Sementara itu, kondisi yang melatarbelakangi persahabatan dengan Belanda adalah terkait dengan perpecahan dan pemberontakan yang terjadi di Kesultanan Banten.Â
Perjanjian persahabatan ini merupakan dorongan dari Sultan Haji (putra Sultan Ageng Tirtayasa yang memberontak dan bersekutu dengan VOC) yang meyakinkan sultan-sultan di Cirebon mengenai keuntungan bersahabat dengan VOC. Selain itu Sultan Haji khawatir jika para pimpinan masyarakat dan pemerintahan di Cirebon yang masih sangat setia kepada Sultan Ageng, masih tetap membantu gerilya laut Banten yang mengganggu VOC di sebelah Timur Batavia.
Penandatanganan perjanjian persahabatan itu menimbulkan perpecahan di kalangan para pembesar pemerintahan di Cirebon. Namun pro dan kontra ini tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah. Setelah penandatanganan perjanjian itu, terjadi proses likuidasi kekuatan politik di Cirebon dan juga Banten.
Menurut beberapa sumber, pada masa Panembahan Girilaya beserta putra mahkotanya ditahan oleh Mataram dan terjadi kekosongan pemerintahan di Cirebon, Kesultanan Banten memiliki andil yang besar dalam membantu dan melindungi Cirebon dari ancaman Mataram dan VOC. Bahkan Pangeran Wangsakerta dinobatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk memimpin Cirebon selama Sultan dan Putra Mahkota tidak ada.
Dari kondisi pada saat itu, dapat diambil kesimpulan secara logis bahwa ketika Banten dalam kondisi terpuruk akibat pemberontakan yang dilakukan oleh Sultan Haji yang dibantu VOC, dan Cirebon yang kekuasaannya terpecah ditangan tiga sultan, serta tidak adanya kekuatan militer, maka wajar jika Cirebon mudah dihasut oleh Banten yang pada saat itu telah dikuasai oleh Sultan Haji, dan akhirnya Cirebon meminta bantuan kepada VOC dalam hal pengamanan.
Peristiwa penandatanganan perjanjian persahabatan tersebut merupakan awal dari surutnya eksistensi Cirebon yang pada saat itu sudah berdiri sejak 202 tahun lamanya dan dipertahankan dengan gigih dengan berbagai cara oleh para leluhur Cirebon yang juga leluhur Banten.
Dinamika selanjutnya tentu saja VOC semakin turut campur urusan internal kesultanan. Semenjak saat itulah, secara de facto, Kesultanan Kasepuhan hanya sebagai penguasa adat. Karena dalam prakteknya, kehidupan pemerintahan dan ekonomi  dikendalikan oleh VOC. Â
Bahkan setelah VOC bubar tahun 1799, kekuasaan politik Keraton di Cirebon (termasuk juga Kasepuhan) diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda.Â
Gubernur Jenderal Daendels menempatkan Cirebon sebagai salah satu Karesidenan dan para Sultan di Cirebon disejajarkan dengan kedudukan Bupati yang harus mengabdi kepada pemerintah Hindia Belanda. Lebih parahnya, pengangkatan dan penobatan seorang sultan juga harus mendapatkan persetujuan Belanda.
Kontrol dan intervensi Belanda begitu kuat sampai pada kebijakan dan internal keraton seperti soal suksesi. Contoh lain yang terjadi pada saat itu adalah diturunkannya Sultan Sepuh V (Sultan Sepuh Syafiudin Matangaji) oleh Belanda karena kelakuannya yang tidak menyenangkan pihak Belanda.Â
Sebagai penggantinya ditunjuk saudaranya sebagai Sultan Sepuh VI (Sultan Sepuh Hasanudin) yang dianggap cenderung lebih kompromi. Berdasarkan beberapa keterangan sejarah yang beredar, Sultan ke VI bukanlah saudara kandung dari Sultan ke V, tetapi keponakan (sumber lain menyebutkan adik ipar).