, dan kemudian menjadikannya sebagai neraca penerimaan terhadap teks-teks Syariat.
Jadi dunia akan diputar 180 derajat (atau kurang atau lebih). Al-Quran dan penjelasan Nabi dibalik statusnya menjadi ‘terdakwa’ yang diadili, sedangkan doktrin-doktrin Barat diberi status sebagai hakim yang mengadili. Sang filsuf menjadi jaksa penuntutnya. Ini pola klasik yang tersubur-lestari sampai zaman sekarang di kalangan para pemikir liberal dan pengkaji sekular yang terkesima oleh filsafat-filsafat diabolik dan teori-teori orientalis.”
Demikian,
- Menunggu klarifikasi lebih lanjut dari pak Rifai -