Mohon tunggu...
Widadi Muslim
Widadi Muslim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang energik, atraktif dan murah senyum. Motivator dan penulis buku kependidikan. Juara kedua kompetisi edukasi Anlene Hidup Penuh Makna. Saat ini mengampu mata pelajaran bahasa Indonesia di SMP Negeri 164 Jakarta Selatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Benih-Benih Cinta

8 November 2022   10:14 Diperbarui: 8 November 2022   10:18 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pohon dan rumah. (Foto: Dokpri)

Di Stasiun Tugu, senja langit memerah. Semburat warna emasnya menghibur hati Pak Guru Jono.  Guru muda itu galau memikirkan masa depannya. Dua tahun sudah ia bekerja sebagai guru honorer di kampung. Sawah sepetak milik orangtuanya tak mampu lagi menghidupi keluarga. Jika panen datang harga gabah turun serentak. Entah apa sebabnya. Jika musim tanam padi pupuk harganya selangit. Ia berniat merantau.

Di Stasiun Tugu satu jam berlalu ia menunggu. Menunggu kereta berangkat dari Yogyakarta menuju Jakarta. Suara adzan Maghrib berkumandang. Guru muda itu bergegas ke tempat wudhu. Ia shalat Maghrib berjamaah di musholla Stasiun Tugu.

Kereta api Senja Utama tiba. Mengangkut penumpang menuju Jakarta. Penumpang berhamburan saling serobot tak karuan. Penumpang, pedagang, pengamen adu cepat. Kuli-kuli panggul tak mau kalah. Anak-anak kecil menangis karena sumpek dan gerah. Guru muda iu perlahan memasuki gerbong 8.

“Permisi Dik, apakah bangku sebelah nomor 9?”

“Iya betul Mas, silakan!”

Guru muda itu meletakkan tas dan gitar kecilnya ke bagasi di atas tempat duduknya. Ia duduk bersebelahan dengan gadis manis berambut panjang. Suara peluit berbunyi keras dan memekakkan telinga pertanda kereta segera berangkat.

Guru muda itu membuka majalah Anita Cemerlang. Majalah yang memuat cerita-cerita romantis. Sesekali bola matanya melirik ke arah gadis yang duduk di sebelahnya. Ingin ia menyapa, tapi tak kuasa.

Satu jam kereta berlalu. Sayup-sayup terdengar suara adzan berkumandang.

“Maaf Dik, saya ijin shalat Isya’ ya?”

“Di mana shalatnya Mas?”

“Ya di sini, di tempat duduk ini.”

“Memang boleh.”

“Boleh dong, kan darurat.”

“Trus, di mana wudhunya?”

“Tayamum, Dik.”

“Ooo…”

Gadis manis itu bengong. Bibir mungilnya begitu indah, sangat memesona. Jono, guru muda itu sulit konsentrasi dalam shalatnya.

Kereta api semakin jauh meninggalkan kota Yogyakarta. Angin malam berhembus membelai manja rambut gadis berambut panjang itu. Begitu melihat Jono selesai shalat, gadis itu pun bertanya.

“Maaf Mas, mau ke Jakarta ya?”

“Iya betul Dik, Adik sendiri mau ke mana?”

“Pulang ke Jakarta Mas.”

“Oh, berarti habis jalan-jalan di Yogya dong.”

“Ah enggak kok, nengok saudara di belakang Malioboro.”

“Oh, begitu rupanya.”

“Ngomong-ngomong siapa nama Adik?”

“Nama saya Sari Mas. Mas siapa Namanya?”

“Saya Jono.”

“Oh Mas Jono gitu ya manggilnya?”

“Iya boleh.”

“Dik Sari sendirian ya?”

“Iya Mas Jono.”

“Wah kalau begitu sama dong.”

Keduan insan itu pun tertawa. Tawanya renyah, lebih renyah dari kerupuk udang. Gadis itu mengedipkan matanya. Semakin tampak alisnya bak semut beriring. Dagunya bak lebah bergantung. Indah sekali. Sepanjang perjalanan keduanya asyik bertukar cerita. Malam kian larut. Udara semakin dingin. Jono kedinginan.

“Mas Jono kedinginan ya?”

“Iya, begitulah.”

“Ya udah kita pakai aja selimut ini berdua, itu juga kalau Mas Jono mau.”

“Siapa juga ya berani menolak ajakan Dik Sari.”

Lama sekali kedua insan itu mengobrol, akhirnya tertidur dengan senyum yang indah, hati yang berbunga-bunga.

Jrug… ijrak… ijrug… ijrak… ijrug… kereta melambat. Waktu Subuh datang menjelang. Kereta berhenti. Keduanya terbangun. Para penumpang berhamburan menuju pintu keluar. Jono dan Sari saling bantu menurunkan barang bawaan. Keduanya berjalan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun